24 Maret 2013, Oleh Pst. H.
Tedjoworo,OSC
"INILAH RAJAMU"
Yes 50:4-7; Flp 2:6-11; Luk 22:14--23:56
Ketua kelas hampir selalu dipilih dengan pemungutan
suara. Wali kelas pasti berusaha
keras untuk mengakomodasi pendapat murid-murid dengan mengadakan pemilihan yang sedemokratis mungkin.
Dan cerita itu menjadi kebanggaan bagi setiap
murid yang pernah terpilih sebagai ketua kelas. Ia pasti bangga, merasa diperhitungkan dan dipercaya
teman-temannya. Murid-murid yang lain pun
merasa puas kalau unggulannya berhasil menjadi ketua kelas. Hanya segelintir yang punya pandangan berbeda
mungkin tidak merasa senang, tapi lama
kelamaan akan lupa juga dengan kekecewaannya.
Itu yang terjadi ketika sekolah-sekolah kita
mengajarkan proses pemilihan yang
'demokratis'. Apakah yang demokratis pasti lebih baik? Belum tentu. Apakah yang demokratis pasti berasal
dari Tuhan? Belum tentu juga. Proses itu
sering dibelokkan secara samar menjadi sebuah 'hukuman' bagi ketua kelas atau pemimpin apapun di masyarakat
kita. Perhatikanlah suara-suara yang memilih.
Tepatnya, perhatikan wajah mereka, bahasa yang mereka gunakan, gestur, dan kalau mungkin, hati mereka.
Hal semacam ini menodai sebuah proses
pemilihan. Pemimpin yang terpilih bukan lagi sosok yang didukung, tetapi sebaliknya, yang dijatuhkan.
Anda bisa jadi 'dipilih' ramai-ramai untuk
dijatuhkan. Apa yang nampaknya demokratis bisa jadi adalah persekongkolan yang jahat, sinis, dan
kejam. Pemimpin menjadi korban.
Bukankah kisah Injil yang hari ini kita dengar
menunjukkan kemiripan? Yesus dipuja-puji
sebagai raja, sejak Ia memasuki Yerusalem hingga kemudian diarak keluar dari sana dan ditinggikan di
kayu salib. Hanya saja, ada pergeseran yang
sangat kontras dan terjadi begitu cepat. Ketika Ia masuk ke Yerusalem, orang-orang miskin dan para
pengikut-Nya mengelu-elukan dengan cara menghamparkan
pakaian mereka. Namun ketika Ia diarak keluar kota untuk disalibkan, para pemimpin agama dan prajurit berdiri paling
depan untuk mengejek dan
menghukum-Nya. Apakah Yesus memang raja pilihan mereka? Bukan.
Meskipun tidak menyebutkan, Lukas membuat alusi
yang jelas pada Zakharia 9:9,
"Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor
keledai beban yang muda." Yesus tak pernah
mengatakan bahwa diri-Nya adalah raja. Ketika ditanya oleh Pilatus apakah Ia raja orang Yahudi, Yesus
menjawab, "Engkau sendiri mengatakannya." Yesus tahu bahwa mereka semua menghendaki seorang raja yang
sesuai dengan keinginan mereka,
yang dapat memuaskan seluruh harapan mereka akan messias: raja yang 'demokratis' (?). Tetapi,
Yesus adalah raja yang diberikan Allah. Seperti
Zakharia telah nubuatkan, Yesus adalah raja-'mu', bukan karena engkau memilihnya, tetapi karena Allah
mengutus-Nya untuk menyelamatkanmu.
Sampai sekarang kita masih suka berpikir bahwa
seorang pemimpin haruslah 'pilihan'
kita. Ia adalah pilihan kita, kalau sesuai dengan harapan kita, tentu saja. Namun, dalam hal iman
demokrasi kita ditelanjangi. Kita mengatasnamakan
banyak orang demi membenarkan maksud jahat yang tersembunyi rapat di dalam hati. Kita memilih
seseorang untuk menjatuhkannya. Dan kita sangat
bisa berbuat begitu! Dengan kelihaian kita bicara, kita bisa mempengaruhi orang-orang tertentu agar
memihak pada kita dan ikut mengadili orang
yang tidak kita sukai. Dengan jabatan kita, kita bisa menyebarkan isu dan sindiran untuk menghambat karier
orang yang kita anggap sebagai
sandungan. Dengan wajah seakan-akan tanpa dosa, kita bisa
menghimpun lingkaran teman untuk
mendiskreditkan dan melawan pemimpin kita sendiri.
Sebuah kontras kita temukan dalam bacaan I (kitab
Yesaya) yang kita dengar hari ini.
Gambaran seorang pemimpin yang menyelamatkan justru ditemukan dalam sosok seorang 'murid' yang
sejati, seorang murid yang dengan perkataannya
mampu memberi semangat baru kepada yang lesu, mampu mendengar dengan tajam, tidak memberontak dan
berpaling, bahkan tidak menyembunyikan muka
ketika dinodai dan diludahi. Sosok 'pemimpin' ini sungguh tegar dan mengharukan, mengundang simpati yang
dalam dan pertobatan. Melalui Yesaya, kita
diingatkan, seorang pemimpin memang diutus untuk menyelamatkan, untuk membawa perubahan yang baik dalam hati
banyak orang. Tuhan yang memberikannya.
Kita tidak memilihnya.
Di sekitar kita, makin sering terjadi pembunuhan
karakter terhadap orang-orang yang
sebetulnya diutus oleh Tuhan untuk menyelamatkan banyak orang dan memperbaiki keadaan. Orang-orang seperti ini tidak
disukai, pasti! Orang-orang ini pun tidak akan
cenderung dipilih oleh mayoritas. Mereka akan kalah di mata dunia, tidak termasuk lima besar pilihan
terbanyak, tidak akan menjabat
posisi terpenting di kelompok kita, dan ironisnya, mereka sebetulnya
dipilih Tuhan untuk mengubah hati kita dan menyelamatkan hidup kita. Mari kita berpikir untuk berhenti
menyindir, berpikir jahat, menjatuhkan, dan menghukum mereka. Dalam diri
merekalah Yesus hadir sebagai raja
supaya kita bertobat. Kalau kita ikut menyambut Yesus sebagai raja ketika Ia masuk Yerusalem, sebaiknya
kita pun setia mendukung-Nya ketika Ia diarak
keluar kota untuk disalibkan.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar