Sabtu, 23 Maret 2013

Minggu Palma (Tahun C)


24 Maret 2013, Oleh Pst. H. Tedjoworo,OSC

"INILAH RAJAMU"

Yes 50:4-7; Flp 2:6-11; Luk 22:14--23:56

Ketua kelas hampir selalu dipilih dengan pemungutan suara. Wali kelas pasti berusaha keras untuk mengakomodasi pendapat murid-murid dengan mengadakan pemilihan yang sedemokratis mungkin. Dan cerita itu menjadi kebanggaan bagi setiap murid yang pernah terpilih sebagai ketua kelas. Ia pasti bangga, merasa diperhitungkan dan dipercaya teman-temannya. Murid-murid yang lain pun merasa puas kalau unggulannya berhasil menjadi ketua kelas. Hanya segelintir yang punya pandangan berbeda mungkin tidak merasa senang, tapi lama kelamaan akan lupa juga dengan kekecewaannya.

Itu yang terjadi ketika sekolah-sekolah kita mengajarkan proses pemilihan yang 'demokratis'. Apakah yang demokratis pasti lebih baik? Belum tentu. Apakah yang demokratis pasti berasal dari Tuhan? Belum tentu juga. Proses itu sering dibelokkan secara samar menjadi sebuah 'hukuman' bagi ketua kelas atau pemimpin apapun di masyarakat kita. Perhatikanlah suara-suara yang memilih. Tepatnya, perhatikan wajah mereka, bahasa yang mereka gunakan, gestur, dan kalau mungkin, hati mereka. Hal semacam ini menodai sebuah proses pemilihan. Pemimpin yang terpilih bukan lagi sosok yang didukung, tetapi sebaliknya, yang dijatuhkan. Anda bisa jadi 'dipilih' ramai-ramai untuk dijatuhkan. Apa yang nampaknya demokratis bisa jadi adalah persekongkolan yang jahat, sinis, dan kejam. Pemimpin menjadi korban.

Bukankah kisah Injil yang hari ini kita dengar menunjukkan kemiripan? Yesus dipuja-puji sebagai raja, sejak Ia memasuki Yerusalem hingga kemudian diarak keluar dari sana dan ditinggikan di kayu salib. Hanya saja, ada pergeseran yang sangat kontras dan terjadi begitu cepat. Ketika Ia masuk ke Yerusalem, orang-orang miskin dan para pengikut-Nya mengelu-elukan dengan cara menghamparkan pakaian mereka. Namun ketika Ia diarak keluar kota untuk disalibkan, para pemimpin agama dan prajurit berdiri paling depan untuk mengejek dan menghukum-Nya. Apakah Yesus memang raja pilihan mereka? Bukan.

Meskipun tidak menyebutkan, Lukas membuat alusi yang jelas pada Zakharia 9:9, "Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda." Yesus tak pernah mengatakan bahwa diri-Nya adalah raja. Ketika ditanya oleh Pilatus apakah Ia raja orang Yahudi, Yesus menjawab, "Engkau sendiri mengatakannya." Yesus tahu bahwa mereka semua menghendaki seorang raja yang sesuai dengan keinginan mereka, yang dapat memuaskan seluruh harapan mereka akan messias: raja yang 'demokratis' (?). Tetapi, Yesus adalah raja yang diberikan Allah. Seperti Zakharia telah nubuatkan, Yesus adalah raja-'mu', bukan karena engkau memilihnya, tetapi karena Allah mengutus-Nya untuk menyelamatkanmu.

Sampai sekarang kita masih suka berpikir bahwa seorang pemimpin haruslah 'pilihan' kita. Ia adalah pilihan kita, kalau sesuai dengan harapan kita, tentu saja. Namun, dalam hal iman demokrasi kita ditelanjangi. Kita mengatasnamakan banyak orang demi membenarkan maksud jahat yang tersembunyi rapat di dalam hati. Kita memilih seseorang untuk menjatuhkannya. Dan kita sangat bisa berbuat begitu! Dengan kelihaian kita bicara, kita bisa mempengaruhi orang-orang tertentu agar memihak pada kita dan ikut mengadili orang yang tidak kita sukai. Dengan jabatan kita, kita bisa menyebarkan isu dan sindiran untuk menghambat karier orang yang kita anggap sebagai sandungan. Dengan wajah seakan-akan tanpa dosa, kita bisa menghimpun lingkaran teman untuk mendiskreditkan dan melawan pemimpin kita sendiri.

Sebuah kontras kita temukan dalam bacaan I (kitab Yesaya) yang kita dengar hari ini. Gambaran seorang pemimpin yang menyelamatkan justru ditemukan dalam sosok seorang 'murid' yang sejati, seorang murid yang dengan perkataannya mampu memberi semangat baru kepada yang lesu, mampu mendengar dengan tajam, tidak memberontak dan berpaling, bahkan tidak menyembunyikan muka ketika dinodai dan diludahi. Sosok 'pemimpin' ini sungguh tegar dan mengharukan, mengundang simpati yang dalam dan pertobatan. Melalui Yesaya, kita diingatkan, seorang pemimpin memang diutus untuk menyelamatkan, untuk membawa perubahan yang baik dalam hati banyak orang. Tuhan yang memberikannya. Kita tidak memilihnya.

Di sekitar kita, makin sering terjadi pembunuhan karakter terhadap orang-orang yang sebetulnya diutus oleh Tuhan untuk menyelamatkan banyak orang dan memperbaiki keadaan. Orang-orang seperti ini tidak disukai, pasti!  Orang-orang ini pun tidak akan cenderung dipilih oleh mayoritas. Mereka akan kalah di mata dunia, tidak termasuk lima besar pilihan terbanyak, tidak akan menjabat posisi terpenting di kelompok kita, dan ironisnya, mereka  sebetulnya dipilih Tuhan untuk mengubah hati kita dan menyelamatkan hidup kita. Mari kita berpikir untuk berhenti menyindir, berpikir jahat, menjatuhkan, dan menghukum mereka. Dalam diri merekalah Yesus hadir sebagai raja supaya kita bertobat. Kalau kita ikut menyambut Yesus sebagai raja ketika Ia masuk Yerusalem, sebaiknya kita pun setia mendukung-Nya ketika Ia diarak keluar kota untuk disalibkan.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar