Sabtu, 26 Mei 2018

ALLAH SELALU BERGERAK, BERTINDAK


Hari Raya Tritunggal Mahakudus (B)

“ALLAH SELALU BERGERAK, BERTINDAK”
Ul 4:32-34.39-40, Rm 8:14-17, Mat 28:16-20
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
 
Berbagai tarian dari Nusantara sangat mengagumkan. Karakter dan simbolisasi dari satu daerah ke daerah lain begitu berbeda. Ada tarian yang penuh dengan dinamika meluap-luap. Ada yang ritmis dan sangat teratur. Ada pula yang sangat tenang, agung, dan mistis. Yang kita tangkap dalam semua tarian itu adalah ‘energi’ di dalam relasi. Para penari tidak hanya menampilkan sesuatu di depan penonton. Mereka berkomunikasi, menyampaikan sebuah pesan kepada kita. Tatapan mata yang sekilas, atau bahkan kepala yang menunduk sekalipun, adalah suatu pesan yang menyapa dan melibatkan kita. Melihat sebuah tarian yang indah membuat kita seakan-akan terlibat di dalam suatu kisah yang menghidupkan.

Di jalan-jalan, kita hampir tak pernah melihat orang yang menari untuk menampilkan seni atau menyampaikan pesan. Kehidupan banyak orang di jalan sangat serius. Setiap orang punya urusan yang penting sehingga gerakan yang kita lihat tidak punya makna yang lebih dari sekadar gerakan. Kehidupan yang terlalu serius seperti itu melelahkan, kalau tidak malah berlalu tanpa kesan, dan tanpa pesan.

Bagian akhir Injil Matius yang kita dengar hari ini menghadirkan penampakan Yesus kepada kesebelas murid, setelah kebangkitan, di sebuah bukit di Galilea. “Ketika melihat Yesus mereka menyembah-Nya, tetapi beberapa orang ragu-ragu”. Tindakan menyembah menunjukkan relasi, pengakuan, dan kesetiaan. Sebaliknya, keraguan akan terungkap dalam sikap diam atau memandang dengan tidak yakin. Iman, tentu saja, tidak bisa dipaksakan. Akan tetapi, sikap dalam beriman adalah ungkapan relasi yang paling kelihatan.

Selanjutnya Yesus mengutus para murid-Nya untuk melakukan banyak hal yang semuanya berupa tindakan: pergilah, jadikanlah, baptislah, ajarlah. Para murid tidak dibiarkan termenung terlalu lama. Mereka segera ditugasi untuk bekerja, dan meskipun akan segera kembali kepada Bapa, Yesus memberikan jaminan yang sangat melegakan: “Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”. Kuasa dari Bapa melalui Yesus, pesan yang jelas, dan energi untuk menjalankan misi (Roh Kudus) adalah inti kehidupan yang adalah Allah sendiri. Para murid diberi tujuan hidup yang jelas ketika hendak mulai bersaksi kepada dunia.

Kehidupan yang kelihatan di masyarakat kita mencerminkan sikap batin para warganya. Manakala keseharian orang dijalani dengan rusuh, bisa dibayangkan apa yang sedang bergejolak di dalam hatinya. Kalau kita melakukan sesuatu dengan membuat bunyi-bunyian yang keras, mungkin kita sedang membutuhkan perhatian atau pengakuan. Kadang-kadang kita mengalami bahwa seakan-akan setiap hal yang kita lakukan menjadi salah. Itu terjadi berturut-turut dan kita bertanya-tanya, ada apa dengan diri kita. Tindakan, ketika kehilangan makna dan tujuan, menjadi sia-sia. Seharusnya di saat melakukan sesuatu, kita tetap berelasi dengan yang lain, supaya apa yang kita perbuat membawa pesan bagi orang lain. Iman kita selalu mendorong pada misi kepada dunia, diarahkan pada tujuan yang dikehendaki Tuhan. Dengan begitu kita membawakan semangat iman yang menghidupkan lingkungan sekitar kita.

Kitab Ulangan (Bacaan I) melukiskan sosok Allah yang sangat peduli dan terutama selalu ‘bertindak’ bagi umat-Nya. Musa mengajak orang Israel berpikir, bahwa dalam sejarah umat manusia, tidak ada Allah seperti yang selama ini membesarkan dan melindungi mereka. Allah ini bersabda dari tengah api, mengambil dan menyelamatkan umat-Nya dari tengah bangsa lain, serta “menyertai dengan tangan yang kuat dan lengan yang perkasa”. Allah seperti itu luar biasa, karena Ia bertindak langsung di dalam dunia. Ia hadir, bergerak, menyelamatkan. Kitab-Kitab Perjanjian Lama selalu menggambarkan Allah yang ‘melakukan’ tindakan penyelamatan di tengah-tengah umat-Nya.

Para pujangga Gereja pernah memunculkan istilah yang unik untuk menggambarkan Allah Tritunggal, yakni ‘perichoresis’ (Yun.), yang secara harafiah berarti ‘menari-nari’. Allah adalah sosok yang bergerak, yang menampakkan relasi dalam diri-Nya sendiri. Kita mengenal dan berelasi dengan-Nya, setiap kali menyebut nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Allah selalu bergerak. Ia selalu berjalan bersama kita. Ia ada di segala tempat, khususnya ketika kita menjalankan misi seperti yang disampaikan Yesus: pergilah, jadikanlah, baptislah, ajarlah. Semua tindakan iman kita punya makna. Oleh karenanya, iman kepada Allah Tritunggal kita alami, ketika kita pun bergerak dan bertindak bersama Dia.

Semoga kita tetap yakin dengan tujuan hidup dan iman kita di dunia ini, sebab Tuhan sendiri menjamin kita. Ia senantiasa bergerak, menyertai kita sampai akhir zaman.

Amin.

Sabtu, 19 Mei 2018

Penolong Di Saat Sulit


19-05-2018 Hari Raya Pentakosta (B)

“PENOLONG DI SAAT SULIT”
Kis 2:1-11, Gal 5:16-25, Yoh 15:26-27; 16:12-15
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
 
Ada situasi yang membuat kita merasa familier, terulang kembali. Kalau itu adalah situasi yang tidak menyenangkan, dalam hati kita seperti muncul ‘alarm’, sebuah nada peringatan. Kita diperingatkan untuk bersiap, sebab peristiwa yang akan terjadi membutuhkan kekuatan serta keyakinan lebih besar. Meskipun begitu, ketika mengalaminya sendiri, kita sering kali masih tidak siap. Dan pada saat itu, kita akan memandang semua orang di sekitar kita, berharap ada yang mengulurkan tangan dan mendukung kita. Ketika ada satu wajah saja tersenyum dan memberi bantuan, saat itu juga kita akan bersyukur dan memuji Tuhan tanpa henti.

Tak ada kejadian yang begitu ilahi selain datangnya pertolongan pada saat yang genting. Karena itu, kita dapat lekas membedakan antara iman dalam pengajaran dan iman dalam pengalaman. Yang terakhir ini tidak dapat dijelaskan, tidak mungkin dipahami pikiran kita. Apakah kita lebih banyak berpikir atau lebih banyak percaya dalam kehidupan sehari-hari kita? Pengalaman iman bukanlah sebuah pengulangan.

Bagian Injil Yohanes yang kita dengar hari ini, lebih dari sekadar pengajaran Yesus mengenai Roh Kudus, adalah kenyataan yang dialami para murid karena iman mereka. Telah sekian lama mereka bersama-sama dengan Yesus, dan di antara mereka tumbuh kesadaran bahwa Allah selalu menunjukkan jalan dalam situasi apapun! Selama ini Roh Allah hadir dalam diri Yesus, namun Yesus mengingatkan bahwa sekarang merekalah yang harus bersaksi, “karena kamu dari semula bersama-sama dengan Aku”.

Berkali-kali Yesus menegaskan bahwa Roh Kudus itu akan memimpin para murid ke dalam seluruh kebenaran, menyampaikan sabda-Nya, dan memberitakan kepada mereka hal-hal yang akan datang. Para murid hampir tidak perlu melakukan apa-apa, selain percaya pada bimbingan Roh itu! Perkataan Yesus di sini sungguh-sungguh menghadirkan ketiga pribadi Allah Tritunggal ‘sebagai’ pengalaman iman yang konkret bagi para murid. Dan semuanya itu dikatakan-Nya persis menjelang peristiwa salib, pada perjamuan malam terakhir. Keadaan yang sulit akan segera terjadi, dan para murid Yesus tetap didampingi serta ditolong oleh Roh Allah sendiri. Percaya, itu berarti mengizinkan Allah berjalan bersama kita.

Di masa kini, masih adakah tindakan menolong yang tidak dibatasi oleh perbedaan? Mungkin kita pernah ingin menolong seseorang, tetapi karena melihat bahwa ia dari suku, agama, atau ras lain, kita mengurungkan niat kita. Meskipun dalam hati kita berharap ada orang lain yang akan menolongnya, ternyata keputusan kita masih dibatasi oleh soal perbedaan. Di televisi pernah ditayangkan seorang politikus yang dihakimi secara tidak adil, dipeluk oleh keluarga angkatnya yang beragama lain. Pemandangan itu mengharukan, sekaligus mempertanyakan diri kita asing-masing. Tindakan iman bukanlah perkara agama atau gereja kita sendiri. Iman adalah bagian dari kemanusiaan kita yang utuh. Jika mau mulai dari relasi dengan mereka yang tinggal di lingkungan sekitar, kita bisa meneliti diri kembali, siapakah yang kita tolong akhir-akhir ini? Atau, di dalam lingkup pelayanan kristiani, kelompok apa saja yang kita bantu dan kita dukung sepenuh hati? Kalau kita hanya menolong orang atau kelompok yang kita sukai saja, hal itu pun dilakukan oleh banyak orang yang bukan pengikut Kristus.

Peristiwa turunnya Roh Kudus yang dicatat dalam Kisah Para Rasul (Bacaan I) mengubah para rasul untuk selamanya. Sejak itu mereka tidak lagi berdebat dengan siapapun, tapi membiarkan diri digerakkan Roh Allah, untuk menyatukan berbagai bangsa. Semua orang yang berkumpul di Yerusalem terheran-heran karena para rasul berbicara dengan ‘bahasa’ yang dimengerti oleh berbagai bangsa. Apapun bahasa mereka, banyak orang itu dapat mengerti perkataan mereka, tentang “perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan oleh Allah”. Kalau Roh Kudus menggerakkan, Ia akan selalu mendorong manusia untuk tidak membeda-bedakan dan hanya mengusahakan kesatuan.

Di Hari Raya Pentakosta ini kita masing-masing ditantang oleh Roh Allah, untuk bersaksi di saat-saat sulit, serta belajar menolong siapapun melampaui berbagai perbedaan. Setiap perjumpaan yang akan kita alami selalu unik, dan tindakan iman kita pada saat itu pun bukan suatu pengulangan. Allah kita hadir dan bertindak secara nyata dalam diri Roh Kudus. Kendati Ia tidak tampak, pengaruh dan kehadiran-Nya kita rasakan terutama di masa-masa krisis. Kita mungkin masih akan merasa tidak siap menghadapi kejadian tertentu, namun kepercayaan kita pada kuasa Roh Allah itu, akan mengundang tanggapan yang terbaik.

Semoga hati kita selalu terbuka untuk dibimbing oleh Roh Kudus, dan kita sendiri pun mau menjadi penolong bagi siapapun, tanpa melihat perbedaan. Allah selalu hadir pada waktu-Nya.

Amin.

Sabtu, 12 Mei 2018

Kesucian Sehati Sejiwa


Minggu Paskah VII (B), 12 Mei 2018

“KESUCIAN: SEHATI SEJIWA”
Kis 1:15-17.20a.20c-26, 1Yoh 4:11-16, Yoh 17:11b-19
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Kini begitu banyak hal diukur dari penampilan. Mulai dari pembaca berita di televisi hingga politikus yang hendak menyampaikan pidato. Penampilan adalah ‘idol’, yakni sebuah keunikan yang diciptakan oleh artis dan sengaja dilebihkan agar menjadi magnet perhatian. Begitulah dunia kita telah menjadi semakin virtual. Artinya, sebagian besar adalah buatan. Kita tenggelam dalam kultur sosial yang tidak apa adanya lagi. Ketika energi dan waktu kita dicurahkan demi citra diri di mata orang lain, kita mungkin lupa bahwa kita masing-masing pernah diciptakan dengan keindahan yang mencerminkan sosok Tuhan sendiri.

Diri yang apa adanya, adalah lawan bagi arus kuat dari semua yang virtual di sekitar kita. Relasi di antara kita sebagai orang-orang yang beriman adalah kesempatan terbaik untuk kembali pada maksud Tuhan memanggil kita menjadi anggota gereja. Di dalam komunitas gerejawi ini, tidak ada gunanya tampil secara berlebihan atau dibuat-buat. Kita masing-masing diundang untuk menjadi kudus, seperti ketika Tuhan menciptakan diri kita.

Bagian Injil yang kita dengar hari ini ialah satu-satunya saat dalam Injil Yohanes ketika Yesus menyebut Bapa sebagai “yang kudus”. Matius dan Lukas menunjukkan Bapa yang kudus dalam doa Bapa Kami. Akan tetapi, ada perbedaan. Dalam doa Bapa Kami, kekudusan Allah dikaitkan dengan kedatangan Kerajaan-Nya. Dalam Injil Yohanes, kekudusan Allah dikaitkan dengan kesatuan di antara para murid, “supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita”. Bapa yang kudus diminta oleh Yesus agar memelihara para murid ini di dalam nama-Nya. Yesus pun selama ini memelihara mereka supaya tetap mengalami sukacita, kendati dunia terus menerus membenci mereka.

Doa Yesus kepada Bapa ini mencerminkan kebersamaan yang berbeda di antara para murid-Nya, bahkan yang berlawanan dengan arus yang terjadi di dunia. Yesus memanggil mereka menjadi murid-murid-Nya, dan meskipun kini masih di dalam dunia, mereka disebut-Nya “bukan dari dunia”. Mereka membentuk relasi yang berbeda dan kebersamaan yang unik, karena kehadiran mereka sesungguhnya adalah sebuah kesaksian bagi dunia. Dan Yesus pun menguduskan diri-Nya “bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran”. Doa Yesus ini adalah sebentuk pengakuan atas relasi para murid di dalam dunia.

Konflik dan polemik sangat mudah kita temui di sekitar kita. Sebagian besar hal-hal itu dipicu oleh sikap diri yang tidak apa adanya lagi. Alih-alih berbicara dengan jujur, orang malah menyembunyikan apa yang seharusnya dikatakan. Kalau kehidupan iman kita tidak memotivasi untuk berelasi dengan apa adanya, kita akan terbawa arus di sekeliling kita. Kalau orang-orang kristiani pun tidak mampu mengungkapkan imannya secara sederhana dalam pergaulan, perpecahan sudah ada di depan mata. Dunia ini membutuhkan kesaksian kita dalam kebersamaan iman yang mengesankan dan menginspirasi. Sering kali yang diperlukan hanyalah sikap menahan diri dan menyesuaikan diri satu terhadap yang lain. Ketika suara dan penampilan kita terlalu menonjol atau dominan, biasanya itu berarti bahwa sikap kita sudah berlebihan. Mestinya kita ingat bahwa kesucian bagi Yesus pertama-tama adalah sikap sehati-sejiwa di antara sesama orang kristiani.

Kebersamaan di antara para murid Yesus pernah terganggu karena pengkhianatan Yudas, maka Petrus pun mengundang saudara-saudara yang lain untuk memulihkan kesatuan. Kisah Para Rasul (Bacaan I) menceritakan bagaimana kesehatian iman mereka diperbarui dengan bersama-sama memilih Matias dalam doa. Pelayanan, bagi para murid, hanya bisa dilakukan dengan baik jika di antara mereka, Roh Kudus hadir dan menjaga persaudaraan mereka dari hari ke hari. Kesaksian kita kepada dunia pun hanya akan menginspirasi orang lain, kalau di antara kita ada kesatuan yang muncul dari kerelaan untuk saling menyesuaikan diri.

Dalam keseharian kita di tengah dunia, kesucian mesti diungkapkan dalam kebersamaan sebagai sesama murid Yesus, melalui keterlibatan yang apa adanya dalam pelayanan serta ibadat yang tulus dan rendah hati. Keunikan relasi kristiani terletak pada sikap sehati-sejiwa di antara kita, untuk melawan kecenderungan dunia yang mendewakan hal-hal buatan. Kesucian hidup yang kita hayati tidak muncul dari keinginan untuk menonjolkan citra diri, melainkan dari kesadaran bahwa Tuhan sudah menciptakan diri kita dengan keindahan yang sederhana namun mengagumkan.

Hari ini kita diajak Yesus untuk menjaga kekudusan kita dalam kebersamaan sebagai murid-murid-Nya. Kekudusan itu tidak bisa dibuat-buat, sebab ia hanya berasal dari Bapa, yang adalah kudus. Kita masih ada di dalam dunia, namun seperti doa Yesus itu, semoga Bapa memelihara kita tetap satu dalam nama-Nya.

Amin.

Sabtu, 05 Mei 2018

Dipilh Menjadi Sahabat-Nya


Minggu Paskah VI (B)

“DIPILIH MENJADI SAHABAT-NYA”
Kis 10:25-26.34-35.44.48, 1Yoh 4:7-10, Yoh 15:9-17

Sepertinya kita tenggelam di sebuah ilusi, yaitu bayangan keliru, tentang relasi. Selama ini ada anggapan bahwa tiap relasi adalah pilihan kita sendiri. Kita menentukan sendiri dengan siapa kita mau berelasi, mau dekat, dan mau memperhatikan. Kita seakan-akan berada di atas angin, berkuasa menilai siapa saja orang yang ‘pantas’ menjadi teman kita, bahkan untuk menjadi pasangan hidup kita. Itu adalah ilusi, sebab sejak lahir kita tak pernah memilih keluarga dan orang tua kita. Mereka pun tak pernah memilih kita. Ada kuasa yang jauh lebih tinggi dan mengatur segala-galanya. Dia yang mahakuasa itu mempunyai rencana dahsyat yang jauh melampaui pikiran dan rencana kita.

Kalau begitu, relasi kita sesungguhnya adalah misteri. Banyak hal yang tidak kita mengerti. Banyak hal yang masih harus kita pelajari. Iman kristiani yang kita hayati bersama adalah tempat untuk belajar berelasi, tetapi berelasi seperti yang dikehendaki oleh Tuhan. Di sini, bukan kita yang menentukan semuanya, melainkan Tuhan. Kalau kita merasa bisa mengatur segala-galanya, iman tidak diperlukan.

Bagian Injil Yohanes yang kita dengar hari ini mencerminkan kehidupan sebuah komunitas baru yang dibentuk oleh Yesus. Komunitas iman ini berbeda sama sekali dari apa yang selama ini dihayati oleh para murid. Di komunitas ini, tidak ada dominasi, tidak ada yang lebih berkuasa dari yang lain, dan tidak boleh ada kepentingan pribadi. Kehendak Bapa di surga adalah satu-satunya ‘alasan’ keberadaan komunitas Yesus, sebab dikatakan-Nya bahwa dari semula, “Bapa telah mengasihi Aku”. Kasih Bapa itulah yang menciptakan pengertian dan ketaatan di antara para murid. Yesus tahu bahwa Bapa mengasihi-Nya, dan sukacita itu hendak diberikan-Nya kepada para murid.

Puncak sebuah relasi persahabatan seperti yang dibayangkan Yesus ialah pemberian seluruh diri, hidup seseorang: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”. Sesungguhnya, Yesus tidak sekadar mengatakannya. Ia melakukannya sendiri. Ialah sahabat yang memberikan seluruh hidup-Nya. Betapa besar berkat itu bagi para murid! Itu dilakukan-Nya bukan karena mereka memintanya, melainkan karena kasih Bapa yang begitu melimpah. Yesuslah yang memilih para murid, dan mereka karenanya pantas disebut yang berbahagia.

Kalau di dunia ini relasi antarmanusia bisa dideteksi oleh satelit, entah apa yang terjadi setiap menit, setiap jam, dan setiap hari. Milyaran garis menghubungkan titik-titik dari segala tempat, namun juga terputusnya milyaran garis lain di saat yang sama. Di dalam panorama ‘relasi’ dunia itu, apa yang menyatukan dan memutuskan relasi? Mungkin sebagian besar adalah kehendak manusia, sebab keinginan kita untuk menentukan dan mengatur begitu kuat. Dan di saat kita tidak berdaya atas sebuah relasi, kita pun merasa frustrasi. Kehidupan iman kita dalam kebersamaan sesungguhnya tidak bisa ‘diatur’, apalagi oleh kehendak segelintir orang. Itu semua terjadi di luar kuasa kita. Kalau mengaku masih beriman, kita percaya bahwa Tuhan tiap kali mengarahkan kita pada orang-orang tertentu sebab Ia punya rencana. Jadi, iman kita adalah kerelaan serta keterbukaan pada kehendak Tuhan, yang menghubungkan kita dengan orang lain. Iman di dalam relasi tidak membutuhkan penilaian yang paling cerdas sekalipun!

Kehidupan Gereja Perdana sangat jelas digerakkan oleh Roh Kudus, seperti digambarkan dalam Kisah Para Rasul (Bacaan I). Perjumpaan Petrus dengan Kornelius dan orang-orang bukan Yahudi menyingkapkan kehendak Allah untuk memanggil semua bangsa. “Karunia Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga”. Kejadian itu sangat mengagumkan Petrus, hingga ia membaptis mereka dalam nama Yesus Kristus. Allah adalah relasi. Ia menghubungkan semua bangsa dengan iman yang sama kepada Yesus, Putera-Nya. Apa yang semula dianggap sebagai komunitas yang tak mungkin terbentuk, kini menjadi kenyataan. Mereka tidak memilih, tapi menyesuaikan diri dengan kehendak Allah.

Bagaimana kalau mulai sekarang kita mengurangi keinginan kita menentukan segala-galanya? Yesus mengatakan dengan jelas, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah”. Seandainya kebersamaan doa dan pelayanan kita diwarnai dengan penyesuaian diri satu sama lain, komunitas kita akan berbuah lebat. Kita tidak berhak menentukan siapa yang pantas dan tidak pantas menjadi murid Yesus. Kita sendiri pun dipilih oleh Tuhan untuk menjadi sahabat-Nya.

Hidup bersama kita ini adalah berkat luar biasa dari seorang Sahabat, yang telah memberikan nyawa-Nya bagi kita. Semua orang yang juga dipilih-Nya, adalah bagian dari rencana Tuhan bagi gereja, tempat kita belajar memahami misteri iman. Kita perlu lebih banyak belajar mengasihi.

Amin.