Sabtu, 05 Mei 2018

Dipilh Menjadi Sahabat-Nya


Minggu Paskah VI (B)

“DIPILIH MENJADI SAHABAT-NYA”
Kis 10:25-26.34-35.44.48, 1Yoh 4:7-10, Yoh 15:9-17

Sepertinya kita tenggelam di sebuah ilusi, yaitu bayangan keliru, tentang relasi. Selama ini ada anggapan bahwa tiap relasi adalah pilihan kita sendiri. Kita menentukan sendiri dengan siapa kita mau berelasi, mau dekat, dan mau memperhatikan. Kita seakan-akan berada di atas angin, berkuasa menilai siapa saja orang yang ‘pantas’ menjadi teman kita, bahkan untuk menjadi pasangan hidup kita. Itu adalah ilusi, sebab sejak lahir kita tak pernah memilih keluarga dan orang tua kita. Mereka pun tak pernah memilih kita. Ada kuasa yang jauh lebih tinggi dan mengatur segala-galanya. Dia yang mahakuasa itu mempunyai rencana dahsyat yang jauh melampaui pikiran dan rencana kita.

Kalau begitu, relasi kita sesungguhnya adalah misteri. Banyak hal yang tidak kita mengerti. Banyak hal yang masih harus kita pelajari. Iman kristiani yang kita hayati bersama adalah tempat untuk belajar berelasi, tetapi berelasi seperti yang dikehendaki oleh Tuhan. Di sini, bukan kita yang menentukan semuanya, melainkan Tuhan. Kalau kita merasa bisa mengatur segala-galanya, iman tidak diperlukan.

Bagian Injil Yohanes yang kita dengar hari ini mencerminkan kehidupan sebuah komunitas baru yang dibentuk oleh Yesus. Komunitas iman ini berbeda sama sekali dari apa yang selama ini dihayati oleh para murid. Di komunitas ini, tidak ada dominasi, tidak ada yang lebih berkuasa dari yang lain, dan tidak boleh ada kepentingan pribadi. Kehendak Bapa di surga adalah satu-satunya ‘alasan’ keberadaan komunitas Yesus, sebab dikatakan-Nya bahwa dari semula, “Bapa telah mengasihi Aku”. Kasih Bapa itulah yang menciptakan pengertian dan ketaatan di antara para murid. Yesus tahu bahwa Bapa mengasihi-Nya, dan sukacita itu hendak diberikan-Nya kepada para murid.

Puncak sebuah relasi persahabatan seperti yang dibayangkan Yesus ialah pemberian seluruh diri, hidup seseorang: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”. Sesungguhnya, Yesus tidak sekadar mengatakannya. Ia melakukannya sendiri. Ialah sahabat yang memberikan seluruh hidup-Nya. Betapa besar berkat itu bagi para murid! Itu dilakukan-Nya bukan karena mereka memintanya, melainkan karena kasih Bapa yang begitu melimpah. Yesuslah yang memilih para murid, dan mereka karenanya pantas disebut yang berbahagia.

Kalau di dunia ini relasi antarmanusia bisa dideteksi oleh satelit, entah apa yang terjadi setiap menit, setiap jam, dan setiap hari. Milyaran garis menghubungkan titik-titik dari segala tempat, namun juga terputusnya milyaran garis lain di saat yang sama. Di dalam panorama ‘relasi’ dunia itu, apa yang menyatukan dan memutuskan relasi? Mungkin sebagian besar adalah kehendak manusia, sebab keinginan kita untuk menentukan dan mengatur begitu kuat. Dan di saat kita tidak berdaya atas sebuah relasi, kita pun merasa frustrasi. Kehidupan iman kita dalam kebersamaan sesungguhnya tidak bisa ‘diatur’, apalagi oleh kehendak segelintir orang. Itu semua terjadi di luar kuasa kita. Kalau mengaku masih beriman, kita percaya bahwa Tuhan tiap kali mengarahkan kita pada orang-orang tertentu sebab Ia punya rencana. Jadi, iman kita adalah kerelaan serta keterbukaan pada kehendak Tuhan, yang menghubungkan kita dengan orang lain. Iman di dalam relasi tidak membutuhkan penilaian yang paling cerdas sekalipun!

Kehidupan Gereja Perdana sangat jelas digerakkan oleh Roh Kudus, seperti digambarkan dalam Kisah Para Rasul (Bacaan I). Perjumpaan Petrus dengan Kornelius dan orang-orang bukan Yahudi menyingkapkan kehendak Allah untuk memanggil semua bangsa. “Karunia Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga”. Kejadian itu sangat mengagumkan Petrus, hingga ia membaptis mereka dalam nama Yesus Kristus. Allah adalah relasi. Ia menghubungkan semua bangsa dengan iman yang sama kepada Yesus, Putera-Nya. Apa yang semula dianggap sebagai komunitas yang tak mungkin terbentuk, kini menjadi kenyataan. Mereka tidak memilih, tapi menyesuaikan diri dengan kehendak Allah.

Bagaimana kalau mulai sekarang kita mengurangi keinginan kita menentukan segala-galanya? Yesus mengatakan dengan jelas, “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah”. Seandainya kebersamaan doa dan pelayanan kita diwarnai dengan penyesuaian diri satu sama lain, komunitas kita akan berbuah lebat. Kita tidak berhak menentukan siapa yang pantas dan tidak pantas menjadi murid Yesus. Kita sendiri pun dipilih oleh Tuhan untuk menjadi sahabat-Nya.

Hidup bersama kita ini adalah berkat luar biasa dari seorang Sahabat, yang telah memberikan nyawa-Nya bagi kita. Semua orang yang juga dipilih-Nya, adalah bagian dari rencana Tuhan bagi gereja, tempat kita belajar memahami misteri iman. Kita perlu lebih banyak belajar mengasihi.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar