Sabtu, 12 Mei 2018

Kesucian Sehati Sejiwa


Minggu Paskah VII (B), 12 Mei 2018

“KESUCIAN: SEHATI SEJIWA”
Kis 1:15-17.20a.20c-26, 1Yoh 4:11-16, Yoh 17:11b-19
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Kini begitu banyak hal diukur dari penampilan. Mulai dari pembaca berita di televisi hingga politikus yang hendak menyampaikan pidato. Penampilan adalah ‘idol’, yakni sebuah keunikan yang diciptakan oleh artis dan sengaja dilebihkan agar menjadi magnet perhatian. Begitulah dunia kita telah menjadi semakin virtual. Artinya, sebagian besar adalah buatan. Kita tenggelam dalam kultur sosial yang tidak apa adanya lagi. Ketika energi dan waktu kita dicurahkan demi citra diri di mata orang lain, kita mungkin lupa bahwa kita masing-masing pernah diciptakan dengan keindahan yang mencerminkan sosok Tuhan sendiri.

Diri yang apa adanya, adalah lawan bagi arus kuat dari semua yang virtual di sekitar kita. Relasi di antara kita sebagai orang-orang yang beriman adalah kesempatan terbaik untuk kembali pada maksud Tuhan memanggil kita menjadi anggota gereja. Di dalam komunitas gerejawi ini, tidak ada gunanya tampil secara berlebihan atau dibuat-buat. Kita masing-masing diundang untuk menjadi kudus, seperti ketika Tuhan menciptakan diri kita.

Bagian Injil yang kita dengar hari ini ialah satu-satunya saat dalam Injil Yohanes ketika Yesus menyebut Bapa sebagai “yang kudus”. Matius dan Lukas menunjukkan Bapa yang kudus dalam doa Bapa Kami. Akan tetapi, ada perbedaan. Dalam doa Bapa Kami, kekudusan Allah dikaitkan dengan kedatangan Kerajaan-Nya. Dalam Injil Yohanes, kekudusan Allah dikaitkan dengan kesatuan di antara para murid, “supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita”. Bapa yang kudus diminta oleh Yesus agar memelihara para murid ini di dalam nama-Nya. Yesus pun selama ini memelihara mereka supaya tetap mengalami sukacita, kendati dunia terus menerus membenci mereka.

Doa Yesus kepada Bapa ini mencerminkan kebersamaan yang berbeda di antara para murid-Nya, bahkan yang berlawanan dengan arus yang terjadi di dunia. Yesus memanggil mereka menjadi murid-murid-Nya, dan meskipun kini masih di dalam dunia, mereka disebut-Nya “bukan dari dunia”. Mereka membentuk relasi yang berbeda dan kebersamaan yang unik, karena kehadiran mereka sesungguhnya adalah sebuah kesaksian bagi dunia. Dan Yesus pun menguduskan diri-Nya “bagi mereka, supaya mereka pun dikuduskan dalam kebenaran”. Doa Yesus ini adalah sebentuk pengakuan atas relasi para murid di dalam dunia.

Konflik dan polemik sangat mudah kita temui di sekitar kita. Sebagian besar hal-hal itu dipicu oleh sikap diri yang tidak apa adanya lagi. Alih-alih berbicara dengan jujur, orang malah menyembunyikan apa yang seharusnya dikatakan. Kalau kehidupan iman kita tidak memotivasi untuk berelasi dengan apa adanya, kita akan terbawa arus di sekeliling kita. Kalau orang-orang kristiani pun tidak mampu mengungkapkan imannya secara sederhana dalam pergaulan, perpecahan sudah ada di depan mata. Dunia ini membutuhkan kesaksian kita dalam kebersamaan iman yang mengesankan dan menginspirasi. Sering kali yang diperlukan hanyalah sikap menahan diri dan menyesuaikan diri satu terhadap yang lain. Ketika suara dan penampilan kita terlalu menonjol atau dominan, biasanya itu berarti bahwa sikap kita sudah berlebihan. Mestinya kita ingat bahwa kesucian bagi Yesus pertama-tama adalah sikap sehati-sejiwa di antara sesama orang kristiani.

Kebersamaan di antara para murid Yesus pernah terganggu karena pengkhianatan Yudas, maka Petrus pun mengundang saudara-saudara yang lain untuk memulihkan kesatuan. Kisah Para Rasul (Bacaan I) menceritakan bagaimana kesehatian iman mereka diperbarui dengan bersama-sama memilih Matias dalam doa. Pelayanan, bagi para murid, hanya bisa dilakukan dengan baik jika di antara mereka, Roh Kudus hadir dan menjaga persaudaraan mereka dari hari ke hari. Kesaksian kita kepada dunia pun hanya akan menginspirasi orang lain, kalau di antara kita ada kesatuan yang muncul dari kerelaan untuk saling menyesuaikan diri.

Dalam keseharian kita di tengah dunia, kesucian mesti diungkapkan dalam kebersamaan sebagai sesama murid Yesus, melalui keterlibatan yang apa adanya dalam pelayanan serta ibadat yang tulus dan rendah hati. Keunikan relasi kristiani terletak pada sikap sehati-sejiwa di antara kita, untuk melawan kecenderungan dunia yang mendewakan hal-hal buatan. Kesucian hidup yang kita hayati tidak muncul dari keinginan untuk menonjolkan citra diri, melainkan dari kesadaran bahwa Tuhan sudah menciptakan diri kita dengan keindahan yang sederhana namun mengagumkan.

Hari ini kita diajak Yesus untuk menjaga kekudusan kita dalam kebersamaan sebagai murid-murid-Nya. Kekudusan itu tidak bisa dibuat-buat, sebab ia hanya berasal dari Bapa, yang adalah kudus. Kita masih ada di dalam dunia, namun seperti doa Yesus itu, semoga Bapa memelihara kita tetap satu dalam nama-Nya.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar