Minggu
Paskah V (B)
“RANTING-RANTING
SEHAT YESUS”
Kis
9:26-31, 1Yoh 3:18-24, Yoh 15:1-8
Sinyal
telepon seluler timbul dan hilang. Yang paling membuat orang panik ialah dalam
situasi sangat mendesak justru tak ada sinyal. Meskipun tahu bahwa tidak ada
gunanya, sebagian orang marah-marah dan menyalahkan penyedia layanan. Dan
sinyal tetap saja tidak muncul, persis di saat sungguh-sungguh dibutuhkan untuk
berkomunikasi.
Apakah
komitmen kita pun seperti itu? Timbul dan hilang? Pada saat kelompok yang kita
ikuti atau jemaat gereja membutuhkannya, kita malah ‘menghilang’ atau sekadar
merasa malas untuk hadir dan berkomitmen kembali. Manakala perasaan menentukan
berbagai keputusan, kepentingan yang lebih besar dikorbankan, dan kita sendiri
menjalani apapun dengan ala kadarnya. Kita seakan-akan masih aktif dalam
kehidupan iman, tapi sebenarnya tidak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi
orang lain. Tanpa disadari, kita menjauh dari yang lain dan menyendiri. Wajah
kita mencerminkan kepahitan. Hati kita selalu merasa terluka entah karena siapa.
Kita jatuh sakit.
Sungguh
mengagumkan Injil Yohanes yang kita dengar hari ini. Bagian ini sangat padat
dengan permenungan yang jauh melampaui metafor tentang pohon anggur. Yesus
secara harafiah mengulang-ulang tekanan bahwa para murid-Nya harus menghasilkan
buah! Meskipun kita sudah terbiasa dengan istilah ‘berbuah’ dalam pembicaraan
tentang iman, kali ini pasti ada makna yang lebih daripada itu. Yesus
mengatakan bahwa “setiap ranting yang berbuah [pun] dibersihkan-Nya, supaya ia
lebih banyak berbuah”. Yang tidak berbuah akan dipotong dan dibuang “ke luar”.
Tampaknya Yesus memang berbicara soal komunitas. Komunitas yang dikumpulkan-Nya
ini tidak mungkin tidak berbuah. Dan Ia memberitahukan alasan satu-satunya.
“Tinggallah
di dalam Aku dan Aku di dalam kamu”. Relasi dengan Dia. Relasi itulah yang
membuat kita berbuah, dan kita pantas disebut “murid-murid-Nya”. Di ayat
terakhir Injil, Yesus mengubah bahasa-Nya karena diarahkan pada kebersamaan
murid-murid-Nya, dan bukan pada setiap pribadi. Relasi dengan Dia mensyaratkan
relasi kita bersama serta komunikasi yang tetap dijaga di dalamnya. Kata
‘tinggal’ (Yun. ‘menein’) dipakai Yohanes berpuluh kali dalam Injilnya. Tidak
mungkin seorang murid tinggal dalam Yesus, sambil sekaligus memisahkan diri dari
murid-murid yang lain.
Mungkin
di gereja kita pun ada orang-orang yang tergabung dalam “barisan sakit hati”.
Sebutan itu tidak enak untuk didengar, namun mungkin adalah kenyataan yang
sering kita biarkan. Ada orang yang kalau sudah kecewa dan sakit hati, lekas
bersumpah tidak mau lagi berjumpa atau berkomunikasi dengan pihak yang
mengecewakannya. Tidak jarang pula kepentingan yang lebih besar atau kelompok
yang lebih luas menjadi sasaran kritik serta kecamannya. Dan kita pun mendengar
cerita-cerita klasik itu: kesalehan pribadi menjadi topeng, pelayanan dilakukan
dengan motivasi yang salah, kecurigaan serta komentar negatif merebak di antara
kelompok-kelompok gerejawi. Bukan lagi pribadi-pribadi jatuh sakit; kini
kebersamaan iman kita pun sakit.
Kita
mungkin mengira bahwa iman cukuplah dihayati secara pribadi, padahal Yesus
jelas menghendaki seluruh komunitas tinggal dalam Dia, sehingga kita pantas
disebut “murid-murid-Nya”.
Dalam
Kisah Para Rasul (Bacaan I), kita mendengar kesulitan yang dialami Saulus
ketika pertama kali bergabung dengan para murid Yesus. Kalau bukan karena
Barnabas, mungkin Saulus takkan pernah diterima oleh jemaat Kristen, karena
mereka masih tak percaya pada pertobatannya. Bahkan orang-orang Yahudi yang
berbahasa Yunani pun berusaha membunuh Saulus. Akan tetapi, “Saulus tetap
bersama-sama dengan mereka”, dan hal itu terjadi demi pertumbuhan Gereja
Perdana. Kelak Saulus, yang kemudian disebut Paulus, menjadi penggerak terpenting
munculnya komunitas-komunitas kristen di berbagai tempat. Terbukti bahwa
kesetiaan kita bersama yang lain akan membuahkan hasil yang luar biasa bagi
pertumbuhan gereja.
Kalau
cenderung menjauhi kebersamaan dengan murid-murid Kristus yang lain, mungkin
kita kurang memahami sabda Yesus hari ini. “Akulah pokok anggur dan kalian
[Yun. ‘humeis’, plural] ranting-rantingnya”. Kita, bersama-sama, hanya akan
bertumbuh secara sehat bila menjaga relasi serta kedekatan dengan Yesus, pokok
anggur satu-satunya. Lebih lagi, kita pun akan menghasilkan banyak buah kalau
mau setia menjaga relasi dan belajar melayani dalam kebersamaan. Komitmen kita
jangan sampai seperti sinyal telepon seluler yang mudah timbul dan hilang.
Manakala merasakan dorongan untuk memisahkan diri, kita perlu mengingat sabda Tuhan
itu, “Tinggallah di dalam Aku”.
Semoga
kita tetap berada di sekitar Yesus, tetap berkomunikasi dan melayani bersama
mereka, yang selama ini juga setia dalam kebersamaan iman. Dengan begitu, kita
pasti sehat dan berbuah.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar