Sabtu, 21 April 2018

Gembala Jiwa


Minggu Paskah IV (B)
Kis 4:8-12, 1Yoh 3:1-2, Yoh 10:11-18

Rusuh perilaku orang di jalan-jalan. Suara bising dan ketidaksabaran bercampur aduk, mempengaruhi suasana hati kita. Kini sulit sekali mendapatkan suasana tenang. Begitu turun ke jalan, kita segera kebingungan dengan berbagai keributan. Yang kita pikirkan adalah ingin segera pulang ke rumah. Masalahnya, sebagian orang membawa pulang kerusuhan di jalan itu, dan tanpa disadari membuat yang lain menjadi sasaran suasana hati.

Alangkah sensitif dan rapuh sesungguhnya hati kita, mudah terpengaruh dan terbawa arus. Ketika kerusuhan berasal dari dalam diri, kita tak dapat lagi menyalahkan orang lain atau keadaan. Sikap kasar, ketus, dan seenaknya disebabkan oleh masalah dalam diri kita yang selama ini tidak pernah diselesaikan. Mungkin ada bayangan palsu bahwa kita sudah dewasa dan ‘beres’, padahal kenyataannya terus menerus merasa gelisah. Agustinus, Uskup di Afrika Utara dari abad ke-5, mengakui bahwa jiwanya pernah lama gelisah, sampai akhirnya menemukan ketenangan hanya di dalam Tuhan.

Ada yang menempatkan bagian Injil Yohanes yang kita dengar hari ini di titik tengah ketujuh sabda Yesus, yang didahului perkataan “Aku adalah” (Yun. ‘ego eimi’). Gambaran diri Yesus sebagai “Gembala yang Baik” pernah sangat populer di awal munculnya Kristianitas, bahkan mungkin sebelum diakuinya tanda salib. Yohanes melukiskan sosok Gembala yang Baik dalam relasi yang begitu dekat dengan domba-domba-Nya. Relasi itu diungkapkan dengan kerelaan gembala untuk “memberikan nyawanya bagi domba-dombanya”. Kata-kata ini bahkan diucapkan sampai tiga kali oleh Yesus, dan karenanya menekankan kedalaman relasi itu.

Penyebutan “domba-domba lain” yang juga harus dituntun Yesus menyingkapkan apa yang mengantar sebuah pengenalan pada relasi yang dekat: suara-Nya. Suara gembala itulah yang membawa orang pada pengenalan. Kelak setelah kebangkitan, Maria Magdalena pun baru mengenali Yesus ketika dipanggil dengan namanya. Dari gambaran kedekatan relasi gembala dan domba-dombanya itu, kita bisa membayangkan bahwa kedekatan Tuhan dengan umat-Nya pun ibarat sebuah suara yang terdengar di dalam hati. Relasi dan kehadiran seperti ini tidak dibatasi oleh kedekatan fisik lagi.

Di sekeliling kita, hal-hal fisik sering dipakai sebagai pelampiasan suasana batin. Menutup pintu harus dibanting dengan keras supaya seluruh penghuni rumah tahu. Berbicara dilakukan dengan hampir berteriak, untuk memastikan bahwa semua orang mendengarnya. Makan harus sampai suara piring dan sendok terdengar nyaring, entah karena alasan apa. Tanpa kita sadari, kerusuhan dan keributan yang sifatnya fisik kita timbulkan setiap saat, dan mungkin sampai kita sendiri lupa seperti apakah keheningan (batin) itu. Kalau hal-hal itu terjadi juga dalam kehidupan dan kebersamaan iman, kita pasti tidak akan sempat mendengar dan mengenali suara Tuhan! Kedekatan relasi dengan Tuhan mengandaikan ketenangan dalam segala hal yang kita lakukan, supaya suara-Nya tetap terdengar dalam hati. Situasi di sekitar kita mungkin tidak serta merta mendukung relasi dan kebersamaan iman. Itu sebabnya kita mesti menemukan pegangan pasti dalam hati, yang setiap kali memampukan kita untuk tetap bertindak dengan tenang. Pegangan itu adalah suara Yesus, Sang Gembala.

Dalam Kisah Para Rasul (Bacaan I), Petrus berbicara “penuh dengan Roh Kudus”, yakni ketika memaklumkan kuasa yang berasal dari nama Yesus Kristus. Petrus membela nama Yesus di hadapan sidang yang mengadilinya. Karena nama itulah, seseorang yang lumpuh sejak lahirnya telah disembuhkan. Sekalipun tidak hadir secara fisik, Yesus tetap berkarya melalui para rasul, yang kini berani mempertaruhkan nyawa mereka seturut teladan Sang Guru. Reaksi dunia hampir selalu berlebihan terhadap peristiwa-peristiwa iman, namun yang dibutuhkan ialah kepercayaan kita pada nama Kristus yang kita bawa. Karena disebut ‘kristen’, kita sadar bahwa kita akan selalu mengarahkan seluruh kata dan tindakan kepada Kristus.

Apakah Yesus yang bangkit masih menjadi gembala bagi jiwa kita? Apakah suara-Nya masih terdengar di tengah kebisingan dan kerusuhan dunia di sekitar kita ini? Suara Yesus hanya akan dikenali kalau kita menjalani dan menghadapi banyak hal dengan tenang. Kita akan tahu ke arah mana Ia menuntun, selama kita bisa membedakan sosok gembala dari seorang upahan. Seorang upahan akan lari meninggalkan kita manakala menghadapi bahaya, sebab ia bukanlah gembala. Yesus hadir secara nyata melalui orang-orang yang membantu kita bersikap tenang dalam kehidupan. Semoga kita mengenali, mendengarkan, dan menjaga relasi dengan orang-orang seperti ini, yang telah menemukan ketenangan di dalam Tuhan.

Dunia mungkin tetap ribut dan kusut, tapi jiwa kita hendaknya berpegang hanya pada suara Yesus yang lembut namun pasti. Ia tidak pernah meninggalkan kita.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar