Minggu Paskah IV (B)
Kis 4:8-12, 1Yoh 3:1-2, Yoh 10:11-18
Rusuh perilaku orang di
jalan-jalan. Suara bising dan ketidaksabaran bercampur aduk, mempengaruhi
suasana hati kita. Kini sulit sekali mendapatkan suasana tenang. Begitu turun
ke jalan, kita segera kebingungan dengan berbagai keributan. Yang kita pikirkan
adalah ingin segera pulang ke rumah. Masalahnya, sebagian orang membawa pulang kerusuhan
di jalan itu, dan tanpa disadari membuat yang lain menjadi sasaran suasana
hati.
Alangkah sensitif dan rapuh
sesungguhnya hati kita, mudah terpengaruh dan terbawa arus. Ketika kerusuhan
berasal dari dalam diri, kita tak dapat lagi menyalahkan orang lain atau
keadaan. Sikap kasar, ketus, dan seenaknya disebabkan oleh masalah dalam diri
kita yang selama ini tidak pernah diselesaikan. Mungkin ada bayangan palsu
bahwa kita sudah dewasa dan ‘beres’, padahal kenyataannya terus menerus merasa
gelisah. Agustinus, Uskup di Afrika Utara dari abad ke-5, mengakui bahwa jiwanya
pernah lama gelisah, sampai akhirnya menemukan ketenangan hanya di dalam Tuhan.
Ada yang menempatkan bagian Injil
Yohanes yang kita dengar hari ini di titik tengah ketujuh sabda Yesus, yang
didahului perkataan “Aku adalah” (Yun. ‘ego eimi’). Gambaran diri Yesus sebagai
“Gembala yang Baik” pernah sangat populer di awal munculnya Kristianitas,
bahkan mungkin sebelum diakuinya tanda salib. Yohanes melukiskan sosok Gembala
yang Baik dalam relasi yang begitu dekat dengan domba-domba-Nya. Relasi itu
diungkapkan dengan kerelaan gembala untuk “memberikan nyawanya bagi
domba-dombanya”. Kata-kata ini bahkan diucapkan sampai tiga kali oleh Yesus,
dan karenanya menekankan kedalaman relasi itu.
Penyebutan “domba-domba lain”
yang juga harus dituntun Yesus menyingkapkan apa yang mengantar sebuah
pengenalan pada relasi yang dekat: suara-Nya. Suara gembala itulah yang membawa
orang pada pengenalan. Kelak setelah kebangkitan, Maria Magdalena pun baru mengenali
Yesus ketika dipanggil dengan namanya. Dari gambaran kedekatan relasi gembala
dan domba-dombanya itu, kita bisa membayangkan bahwa kedekatan Tuhan dengan
umat-Nya pun ibarat sebuah suara yang terdengar di dalam hati. Relasi dan
kehadiran seperti ini tidak dibatasi oleh kedekatan fisik lagi.
Di sekeliling kita, hal-hal fisik
sering dipakai sebagai pelampiasan suasana batin. Menutup pintu harus dibanting
dengan keras supaya seluruh penghuni rumah tahu. Berbicara dilakukan dengan
hampir berteriak, untuk memastikan bahwa semua orang mendengarnya. Makan harus
sampai suara piring dan sendok terdengar nyaring, entah karena alasan apa.
Tanpa kita sadari, kerusuhan dan keributan yang sifatnya fisik kita timbulkan
setiap saat, dan mungkin sampai kita sendiri lupa seperti apakah keheningan
(batin) itu. Kalau hal-hal itu terjadi juga dalam kehidupan dan kebersamaan
iman, kita pasti tidak akan sempat mendengar dan mengenali suara Tuhan!
Kedekatan relasi dengan Tuhan mengandaikan ketenangan dalam segala hal yang
kita lakukan, supaya suara-Nya tetap terdengar dalam hati. Situasi di sekitar
kita mungkin tidak serta merta mendukung relasi dan kebersamaan iman. Itu
sebabnya kita mesti menemukan pegangan pasti dalam hati, yang setiap kali memampukan
kita untuk tetap bertindak dengan tenang. Pegangan itu adalah suara Yesus, Sang
Gembala.
Dalam Kisah Para Rasul (Bacaan
I), Petrus berbicara “penuh dengan Roh Kudus”, yakni ketika memaklumkan kuasa
yang berasal dari nama Yesus Kristus. Petrus membela nama Yesus di hadapan
sidang yang mengadilinya. Karena nama itulah, seseorang yang lumpuh sejak
lahirnya telah disembuhkan. Sekalipun tidak hadir secara fisik, Yesus tetap berkarya
melalui para rasul, yang kini berani mempertaruhkan nyawa mereka seturut
teladan Sang Guru. Reaksi dunia hampir selalu berlebihan terhadap
peristiwa-peristiwa iman, namun yang dibutuhkan ialah kepercayaan kita pada
nama Kristus yang kita bawa. Karena disebut ‘kristen’, kita sadar bahwa kita
akan selalu mengarahkan seluruh kata dan tindakan kepada Kristus.
Apakah Yesus yang bangkit masih
menjadi gembala bagi jiwa kita? Apakah suara-Nya masih terdengar di tengah
kebisingan dan kerusuhan dunia di sekitar kita ini? Suara Yesus hanya akan
dikenali kalau kita menjalani dan menghadapi banyak hal dengan tenang. Kita
akan tahu ke arah mana Ia menuntun, selama kita bisa membedakan sosok gembala
dari seorang upahan. Seorang upahan akan lari meninggalkan kita manakala
menghadapi bahaya, sebab ia bukanlah gembala. Yesus hadir secara nyata melalui orang-orang
yang membantu kita bersikap tenang dalam kehidupan. Semoga kita mengenali,
mendengarkan, dan menjaga relasi dengan orang-orang seperti ini, yang telah
menemukan ketenangan di dalam Tuhan.
Dunia mungkin tetap ribut dan
kusut, tapi jiwa kita hendaknya berpegang hanya pada suara Yesus yang lembut
namun pasti. Ia tidak pernah meninggalkan kita.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar