Minggu Paskah III (B)
Kis 3:13-15.17-19, 1Yoh 2:1-5a, Luk 24:35-48
Tidak percaya, itulah biasanya
reaksi kita kalau berjumpa dengan teman masa kecil, yang kini penampilannya
sangat berbeda. Perasaan kita di antara senang, kagum, heran, dan ganjil. Yang
jelas, ada rasa hormat kepadanya, karena sekarang sama-sama sudah dewasa.
Memori dan masa lalu tiba-tiba muncul perlahan. Menyenangkan. Perjumpaan
seperti itu lain sekali dibanding antara dua orang yang baru saling mengenal.
Yang terakhir ini menyembunyikan pertanyaan dalam hati, dan mungkin juga keinginan-keinginan
pribadi. Itu sebabnya kita kadang-kadang menyesali sebuah perjumpaan, atau
menganggapnya seakan-akan sebuah kekeliruan.
Kebersamaan iman kita tidak
selalu terbentuk sejak kecil. Sebagian besar dari kita tidak tahu masa kecil
satu sama lain. Kita hampir tidak pernah mengatakan kepada yang lain, “Engkau
sekarang berbeda”, sebab iman mempertemukan kita secara baru. Konsekuensi
langsung darinya ialah bahwa kebersamaan menjadi proses pembelajaran. Apakah kita
masih belajar beriman dalam berbagai perjumpaan?
Lukas ingin menegaskan dalam
Injilnya bahwa Yesus yang bangkit bukanlah roh atau ‘hantu’. Ada yang berubah
dalam diri Yesus, namun sosok ini hadir di tengah para murid-Nya sebagai
pribadi yang sama. Dengan begitu, kebangkitan-Nya pun bukan sebuah
‘kelanjutan’, tetapi keberadaan dan kehadiran yang sama sekali baru. Reaksi
para murid, karenanya, tercampur antara senang, heran, takut, dan ragu-ragu. Tampaknya
bukan ketidakpercayaan, melainkan adalah keragu-raguan sekaligus sukacita dari
dalam diri para murid, ketika berhadapan dengan sosok Yesus yang bangkit. Itu
sebabnya Yesus mengambil sepotong ikan goreng dan memakannya di depan mata
mereka.
Kemudian, Ia “membuka pikiran
mereka”. Peneguhan secara fisik tidak cukup. Ia harus menjelaskan bahwa
kebangkitan-Nya adalah pemenuhan apa yang tertulis dalam Kitab Suci. Hanya
ketika “mereka mengerti Kitab Suci” misi Yesus akan dapat dilanjutkan, yakni: memaklumkan
pertobatan untuk pengampunan dosa. Lukas dengan tegas mencatat bahwa misi
inilah kesaksian yang harus dilakukan para murid, mulai dari saat mereka ‘mengerti’
Kitab Suci. Dengan kata lain, kehadiran Yesus yang bangkit bukan suatu
pembuktian, melainkan penugasan bagi para murid. Mereka harus bergerak, dan
kali ini akan berbeda dari sebelumnya.
Dalam keseharian kita sebenarnya
tak terhitung jumlah kesempatan untuk belajar melalui berbagai perjumpaan
dengan orang lain. Sayang sekali, sebagian perjumpaan berakhir dengan
pembuktian diri. Untuk apa berkenalan dengan seseorang, misalnya, kalau hanya
mau membuktikan gambaran tentang diri sendiri? Ada yang selalu mengatakan
“orang seperti apa” dirinya kepada setiap orang yang ditemui, seolah-olah bisa
membentuk pandangan semua orang. Pertemanan dalam hal ini dimaksud sebagai
pelajaran bagi orang lain, bukan bagi diri sendiri. Dalam kebersamaan beriman,
dampak mentalitas seperti ini terlihat pada hilangnya sukacita untuk berdoa dan
melayani bersama. Kalau keterlibatan dalam pelayanan hanyalah demi suatu
pengakuan, kita belum melakukan kesaksian ke luar apapun. Seharusnya pesan
Paskah membawa perubahan dalam diri, dan membuat kehadiran kita menjadi berbeda
bagi orang lain: kehadiran yang senantiasa melegakan!
Sesudah kebangkitan Yesus, Petrus
dan Yohanes dengan berani memaklumkan pertobatan (Kisah Para Rasul). Mereka
tidak memakai penyembuhan seorang lumpuh yang mereka lakukan sebagai propaganda
iman. Mereka menegaskan bahwa di balik mukjizat itu, Allah sendiri bertindak
dalam nama Yesus. Oleh karenanya, mereka mengingatkan bahwa pertobatan adalah
awal yang sama sekali baru dalam iman. Beriman tidak mungkin tanpa pertobatan.
Kesaksian akan bertumbuh bahkan berbuah lebat, apabila orang merendahkan diri
di hadapan Allah dan membiarkan dirinya dibentuk kembali menjadi serupa dengan
Kristus. Ia tidak lagi membuktikan diri, sebab, dalam bahasa Paulus, “telah
mengenakan Kristus” (Gal. 3:27).
Di antara para saudara seiman
yang mungkin baru kita kenal setelah dewasa ini, apakah kehadiran kita
melegakan? Yesus yang bangkit membawa sukacita dan pengampunan kepada para
murid-Nya. Perjumpaan itu membuat mereka mampu menjalankan misi untuk bersaksi
kepada segala bangsa. Kita mesti berhenti mengatakan kepada semua orang
mengenai “orang seperti apa” kita ini, sebab orang lain akan tahu sendiri apakah
kita sudah mengalami pertobatan atau belum. Tanggapan banyak orang di zaman
kita ini sangat kelihatan di wajah mereka, dan semoga setiap perjumpaan menjadi
pelajaran bagi diri kita sendiri.
Hendaknya kehadiran kita dalam
kebersamaan iman dengan yang lain membawa suasana yang baru. Seperti Yesus yang
hadir pada waktu itu, kita pun mau membawa semangat, sukacita, dan pengampunan
dalam setiap perjumpaan. Kita hadir, dengan cara yang berbeda.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar