Minggu Paskah II (B)
“MELETAKKAN TANGAN DI LAMBUNG-NYA”
Kis 4:32-35, 1Yoh 5:1-6, Yoh
20:19-31
Pada
dasarnya sebagian besar orang sensitif terhadap sentuhan. Bersentuhan dengan
orang lain memicu reaksi terkejut, sebab kita merasa tidak aman. Tubuh kita
adalah diri kita. Hanya keluarga atau orang yang sangat dekat akan kita biarkan
bersinggungan badan dengan kita. Di situlah kita mengalami rasa percaya dan
juga hormat. Orang-orang terdekat ini membuat kita aman, tapi sesungguhnya
mereka pun mempercayakan diri mereka kepada kita. Namun, pengalaman ini akan hilang
sama sekali saat kita berada di dalam angkutan umum. Ada banyak maksud buruk
yang merusak rasa percaya dan hormat di sana. Keadaan berdesakan malah
dimanfaatkan untuk melecehkan orang.
Seperti
apakah pengalaman kebersamaan kita dalam kehidupan menggereja? Masih adakah
sikap percaya satu sama lain, dan apakah kita sendiri bisa dipercaya oleh
saudara kita? Godaan yang sering kita alami ialah ketidaksukaan dan sikap
enggan untuk mendukung yang lain. Mungkin kita lupa bahwa gereja adalah
keluarga baru kita, tempat kita belajar saling memberi rasa aman dan kasih
sebagai saudara. Iman akan kebangkitan Kristus mesti mengubah kebersamaan kita.
Hal
pertama yang dilakukan Yesus setelah mengalahkan kematian ialah menjumpai para
murid-Nya. Ia tahu bahwa mereka pasti merasa ketakutan dan sangat membutuhkan
kehadiran-Nya. Dan Yesus hadir di tengah-tengah mereka, lalu berkata, “Damai
sejahtera bagi kamu!” Kekuatan dan pengaruh damai ini luar biasa terhadap para
murid, sebab berasal dari luka-luka Yesus yang ditunjukkan-Nya kepada mereka.
Tindakan Yesus ini melambangkan kerahiman Allah dan melimpahkan pengampunan.
Para murid aman dalam kehadiran-Nya.
Ketidakhadiran
Tomas pun rupanya adalah sesuatu yang perlu terjadi, sebab dengan itu para
murid akan belajar tentang iman kebangkitan. Tomas semula ingin meletakkan
tangannya di lambung Yesus supaya percaya. Yesus memenuhi keinginan itu, tapi
mengundang Tomas untuk mempercayakan seluruh hidup kepada-Nya, “Ulurkanlah
tanganmu dan lontarkanlah ke lambung-Ku” (Yun. ‘bale’, lemparkan). Yohanes
punya istilah yang sangat spesifik untuk percaya, yakni ‘pisteuein’ (Yun.), artinya,
memberikan seluruh diri. Betapa mengagumkan iman yang seperti ini! Bukan
percaya lewat kata-kata saja, melainkan memberikan hidup seutuhnya ke dalam
luka-luka Yesus, yang sejatinya adalah pengampunan Allah!
Kepercayaan,
sekali lagi, adalah sesuatu yang sangat langka di sekitar kita. Percaya sering
disertai dengan syarat. Kita sulit sekali percaya kepada orang lain, dan
mungkin memang karena kenyataan membuktikan bahwa banyak orang tak dapat
dipercaya. Akan tetapi, dalam kehidupan beriman, orang lain bukanlah sekadar orang
lain. Kebersamaan kita dalam hidup beriman tidak sama dengan dunia politik yang
memuat berbagai kepalsuan. Kalau komunitas gerejawi kita mau menjadi sebuah kesaksian
bagi dunia, persaudaraan di dalamnya harus berbeda. Persaudaraan kita mesti
diwarnai dengan menawarkan banyak pengampunan dan kesempatan baru, dan itu
dimulai dari diri kita sendiri. Ketika masyarakat cenderung menghakimi
seseorang, kita memberinya kesempatan baru. Dengan begitu, sesungguhnya kita
sendiri belajar percaya bahwa setiap orang bisa memperbaiki diri dan berubah.
Untuk apakah ibadat dan pelayanan kita selama ini, kalau kita tidak pernah
belajar apapun dalam persaudaraan?
Gambaran
ringkas tentang komunitas kristen awal dalam Kisah Para Rasul (Bacaan I)
diwakili oleh perkataan “segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama”.
Segala sesuatu ini mungkin bukan hanya keperluan hidup sehari-hari, melainkan
juga semua hal rohani yang mereka bagikan
satu
kepada yang lain. Itu berarti meliputi semangat kasih dalam persaudaraan,
kekuatan dari iman dan harapan, serta pengampunan. Oleh penulis Kisah Para
Rasul, semua ini disebut “milik bersama” yang menjadi kekayaan mereka. Ketika
dunia ini gagal memberikan pengalaman persaudaraan yang sejati, hanya komunitas
kitalah yang dapat menyediakannya. Itulah kesaksian iman yang diungkapkan dalam
kebersamaan.
Lingkungan,
kelompok pelayanan, dan komunitas tempat kita kita saling berkumpul adalah
sebuah ‘sekolah’ bagi persaudaraan iman. Kita melanjutkan tradisi para rasul
yang, sejak kebangkitan Yesus, mempercayakan hidup mereka satu kepada yang
lain. Mereka bisa melakukan itu karena “sudah melihat Tuhan”, dan selalu
membawa damai yang berasal dari luka di lambung Yesus. Mereka boleh meletakkan
hidup mereka di lambung, di hati Yesus, yang selalu penuh dengan damai serta pengampunan.
Kini tugas kita ialah menjadikan kelompok kita keluarga yang menghormati dan
rumah yang memberi rasa aman kepada siapapun.
Semoga
kita belajar percaya dan mendukung saudara-saudara kita sendiri. Semoga hati
kita pun bisa dipercaya oleh mereka yang masih mencari damai serta pengampunan.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar