Sabtu, 07 April 2018

Meletakkan Tangan di Lambung-Nya


Minggu Paskah II (B)

“MELETAKKAN TANGAN DI LAMBUNG-NYA”
Kis 4:32-35, 1Yoh 5:1-6, Yoh 20:19-31

Pada dasarnya sebagian besar orang sensitif terhadap sentuhan. Bersentuhan dengan orang lain memicu reaksi terkejut, sebab kita merasa tidak aman. Tubuh kita adalah diri kita. Hanya keluarga atau orang yang sangat dekat akan kita biarkan bersinggungan badan dengan kita. Di situlah kita mengalami rasa percaya dan juga hormat. Orang-orang terdekat ini membuat kita aman, tapi sesungguhnya mereka pun mempercayakan diri mereka kepada kita. Namun, pengalaman ini akan hilang sama sekali saat kita berada di dalam angkutan umum. Ada banyak maksud buruk yang merusak rasa percaya dan hormat di sana. Keadaan berdesakan malah dimanfaatkan untuk melecehkan orang.

Seperti apakah pengalaman kebersamaan kita dalam kehidupan menggereja? Masih adakah sikap percaya satu sama lain, dan apakah kita sendiri bisa dipercaya oleh saudara kita? Godaan yang sering kita alami ialah ketidaksukaan dan sikap enggan untuk mendukung yang lain. Mungkin kita lupa bahwa gereja adalah keluarga baru kita, tempat kita belajar saling memberi rasa aman dan kasih sebagai saudara. Iman akan kebangkitan Kristus mesti mengubah kebersamaan kita.

Hal pertama yang dilakukan Yesus setelah mengalahkan kematian ialah menjumpai para murid-Nya. Ia tahu bahwa mereka pasti merasa ketakutan dan sangat membutuhkan kehadiran-Nya. Dan Yesus hadir di tengah-tengah mereka, lalu berkata, “Damai sejahtera bagi kamu!” Kekuatan dan pengaruh damai ini luar biasa terhadap para murid, sebab berasal dari luka-luka Yesus yang ditunjukkan-Nya kepada mereka. Tindakan Yesus ini melambangkan kerahiman Allah dan melimpahkan pengampunan. Para murid aman dalam kehadiran-Nya.

Ketidakhadiran Tomas pun rupanya adalah sesuatu yang perlu terjadi, sebab dengan itu para murid akan belajar tentang iman kebangkitan. Tomas semula ingin meletakkan tangannya di lambung Yesus supaya percaya. Yesus memenuhi keinginan itu, tapi mengundang Tomas untuk mempercayakan seluruh hidup kepada-Nya, “Ulurkanlah tanganmu dan lontarkanlah ke lambung-Ku” (Yun. ‘bale’, lemparkan). Yohanes punya istilah yang sangat spesifik untuk percaya, yakni ‘pisteuein’ (Yun.), artinya, memberikan seluruh diri. Betapa mengagumkan iman yang seperti ini! Bukan percaya lewat kata-kata saja, melainkan memberikan hidup seutuhnya ke dalam luka-luka Yesus, yang sejatinya adalah pengampunan Allah!

Kepercayaan, sekali lagi, adalah sesuatu yang sangat langka di sekitar kita. Percaya sering disertai dengan syarat. Kita sulit sekali percaya kepada orang lain, dan mungkin memang karena kenyataan membuktikan bahwa banyak orang tak dapat dipercaya. Akan tetapi, dalam kehidupan beriman, orang lain bukanlah sekadar orang lain. Kebersamaan kita dalam hidup beriman tidak sama dengan dunia politik yang memuat berbagai kepalsuan. Kalau komunitas gerejawi kita mau menjadi sebuah kesaksian bagi dunia, persaudaraan di dalamnya harus berbeda. Persaudaraan kita mesti diwarnai dengan menawarkan banyak pengampunan dan kesempatan baru, dan itu dimulai dari diri kita sendiri. Ketika masyarakat cenderung menghakimi seseorang, kita memberinya kesempatan baru. Dengan begitu, sesungguhnya kita sendiri belajar percaya bahwa setiap orang bisa memperbaiki diri dan berubah. Untuk apakah ibadat dan pelayanan kita selama ini, kalau kita tidak pernah belajar apapun dalam persaudaraan?

Gambaran ringkas tentang komunitas kristen awal dalam Kisah Para Rasul (Bacaan I) diwakili oleh perkataan “segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama”. Segala sesuatu ini mungkin bukan hanya keperluan hidup sehari-hari, melainkan juga semua hal rohani yang mereka bagikan
satu kepada yang lain. Itu berarti meliputi semangat kasih dalam persaudaraan, kekuatan dari iman dan harapan, serta pengampunan. Oleh penulis Kisah Para Rasul, semua ini disebut “milik bersama” yang menjadi kekayaan mereka. Ketika dunia ini gagal memberikan pengalaman persaudaraan yang sejati, hanya komunitas kitalah yang dapat menyediakannya. Itulah kesaksian iman yang diungkapkan dalam kebersamaan.

Lingkungan, kelompok pelayanan, dan komunitas tempat kita kita saling berkumpul adalah sebuah ‘sekolah’ bagi persaudaraan iman. Kita melanjutkan tradisi para rasul yang, sejak kebangkitan Yesus, mempercayakan hidup mereka satu kepada yang lain. Mereka bisa melakukan itu karena “sudah melihat Tuhan”, dan selalu membawa damai yang berasal dari luka di lambung Yesus. Mereka boleh meletakkan hidup mereka di lambung, di hati Yesus, yang selalu penuh dengan damai serta pengampunan. Kini tugas kita ialah menjadikan kelompok kita keluarga yang menghormati dan rumah yang memberi rasa aman kepada siapapun.

Semoga kita belajar percaya dan mendukung saudara-saudara kita sendiri. Semoga hati kita pun bisa dipercaya oleh mereka yang masih mencari damai serta pengampunan.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar