Kamis, 28 Maret 2013

Kamis Putih (tahun C)

PEMBERIAN YANG TAK KAU MENGERTI SEKARANG
Kel 12:1-8.11-14; 1Kor 11:23-26; Yoh 13:1-15
Oleh Pst. H. Tedjoworo,OSC


Pernahkah sebuah hadiah membuat kita menangis? Mungkin tidak terlalu sering kita alami. Kita sering mendapat hadiah dari teman-teman, dari keluarga, atau orang-orang terdekat kita. Dan setiap hadiah memberi kesan berbeda. Setiap hadiah menimbulkan pemikiran. Namun yang paling sering muncul ialah penilaian: barang mahal atau murahan, berguna atau tidak, berarti atau biasa-biasa saja, sesuatu yang unik atau pasaran. Sulit sekali mengusir penilaian atas sesuatu yang kita terima sebagai hadiah. Gambaran orang yang memberikannya kabur, seolah-olah digantikan sepenuhnya oleh sebuah bungkusan yang kita buka dengan rasa penasaran. Hadiah menjadi sekedar simbol, dan bukan lagi sebuah kehadiran sosok yang memberikannya.

Bagaimana kalau hadiah itu bukan sebuah barang? Bagaimana kalau hadiah itu sebuah senyuman bersama secangkir kopi, sebuah sentuhan atau pelukan tanpa nafsu, sepiring nasi goreng yang dimasak oleh orang yang paling kita sayangi, sebuah pengampunan dalam acara rekreasi bersama? Benar. Barang-barang mahal di sekitar kita telah mengambil alih peran kehadiran yang jauh lebih menyentuh dan mengharukan. Kita sudah kehilangan penghargaan atas hadiah-hadiah yang tidak mungkin dinilai dengan uang. Kita mungkin juga kehilangan kepekaan pada pribadi-pribadi di sekitar kita yang selalu hadir dengan penuh kesetiaan itu. Betapa banyak hadiah yang kita terima setiap saat, setiap hari, tapi kita tidak mengerti. Kelak, ketika orang-orang itu sudah tak ada lagi, mungkin kita baru akan mengerti.

Injil Yohanes yang kita dengar pada malam ini, tidak bicara sedikitpun tentang sebuah perjamuan makan, apalagi sebuah pesta. Injil ini berbicara tentang sesuatu yang jauh lebih dalam dan bermakna, jauh lebih mengesankan, dari sekedar perjamuan makan. Ia berbicara tentang sebuah 'pemberian' yang sangat tidak mungkin dari sudut pandang kita manusia! Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya. Tidak mungkin hal itu dimengerti siapapun, sebab seorang Guru dan Tuhan seperti Yesus tidak layak untuk membasuh, apalagi kaki, murid-murid-Nya sendiri! Maka, reaksi Simon adalah reaksi kita juga, "Tuhan, Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya!"

Akan tetapi, kata-kata Yesus meredakan emosi palsu kita, mengembalikan para murid dan kita semua, pada sikap mau menerima kasih Tuhan yang memang terlalu besar bagi pikiran kita itu. "Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu?" Sampai dua kali Yesus mencoba menyadarkan kita soal 'mengerti' apa yang dilakukan-Nya kepada kita. Sebelumnya Ia sudah berkata, "Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak." Yesus sangat peduli sekaligus prihatin atas 'pengertian' kita. Ia sangat berharap bahwa kita mengerti apa yang dilakukan-Nya, yang setiap kali diberikan-Nya kepada kita dalam Ekaristi.

Bukankah pengertian kita menjadi kunci banyak persoalan yang kita hadapi? Kita kecewa karena berharap orang lain berubah dan ternyata itu tidak kunjung terjadi. Kita sedih karena orang lain tidak memberi kita ucapan selamat saat kita mencapai keberhasilan. Kita marah pada semua orang karena merasa harus berjuang sendiri pada saat-saat sulit. Kita terus menerus bertopeng dan berbohong kepada siapapun hanya karena iri hati terhadap kesuksesan orang lain. Mari perhatikan bahwa pada saat itu kita tidak mau mengerti semua hal yang sudah diberikan kepada kita selama ini, yang sungguh tak ternilai harganya. Kita memang sulit mengerti karena sudah biasa menerima, bahkan meminta, barang-barang mahal dan kejadian-kejadian menyenangkan sebagai hadiah.

Surat pertama Paulus kepada umat di Korintus (bacaan II) melukiskan perjamuan Tuhan dalam bahasa yang mengejutkan. Paulus memang seorang penulis suci yang mengesankan dalam hal bahasa. Bacaan ini dipenuhi dengan tindakan Yesus 'memberi' dan 'menyerahkan' diri-Nya. Kita, yang dibawa ke dalam perjamuan-Nya, hanya diajak untuk 'menerima' dan 'melakukan' semua yang dilakukan Tuhan Yesus itu. Dan kita melakukan semua itu, untuk "memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang." Paulus mengingatkan supaya setiap kali hadir dalam Ekaristi kita itu sungguh mengerti apa maksud Yesus mengundang kita dalam perjamuan-Nya ini. Kita diajak untuk setiap kali memberikan diri kita sendiri, seperti yang telah dilakukan-Nya untuk kita.

Apa yang kita pikir 'tidak mungkin' kita berikan, berikanlah itu! Perjamuan yang kita rayakan ini bukanlah sebuah peragaan apalagi pertunjukan. Perjamuan ini adalah ungkapan kasih kita yang sangat riil satu sama lain, sebab di dalamnya, Tubuh Kristus dipecah-pecahkan dan diserahkan kepada kita, Darah Kristus ditumpahkan dan kita minum untuk mengenangkan kematian-Nya. Kita mengenangkan sebuah pemberian diri yang tidak mungkin dan yang sulit kita mengerti sekarang. Kita hanya diminta untuk melakukannya, tanpa kata-kata dan emosi yang palsu. Berikanlah kasih kita dengan apa adanya, meskipun mereka yang menerimanya mungkin tidak mengerti juga.

Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar