Kel 12:1-8.11-14; 1Kor 11:23-26; Yoh 13:1-15
Oleh Pst. H. Tedjoworo,OSC
Pernahkah sebuah hadiah membuat kita menangis?
Mungkin tidak terlalu sering kita
alami. Kita sering mendapat hadiah dari teman-teman, dari keluarga, atau orang-orang terdekat kita. Dan
setiap hadiah memberi kesan berbeda. Setiap
hadiah menimbulkan pemikiran. Namun yang paling sering muncul ialah penilaian: barang mahal atau murahan,
berguna atau tidak, berarti atau biasa-biasa
saja, sesuatu yang unik atau pasaran. Sulit sekali mengusir penilaian atas sesuatu yang kita terima
sebagai hadiah. Gambaran orang yang memberikannya
kabur, seolah-olah digantikan sepenuhnya oleh sebuah bungkusan yang kita buka dengan rasa penasaran.
Hadiah menjadi sekedar simbol, dan bukan lagi sebuah kehadiran sosok yang
memberikannya.
Bagaimana kalau hadiah itu bukan sebuah barang?
Bagaimana kalau hadiah itu sebuah
senyuman bersama secangkir kopi, sebuah sentuhan atau pelukan tanpa nafsu, sepiring nasi goreng yang
dimasak oleh orang yang paling kita sayangi,
sebuah pengampunan dalam acara rekreasi bersama? Benar. Barang-barang mahal di sekitar kita telah mengambil alih peran
kehadiran yang jauh lebih
menyentuh dan mengharukan. Kita sudah kehilangan penghargaan atas hadiah-hadiah yang tidak mungkin
dinilai dengan uang. Kita mungkin juga kehilangan
kepekaan pada pribadi-pribadi di sekitar kita yang selalu hadir dengan penuh kesetiaan itu. Betapa
banyak hadiah yang kita terima setiap saat,
setiap hari, tapi kita tidak mengerti. Kelak, ketika orang-orang itu sudah tak ada lagi, mungkin kita baru
akan mengerti.
Injil Yohanes yang kita dengar pada malam ini,
tidak bicara sedikitpun tentang
sebuah perjamuan makan, apalagi sebuah pesta. Injil ini berbicara tentang sesuatu yang jauh lebih dalam
dan bermakna, jauh lebih mengesankan, dari
sekedar perjamuan makan. Ia berbicara tentang sebuah 'pemberian' yang sangat tidak mungkin dari sudut pandang
kita manusia! Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya.
Tidak mungkin hal itu dimengerti siapapun, sebab seorang Guru dan Tuhan seperti Yesus tidak layak untuk membasuh, apalagi
kaki, murid-murid-Nya sendiri!
Maka, reaksi Simon adalah reaksi kita juga, "Tuhan, Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya!"
Akan tetapi, kata-kata Yesus meredakan emosi palsu
kita, mengembalikan para murid dan
kita semua, pada sikap mau menerima kasih Tuhan yang memang terlalu besar bagi pikiran kita itu.
"Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat
kepadamu?" Sampai dua kali Yesus mencoba menyadarkan kita soal 'mengerti' apa yang dilakukan-Nya
kepada kita. Sebelumnya Ia sudah berkata, "Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu
sekarang, tetapi engkau akan mengertinya
kelak." Yesus sangat peduli sekaligus prihatin atas 'pengertian' kita. Ia sangat berharap bahwa kita
mengerti apa yang dilakukan-Nya, yang setiap
kali diberikan-Nya kepada kita dalam Ekaristi.
Bukankah pengertian kita menjadi kunci banyak
persoalan yang kita hadapi? Kita
kecewa karena berharap orang lain berubah dan ternyata itu tidak kunjung terjadi. Kita sedih karena
orang lain tidak memberi kita ucapan selamat
saat kita mencapai keberhasilan. Kita marah pada semua orang karena merasa harus berjuang sendiri pada saat-saat sulit.
Kita terus menerus bertopeng dan
berbohong kepada siapapun hanya karena iri hati terhadap kesuksesan orang lain. Mari perhatikan bahwa pada saat itu kita
tidak mau mengerti semua hal yang
sudah diberikan kepada kita selama ini, yang sungguh tak ternilai harganya. Kita memang sulit mengerti karena sudah
biasa menerima, bahkan meminta,
barang-barang mahal dan kejadian-kejadian
menyenangkan sebagai hadiah.
Surat pertama Paulus kepada umat di Korintus
(bacaan II) melukiskan perjamuan
Tuhan dalam bahasa yang mengejutkan. Paulus memang seorang penulis suci yang mengesankan dalam hal bahasa.
Bacaan ini dipenuhi dengan tindakan Yesus
'memberi' dan 'menyerahkan' diri-Nya. Kita, yang dibawa ke dalam perjamuan-Nya, hanya diajak untuk
'menerima' dan 'melakukan' semua yang dilakukan Tuhan Yesus itu. Dan kita melakukan semua
itu, untuk "memberitakan kematian
Tuhan sampai Ia datang." Paulus mengingatkan supaya setiap kali hadir dalam Ekaristi kita itu sungguh
mengerti apa maksud Yesus mengundang kita
dalam perjamuan-Nya ini. Kita diajak untuk setiap kali memberikan diri kita sendiri, seperti yang telah
dilakukan-Nya untuk kita.
Apa yang kita pikir 'tidak mungkin' kita berikan,
berikanlah itu! Perjamuan yang
kita rayakan ini bukanlah sebuah peragaan apalagi pertunjukan. Perjamuan ini adalah ungkapan kasih
kita yang sangat riil satu sama lain, sebab
di dalamnya, Tubuh Kristus dipecah-pecahkan dan diserahkan kepada kita, Darah Kristus ditumpahkan dan
kita minum untuk mengenangkan kematian-Nya.
Kita mengenangkan sebuah pemberian diri yang tidak mungkin dan yang sulit kita mengerti sekarang. Kita
hanya diminta untuk melakukannya, tanpa
kata-kata dan emosi yang palsu. Berikanlah kasih kita dengan apa adanya, meskipun mereka yang
menerimanya mungkin tidak mengerti juga.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar