Salib: Tahta Damai
“Aku Di Sini, Anak-Ku.. Aku Ada Di Sini!”
oleh Pst. H.
Tedjoworo,osc
[Saya mengalami, dan menyimpan dalam hati, seperti
apa rasanya seorang ibu begitu mengasihi anaknya yang sedang sakit. Ketika
demam berdarah menyerang diri saya yang masih berumur 5 tahun, saya harus
dirawat di rumah sakit, tidak boleh ditunggui terlalu lama. Saya menangis tak
bisa berhenti ketika ibu saya harus pulang. Saya menangis dalam kesepian dan
ketakutan. Yang terbayang waktu itu, hanyalah pulang ke rumah; lebih baik tetap
sakit tapi bersama ibu, daripada disembuhkan tapi harus sendirian di rumah
sakit. Dan terjadilah, saat saya memandang ke arah pintu tempat ibu saya
keluar, sambil tersedu-sedu tanpa ada yang menghibur, ada yang mengetuk-ngetuk
jendela di bagian lain. Ibu saya masih ada di sana, mengintip dari celah
gorden! Betapa damai dan terharu rasanya. Entah berapa lama ibu ada di sana,
memperlihatkan wajah yang tersenyum, seolah mengatakan, “Jangan menangis, ibumu
ada di sini; kamu tidak sendirian...” Malam itu saya tertidur dengan perasaan
damai, meski ibu saya berjuang sekuat tenaga untuk tetap berdiri di dekat
jendela rumah sakit.]
Salve Crux Speciosa. “Salam, hai Salib nan indah!”
Apa sejatinya keindahan itu? Adakah sesuatu yang indah dalam sebuah
penderitaan? Adakah yang indah di salib? Melihat sahabat kita kesakitan,
pasangan hidup kita menangis dalam hati, anak kita sendiri kecewa dan terpuruk,
mereka yang tinggal serumah dengan kita ditimpa masalah...sungguh amat sulit
untuk mengalami keindahan dalam semuanya itu. Keindahan adalah ‘idol’ (Yun.)
yang ditujukan demi kepuasan mata kita memandangnya, terpukau dan terpesona.
Intensionalitas kita terpuaskan oleh setiap idol, setiap idola kita. Tak tahan
kita bertepuk tangan dan ingin menjamah sang idola yang begitu kita kagumi.
Itulah keindahan, selalu memesona, menghanyutkan, membuat kita kehilangan diri
kita sendiri demi dia yang kita kagumi.
Sementara itu, di depan penderitaan dan kesusahan
orang lain, sedekat apapun mereka dengan diri kita, tetap begitu sulit untuk
terpesona. Bahkan kita merasa ngeri, tidak tega, beberapa malah pingsan, tidak
tahan melihat orang yang terkasih berjuang untuk hidup, sementara kita yang berdiri
di sampingnya, benar-benar tidak tahu harus berbuat apa! Kita berdoa? Ya, kita
berdoa. Kita menutup mata dan menangis karena takut, tak berdaya.
Apa yang dilakukan Yusuf dari Arimatea dan
Nikodemus (Yoh. 19:38-39) terhadap tubuh Yesus yang wafat di kayu salib, adalah
tindakan yang indah dan mempesona. Tidak semua orang mampu melakukannya. Kita
mengenal Nikodemus sebagai pemimpin agama Yahudi (3:1) yang pernah berdiskusi
dengan Yesus tentang kelahiran kembali (3:4) dan bahkan memunculkan perkataan yang
sangat penting Yesus, tentang “begitu besar kasih Allah akan dunia ini,
sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal...” (3:16). Yusuf kita
kenal karena keberaniannya meminta kepada Pilatus untuk menurunkan jenasah
Yesus dari kayu salib. Inilah yang mereka lakukan: mereka membawa campuran
minyak mur dan minyak gaharu, kira-kira lima puluh kati beratnya (atau 33 kg
dalam ukuran kita), mengapani
jenasah Yesus dengan kain lenan, dan membubuhinya dengan rempah-rempah menurut
adat Yahudi, lalu meletakkan jenasah Yesus di suatu kubur baru yang di dalamnya
belum pernah dimakamkan seseorang.
Yang dilakukan Yusuf dan Nikodemus itu murni
aromatik dan menyegarkan di dalam kubur baru itu. Tubuh Tuhan menjadi harum dan
segar. Tidak ada yang dibuang percuma dalam semua tindakan ini. Dan kita pun
teringat bahwa kaki Yesus dulu pernah diminyaki dengan lebih dari setengah
liter minyak narwastu yang mahal harganya, hingga bau minyak semerbak di
seluruh rumah (Yoh. 12:3). Tidak ada yang dibuang percuma dalam semua itu,
sebab Yesus sendiri mengatakan bahwa itu dilakukan untuk mengingat hari
penguburan-Nya. Keindahan, ada di dalam tindakan kita terhadap seseorang yang
kita kasihi dan sedang menderita. Kehadiran kita di sana, apa yang kita lakukan
pada saat itu, menjadikan setiap penderitaan yang kita saksikan sebuah
pengorbanan yang berarti! - Salve Crux Speciosa.
[Saya pernah menyayangi seorang gadis, sangat
menyayanginya. Ia masih berumur 12 tahun ketika terjatuh dan syaraf di lehernya
terjepit. Sejak itu ia lumpuh, badannya mengerut dan makin rapuh setiap hari.
Ia hanya bisa berbaring di tempat tidur dengan bantuan ventilator karena
paru-parunya pun mengecil. Badannya tetap kecil, tidak bertumbuh lagi,
bertahun-tahun seperti itu. Tetapi, terpujilah Tuhan, ia selalu menjadi sumber
kegembiraan bagi mamanya dan keluarganya yang demikian setia merawatnya dari
hari ke hari. Ia bahkan membawa keceriaan pada orang-orang yang mengunjunginya
dengan perasaan kasihan dan tak tega. Ia yang menghibur mereka! Tetapi, bukan
hanya dirinya, melainkan mamanya pun adalah sosok yang mengagumkan. Setelah 5
tahun menderita, sebentar setelah ulang tahunnya yang ke-17, gadis ini
meninggal dunia. Ia pergi dengan diam-diam, tak ada yang menduga. Namun
kata-kata mamanya saat itu, membuat saya sungguh terharu dalam iman. Ia
mengatakan, “Saya tidak bisa menangis, hanya bersyukur, berterima kasih pada
Tuhan yang memberikan anak yang saya lahirkan dengan sepenuh cinta saya. Saya
sudah mencintai dia dengan segenap hati, dan saya tak pernah kehilangan dia
karena dia selalu bersama Yesus; dia tak pernah ada di sini, tak pernah tinggal
di rumah ini, sebab dia selalu bersama-sama dengan Yesus sejak kelahirannya di
dunia...” Pada saat itu saya melihat Bunda Maria berdiri di kaki salib
memandang Yesus putra-Nya dalam sakratul maut. Bunda Maria berkata, “Aku di
sini Anakku... aku ada di sini!”]
Salve Crux Speciosa. Salam, hai Salib nan indah.
Salam, hai Putra Allah yang tersalib. Di kayu salib, kita melihat cinta Allah
yang tumpah ruah mengagumkan dalam tubuh Putra-Nya yang dihabiskan oleh
penderitaan. Dan persepsi kita seringkali salah menangkap maksud setiap detil
yang terjadi selama penderitaan Yesus, selama jalan salib yang dilalui-Nya
setengah mati itu. Di dalam kemauan-Nya menanggung semuanya itu, di puncak
saat-Nya yang hampir tiba itu, Ia berdoa dengan suara nyaring, “Eli, Eli, lama
sabakhtani?” (Artinya, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku”).
Ya, Yesus berdoa. Ia tidak sedang putus asa seperti sangkaan orang. Ia tidak
sedang memprotes Bapa-Nya dalam kata-kata keluhan. Sebab, yang diucapkan-Nya
itu adalah sebuah doa, Mazmur 22. Dan doa itu tidak pernah selesai
diucapkan-Nya, karena kekuatan-Nya sudah tidak ada lagi untuk menyelesaikan
doa-Nya. Yesus selalu berdoa cukup lama, bahkan bisa sepanjang malam Ia berdoa.
Kali ini, Ia hanya sampai pada kalimat pertama Mazmur itu, yang jika dibaca
lengkap justru menunjukkan kepercayaan, sebab “Allah tidak memandang hina
kesengsaraan orang yang tertindas, dan tidak menyembunyikan wajah-Nya kepada
orang itu; Ia mendengar ketika orang itu berteriak minta tolong kepada-Nya”.
Yesus pada saat-Nya itu sedang berdoa kepada
Bapa-Nya. Ia menyapa Bapa-Nya, bukan karena Bapa tidak ada di sana. Sebaliknya,
Ia sedang menyapa, memandang Bapa-Nya yang hadir di sana! Bapa memang tidak
tampak bagi kita, tetapi bagi Yesus Bapa selalu ada dalam diri-Nya, dan
diri-Nya selalu ada dalam Bapa (Yoh 14:11). Sungguh mengagumkan relasi cinta
yang terbukti di kayu salib itu! Dan ketika kepala pasukan yang berdiri
berhadapan dengan Yesus melihat mati-Nya demikian, berkatalah ia: “Sungguh,
orang ini adalah Anak Allah!” Kepala pasukan itu ‘melihat’ kehadiran Allah Bapa
dalam diri Yesus Putra-Nya yang paling dikasihi. Bunda Maria, yang berdiri di
sana, pun teringat akan kata-kata Putranya itu saat diketemukan di Bait Allah,
“Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam
rumah Bapa-Ku?” Tidak ada yang bisa menggugat kesatuan Yesus dengan Bapa-Nya,
tidak pula ibu-Nya sendiri. Keindahan sebuah relasi ilahi semacam ini, takkan
kita temukan di manapun juga, kecuali di kayu salib, ketika Yesus berdoa dan
menyerahkan nyawa kepada Bapa dan Sahabat-Nya (“Tidak ada kasih yang lebih
besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya,”
Yoh. 15:13).
Salve Crux Speciosa. Jadi benar, di dalam salib,
kita bisa mengalami, dan bukan hanya melihat, keindahan ilahi. Keindahan itu
kita alami, sebab penderitaan mesti diubah menjadi sebuah pengorbanan yang
berarti. Penderitaan kita mampu mengubah hati orang lain, dan penderitaan
orang-orang yang terkasih di hadapan kita pun hendaknya mengubah hati kita.
Keindahan itu akan mempesona kita di saat kita ‘melepaskan’, mengizinkan
orang-orang yang kita sayangi dan menderita untuk melihat Bapa, dicintai,
dipeluk, dikuatkan oleh Bapa. Kita mendampingi mereka sebagai sahabat-sahabat
duniawi yang mengatakan, “Jangan takut, aku ada di sampingmu, bersamamu...”
Kita tidak bicara tentang moralitas dan perbuatan baik di sini. Kita bicara
tentang ‘kehadiran’ kita, kesetiaan untuk berdiri di kaki salib, kemauan untuk
memandang mereka yang tersalib dan menyediakan hati dan diri kita untuk
menopang mereka. Kita harus mau memandang mereka, jangan memalingkan wajah,
sebab keindahan iman kita baru kelihatan jika kita menemukan kesetiaan dalam
hal-hal yang paling menyakitkan sekalipun.
Di hadapan relasi cinta Yesus dan Bapa-Nya,
tindakan yang bisa kita lakukan adalah hadir dan bersaksi. Apapun sumbangan
kita tidak akan ada gunanya di depan peristiwa kasih ilahi itu. Pada saat ini,
setiap perasaan kehilangan kita menjadi tidak relevan lagi. Setiap tangis dan
kesedihan kita hanya menjadi sandungan iman yang mengaburkan peristiwa cinta
yang begitu indah di kayu salib. Sungguh, tidak ada gunanya menangisi sebuah
kepergian, sebuah putusnya relasi, sebuah kekeliruan yang tak bisa diperbaiki lagi.
Kalaupun air mata kita menetes, itu karena rasa syukur yang tak terhingga,
karena mata kita tak dapat mengungkapkan perasaan haru melihat kehadiran Allah
Bapa yang sangat memesona itu. Ternyata Ia selalu hadir di balik setiap
peristiwa yang Yesus alami, sejak dikandung ibu-Nya hingga menyerahkan nyawa di
kayu salib. Ia adalah the Grand Narrator, pengisah yang terhanyut dalam
kisahnya sendiri.
Salib Yesus mengajari kita untuk bukan hanya
memberikan diri kita pada Sang Sahabat ilahi, tetapi juga menyerahkan,
mengizinkan, dan mendampingi jiwa-jiwa para sahabat kita yang menderita agar
mengalami kedekatan relasi dengan Bapa surgawi. Salib adalah Tahta Damai. Kita
membawakan minyak yang harum semerbak bagi mereka yang tersalib. Kita diajak
untuk berada di samping mereka yang sungguh-sungguh sakit dan menderita,
menyediakan waktu untuk mereka (dan bukan hanya sekali-sekali), memandang
mereka dengan kasih sayang yang tulus, hadir dengan segenap perhatian kita,
agar mereka tak pernah merasa sendirian, agar mereka tetap merasakan kedamaian.
Katakan kepada mereka, “Aku di sini, sahabatku... aku ada di sini!”
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar