Sabtu, 27 April 2013

Aku Bertanggung Jawab Demi Kebaikanmu



Minggu Paskah V (C)
Kis 14:21b-27, Why 21:1-5a, Yoh 13:31-33a.34-35
oleh Pst. H. Tedjoworo,OSC

Mengapa pasangan-pasangan yang awet relasinya tak bosan-bosan mengucapkan "aku sayang kamu" setiap hari? Sebabnya ialah cinta mereka bukan lagi perkara perasaan. Maka, meskipun mereka berbeda pendapat begitu tajam, tetap saja cinta mereka tidak berubah. Bagi mereka, cinta adalah 'tanggung jawab' yang tidak memerlukan balasan atau terima kasih dari yang lain. Santo Thomas Aquinas mengatakan bahwa cinta adalah "menghendaki hal yang baik pada diri orang lain." Cinta dimulai dengan 'kehendak', dan kehendak ini kelihatan dalam membayangkan, membicarakan, dan melakukan yang terbaik untuk orang lain. Terlalu ideal? Justru tidak. Sangat realistis.

Seorang nenek tinggal di lingkungan yang aneh. Beberapa tetangganya ribut, kasar, dan bertingkah semaunya. Teriakan anak-anak dan orangtua yang bertengkar kedengaran dari pagi sampai malam. Mereka bahkan seenaknya bermain sampai di halaman orang lain. Sudah banyak yang memprotes dan mengancam, tapi keadaan tetap tidak berubah. Suatu malam salah seorang anak berlari dan menekan bel di rumah nenek itu. Ia cemas dan minta tolong, ibunya jatuh sakit padahal ayah di luar kota. Nenek itu berjalan ke rumah mereka, menelepon ambulans, dan menunggui ibu mereka sampai ambulans datang. Ia bahkan menenangkan anak-anak. Itulah cinta. Sangat realistis.

Kata 'kasih' yang ditangkap Yohanes dari Yesus adalah 'agapao' (Yun.), jenis yang paling radikal dan  mengatasi segala bentuk kasih. Yesus mengatakan bahwa ini adalah sebuah "perintah baru". Akan tetapi, dapatkah seseorang 'diperintahkan' untuk mengasihi? Terjemahan yang kita terima memang
berbentuk imperatif, namun sebenarnya Yohanes memakai kata yang bernuansa 'subjungtif', yakni mengandung makna kemungkinan dan syarat tertentu. Dan Yesus memang bersabda begini, "sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi." Kalau ini 'baru', apa bedanya dengan perintah mengasihi dalam Imamat 19:18?

Berbeda. Dalam kitab Imamat dikatakan "kasihilah sesamamu manusia seperti (kamu mengasihi) dirimu sendiri." Kita segera tahu, bahwa bedanya terletak sesudah kata 'seperti'. Yesus meminta kita mengasihi 'seperti' (atau 'dengan cara') Dia telah mengasihi kita. Dalam cara Yesus, mengasihi membuat kita kehilangan diri sendiri. Kita tidak mencari kebaikan diri kita sendiri, melainkan semata-mata kebaikan orang lain. Tetapi, jangan lantas ditafsirkan bahwa itu sama dengan menyakiti diri sendiri asalkan orang lain senang. Bukan begitu. Kasih Yesus itu demi hal yang terbaik terjadi dalam diri orang lain. Kasih-Nya adalah tanggung jawab agar orang lain selamat dan menjadi makin baik.

Kita bisa mengerti bahwa orang di zaman kita sudah bosan dengan kata-kata 'kasih'. Bahkan orang kristiani pun bosan mengucapkannya. Beberapa merasa bahwa itu hanya mudah diucapkan. Kasih menjadi hal yang paling tidak riil dalam hidup kita, hanya bagus terdengar saat kita berdoa. Mereka yang bingung bagaimana harus mengasihi sering jatuh dalam keinginan yang sebaliknya, yakni menghendaki hal-hal buruk terjadi dalam diri orang lain.

Betapa cepat virus ini menular di antara mereka yang senang bersekongkol, bersepakat satu sama lain. Ketika menghendaki hal buruk terjadi pada orang lain, biasanya kita tidak mau sendirian. Kita perlu beberapa teman untuk membenarkan kehendak yang jahat. Sebaliknya, kehendak yang baik, kasih itu, tak perlu dukungan siapapun. Kasih sejati berasal dari kematangan diri.

Model kesaksian Paulus dan Barnabas, seperti yang dikisahkan dalam Kisah Para Rasul (bacaan I), adalah model yang mereka dapatkan dari Yesus sendiri. Kita tahu bahwa di bagian sebelum ini, mereka menghadapi hasutan dan aniaya yang luar biasa. Paulus bahkan dilempari batu dan diseret ke luar kota, begitu buruk sampai disangka sudah mati. Bahwa ia masih bangkit lagi dan bersama Barnabas terus meneguhkan jemaat-jemaat untuk bertekun dalam iman, hanya mungkin karena kasih Yesus yang dialaminya itu sungguh riil. Paulus adalah figur yang sudah matang dalam hal iman. Ia mengasihi dan melayani siapapun tanpa tergantung pada reaksi maupun dukungan orang lain. Ia tidak mau berhenti karena penganiayaan. Ia tidak akan mati karena mencontoh apa yang sudah dilakukan Yesus padanya.

Apakah kita bosan mendengar kata-kata itu? Apakah kita sudah kehilangan ide tentang bagaimana seharusnya kita mengasihi? Jika ya, mulailah dengan belajar bertanggung jawab terhadap orang lain. Mulailah lagi dengan menghendaki hal-hal yang baik terjadi dalam diri saudara kita. Mulailah lagi dan lagi dari diri kita sendiri saja. Tak perlu mencari-cari teman apalagi komplotan untuk belajar mengasihi orang lain. Sebaliknya, kita mesti kritis terhadap relasi-relasi dan pertemanan kita selama ini. Apakah semuanya itu membawa kebaikan bagi orang lain? Atau, hanya demi kepuasan kita sendiri? Atau bahkan, hanya menimbulkan perpecahan dan kesepakatan-kesepakatan yang jahat?

Mungkin benar, kasih itu dimulai dari kehendak yang baik terhadap orang lain. Demikian sederhana! Dan pada saat kita benar-benar bertanggung jawab atas hidup orang lain, kasih kita itu menjadi sangat realistis.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar