Minggu Paskah V (C)
Kis 14:21b-27, Why 21:1-5a, Yoh 13:31-33a.34-35
oleh Pst. H. Tedjoworo,OSC
Mengapa pasangan-pasangan yang awet relasinya tak
bosan-bosan mengucapkan "aku
sayang kamu" setiap hari? Sebabnya ialah cinta mereka bukan lagi perkara perasaan. Maka, meskipun mereka
berbeda pendapat begitu tajam, tetap saja
cinta mereka tidak berubah. Bagi mereka, cinta adalah 'tanggung jawab' yang tidak memerlukan balasan atau
terima kasih dari yang lain. Santo Thomas
Aquinas mengatakan bahwa cinta adalah "menghendaki hal yang baik
pada diri orang lain." Cinta
dimulai dengan 'kehendak', dan kehendak ini kelihatan dalam membayangkan, membicarakan, dan melakukan yang terbaik
untuk orang lain. Terlalu ideal?
Justru tidak. Sangat realistis.
Seorang nenek tinggal di lingkungan yang aneh.
Beberapa tetangganya ribut, kasar,
dan bertingkah semaunya. Teriakan anak-anak dan orangtua yang bertengkar kedengaran dari pagi sampai
malam. Mereka bahkan seenaknya bermain
sampai di halaman orang lain. Sudah banyak yang memprotes dan mengancam, tapi keadaan tetap tidak
berubah. Suatu malam salah seorang anak berlari
dan menekan bel di rumah nenek itu. Ia cemas dan minta tolong, ibunya jatuh sakit padahal ayah di luar
kota. Nenek itu berjalan ke rumah mereka,
menelepon ambulans, dan menunggui ibu mereka sampai ambulans datang. Ia bahkan menenangkan anak-anak. Itulah
cinta. Sangat realistis.
Kata 'kasih' yang ditangkap Yohanes dari Yesus
adalah 'agapao' (Yun.), jenis yang
paling radikal dan mengatasi segala bentuk kasih. Yesus
mengatakan bahwa ini adalah sebuah
"perintah baru". Akan tetapi, dapatkah seseorang 'diperintahkan' untuk mengasihi?
Terjemahan yang kita terima memang
berbentuk imperatif, namun sebenarnya Yohanes
memakai kata yang bernuansa 'subjungtif',
yakni mengandung makna kemungkinan dan syarat tertentu. Dan Yesus memang bersabda begini,
"sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi." Kalau ini
'baru', apa bedanya dengan
perintah mengasihi dalam Imamat 19:18?
Berbeda. Dalam kitab Imamat dikatakan
"kasihilah sesamamu manusia seperti (kamu
mengasihi) dirimu sendiri." Kita segera tahu, bahwa bedanya terletak sesudah kata 'seperti'. Yesus meminta
kita mengasihi 'seperti' (atau 'dengan cara')
Dia telah mengasihi kita. Dalam cara Yesus, mengasihi membuat kita kehilangan diri sendiri. Kita tidak
mencari kebaikan diri kita sendiri, melainkan
semata-mata kebaikan orang lain. Tetapi, jangan lantas ditafsirkan bahwa itu sama dengan menyakiti diri
sendiri asalkan orang lain senang. Bukan
begitu. Kasih Yesus itu demi hal yang terbaik terjadi dalam diri orang lain. Kasih-Nya adalah tanggung jawab
agar orang lain selamat dan menjadi makin
baik.
Kita bisa mengerti bahwa orang di zaman kita sudah
bosan dengan kata-kata 'kasih'.
Bahkan orang kristiani pun bosan mengucapkannya. Beberapa merasa bahwa itu hanya mudah diucapkan. Kasih
menjadi hal yang paling tidak riil dalam
hidup kita, hanya bagus terdengar saat kita berdoa. Mereka yang bingung bagaimana harus mengasihi
sering jatuh dalam keinginan yang sebaliknya,
yakni menghendaki hal-hal buruk terjadi dalam diri orang lain.
Betapa cepat virus ini menular di antara mereka
yang senang bersekongkol, bersepakat
satu sama lain. Ketika menghendaki hal buruk terjadi pada orang lain, biasanya kita tidak mau
sendirian. Kita perlu beberapa teman untuk
membenarkan kehendak yang jahat. Sebaliknya, kehendak yang baik, kasih
itu, tak perlu dukungan siapapun.
Kasih sejati berasal dari kematangan diri.
Model kesaksian Paulus dan Barnabas, seperti yang
dikisahkan dalam Kisah Para Rasul
(bacaan I), adalah model yang mereka dapatkan dari Yesus sendiri. Kita tahu bahwa di bagian sebelum ini,
mereka menghadapi hasutan dan aniaya yang
luar biasa. Paulus bahkan dilempari batu dan diseret ke luar kota, begitu buruk sampai disangka sudah
mati. Bahwa ia masih bangkit lagi dan bersama
Barnabas terus meneguhkan jemaat-jemaat untuk bertekun dalam iman, hanya mungkin karena kasih Yesus yang
dialaminya itu sungguh riil. Paulus adalah
figur yang sudah matang dalam hal iman. Ia mengasihi dan melayani siapapun tanpa tergantung pada reaksi
maupun dukungan orang lain. Ia tidak mau
berhenti karena penganiayaan. Ia tidak akan mati karena mencontoh apa yang sudah dilakukan Yesus padanya.
Apakah kita bosan mendengar kata-kata itu? Apakah
kita sudah kehilangan ide tentang
bagaimana seharusnya kita mengasihi? Jika ya, mulailah dengan belajar
bertanggung jawab terhadap orang lain. Mulailah lagi dengan menghendaki hal-hal yang baik terjadi
dalam diri saudara kita. Mulailah lagi dan
lagi dari diri kita sendiri saja. Tak perlu mencari-cari teman apalagi komplotan untuk belajar mengasihi orang
lain. Sebaliknya, kita mesti kritis terhadap
relasi-relasi dan pertemanan kita selama ini. Apakah semuanya itu membawa kebaikan bagi orang lain? Atau,
hanya demi kepuasan kita sendiri? Atau
bahkan, hanya menimbulkan perpecahan dan kesepakatan-kesepakatan yang jahat?
Mungkin benar, kasih itu dimulai dari kehendak yang
baik terhadap orang lain. Demikian
sederhana! Dan pada saat kita benar-benar bertanggung jawab atas hidup orang lain, kasih kita itu
menjadi sangat realistis.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar