Minggu Paskah VI (C)
Kis 15:1-2.22-29, Why 21:10-14.22-23, Yoh 14:23-29
Oleh Pst.H. Tedjoworo,OSC
Seseorang mendampingi bosnya berbelanja di
pertokoan barang-barang bermerk dunia
dan yang terkenal mahal. Sebagai asisten, tentu saja dia berusaha untuk tidak peduli barang apa saja yang
dibeli oleh bosnya. Ia melihat-lihat di
satu toko semua pelayan toko pun tidak mempedulikannya. Sudah banyak orang datang ke sana hanya untuk melihat-lihat, karena mahalnya
barang-barang yang dipajang. Ia
kembali ke bosnya karena dipanggil untuk membawakan tas-tas belanjaan. Ketika kembali ke toko tadi,
ia terkejut bukan main karena tiba-tiba
semua pelayan di situ menjadi ramah dan membungkuk dalam-dalam kepadanya. Ia baru menyadari bahwa
mereka berubah sikap karena tas belanjaan
yang dibawanya itu! Tas itu bermerk ‘Hermès’ yang harganya mencapai
ratusan juta rupiah. Itulah damai
yang ditawarkan dunia. Ada harga, ada damai.
Damai dari dunia memang diperjualbelikan. Harganya
tidak harus uang. Bisa juga berupa
kuasa, promosi dan marketing, kebanggaan diri, sampai ke penilaian
yang serba bagus, jaminan keberpihakan, hingga sikap tutup mulut atas kebejatan orang. Dunia kita adalah
pasar, maka damai yang ditawarkannya harus
dibeli dengan semua itu. Tidak ada damai duniawi yang diberikan begitu
saja, apalagi gratis. Kita sudah terbiasa untuk
meminta-minta damai dari orang
lain atau suasana sekitar kita. Kalau sudah hampir frustrasi, kita akan memaksa orang, mengintimidasinya,
supaya ia akhirnya memberikan kelegaan
pada batin kita. Kita rela berbuat jahat supaya hati kita bisa damai. Damai yang diberikan dunia
ternyata bisa menakutkan.
Damai dalam bahasa Yunani adalah ‘eirene’, yang
menerjemahkan bahasa Ibraninya
‘shalom’. Tetapi, ‘shalom’ itu lebih dari sekadar tidak ada konflik. Ia meliputi kesejahteraan
terbesar bagi orang-orang dan masyarakat,
diwarnai keseluruhan, kesembuhan, kelimpahan, harmoni, rekonsiliasi,
kerukunan sosial, serta kesehatan spiritual dan
fisik. Damai yang hanya berasal
dari Mesias inilah yang diberikan Yesus kepada para murid. Mereka harus menerima damai ini, harus kuat
kalau nanti menghadapi penganiayaan setelah
kepergian Yesus.
Di masa Yesus, hanya ada dua jenis damai. Yang satu
adalah “damai lewat kemenangan”,
yang adalah pendekatan orang-orang Romawi. Yang lain adalah “damai lewat keadilan,” yang adalah
pendekatan Yesus. Yesus mengontraskan damai
yang diberikan-Nya dan damai yang diberikan dunia. Damai-Nya bukan lewat kemenangan dan dominasi seperti
dalam pandangan dunia. Damai-Nya itu
kolektif, demi iman para rasul dalam kebersamaan.
“Jangan gelisah dan gentar hatimu.”
‘Hati’ (Yun. ‘kardia’) itu tunggal, tetapi ‘-mu’ (Yun. ‘humon’) itu jamak. Dengan itu, Yesus menyampaikan
bahwa damai, seperti juga kasih, hanya bisa
kita berikan, dan tidak bisa kita minta apalagi kita tuntut dan
paksakan dari orang lain.
Bukankah orang yang hatinya damai itu senang
memberi dan murah hati? Sebaliknya,
yang hatinya tidak damai, hanya mau memiliki dan mencoba merampas apa yang menjadi hak orang lain. Orang yang hatinya
damai itu murah senyum, senang
menyapa orang lain, entah dibalas kembali dengan senyum atau tidak. Ia terus menerus memberi dan
membagikan, dan tak pernah merasa kekurangan.
Tetapi, dunia kita mengajar bahwa damai itu harus dibeli dan dikejar. Itu sebabnya mereka yang tak
punya damai dalam dirinya pun tidak pernah
puas menuntut dan mengejar orang lain. Segala cara bisa dipakai demi kepuasan yang tak pernah didapat itu,
baik dengan menyelidiki, menceritakan keburukan
orang, meneror atau menyindir. Masih banyak kata dan sikap kita yang hanya mencerminkan hati yang
gelisah dan gentar, yang tak pernah merasa
puas, entah mengapa!
Kisah Para Rasul (Bacaan I) yang kita dengar hari
ini menunjukkan betapa taat para
rasul mendengarkan dan mengikuti keputusan Roh Kudus. Konflik yang dihadapi jemaat kristiani perdana
menyangkut soal apakah orang Kristen bukan
Yahudi harus disunat atau tidak. Menyadari bahwa persoalan ini sungguh-sungguh berat bagi orang-orang bukan
Yahudi yang percaya kepada Yesus,
para rasul mengikuti keputusan Roh Kudus, yakni “supaya kepada kamu jangan ditanggungkan lebih banyak beban
daripada yang perlu.” Kedamaian tercipta
manakala kita tidak menuntut dan membebani orang lain. Kehendak Roh Kudus selalu supaya iman kita bertumbuh
dengan sehat dan tenang, bukan dalam aturan
dan tuntutan yang hanya melelahkan jiwa.
Kini kita tahu, pesan Injil hari ini terutama ialah
supaya kita pun belajar untuk
terus menerus ‘memberikan’ damai yang sudah kita dapatkan dari Yesus. Jangan lagi mengejar-ngejar damai kita
sendiri, yang berasal dari dunia ini dan
tidak akan membuat kita bertumbuh tenang dalam iman. Kita tidak akan mampu ‘membeli’ damai dari sikap ramah
dan sapaan orang lain. Kita juga tidak
perlu mengejar damai kita sendiri dengan mempengaruhi dan memiliki hati orang, atau bahkan dengan sengaja
membuat orang lain ‘tidak damai’.
Mulai sekarang, kita belajar ‘memberikan’ damai
sejati, yang selalu gratis dan
akan cukup untuk semua orang yang kita jumpai, entah mereka membalas kembali pemberian kita ataupun tidak.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar