Hari Kenaikan Tuhan (C)
Kamis, 9 Mei 2013
Kis 1:1-11, Ef 1:17-23, Luk 24:46-53
Oleh: Pst. H. Tedjoworo, OSC
Pengalaman kita saat pertama kali belajar naik
sepeda tentu membekas dalam hati.
Lamanya belajar tiap orang berbeda-beda. Ada yang cepat bisa, ada juga yang perlu waktu lama. Ada yang seperti langsung
bisa menyeimbangkan diri, tapi ada
juga yang harus berkali-kali terjatuh. Yang
kita ingat ialah saat seseorang membantu memegangi sepeda, dan kita mulai mengayuhnya. Perasaan
gembira dan bangga muncul segera, tapi
kita mulai panik ketika pegangan dilepaskan dan kita harus sendirian. Kita takut tak mampu
mengendalikan, takut akan terjatuh karena
belum menguasai keadaan. Tapi adakah cara lain kecuali pegangan dilepaskan? Tidak ada. Bantuan menciptakan
ketergantungan. Bantuan dalam arti
tertentu ‘menghambat’ kita untuk maju dan ‘membatasi’ diri kita sendiri.
Mungkin yang terakhir ini adalah penyebab sulitnya
kita bertumbuh dalam banyak hal.
Bukan orang lain saja yang bisa menahan perkembangan kita, tetapi diri sendiri pun malah bisa menghalangi. Ada orang
yang senang dibantu terus menerus,
senang ditarik-tarik dan dipertahankan oleh
teman-temannya, sehingga tak pernah sungguh-sungguh maju hidupnya. Ini kedengaran aneh, tapi nyata. Bagaimana kalau ‘kekhawatiran’ yang mereka katakan itu
sebenarnya cara untuk mengikat kita
pada sebuah tiang? Kita mungkin akan kehilangan sebuah masa depan yang jauh lebih cerah dari yang pernah
kita bayangkan. Berbagai kesempatan
yang hebat dalam hidup kita seringkali dimulai dengan mengucapkan selamat tinggal pada ikatan-ikatan itu.
Peristiwa kenaikan Yesus ke surga tidak dapat
dilepaskan dari keseluruhan
pengalaman kebangkitan. Bagi para penulis Injil, peristiwa kenaikan Yesus adalah penugasan
sekaligus pelimpahan kuasa kepada para murid.
Peristiwa ini bukan sebuah akhir, bukan pula tujuan kesetiaan mereka sebagai murid. Yesus menunjukkan
bahwa Ia tidak dapat lagi dihalangi
oleh apapun juga, dan begitu pula seharusnya dengan para murid! Yesus takkan menghalangi mereka lagi, sebab mulai
sekarang Roh Kudus akan
menggerakkan mereka untuk melakukan hal-hal besar yang tak terbayang sebelumnya.
Yesus sudah mengalami segala macam usaha yang
ditujukan untuk mengikat,
menjatuhkan, menyalibkan, mematikan, dan menguburkan-Nya. Ia tetap tidak bisa dikuburkan, karena
dari kubur itu Ia bangkit dan bahkan
membawa kehidupan ke tempat-tempat di mana maut masih menguasai. Yesus tidak bisa ditahan lagi! Dan dari kenyataan
itulah Ia kini memberi kekuatan
kepada murid-murid-Nya. “Kamu adalah saksi dari semuanya ini. Aku akan mengirim apa yang dijanjikan Bapa-Ku, dan
kamu akan diperlengkapi kekuasaan
dari tempat tinggi.” Yesus pergi, namun dengan
janji bahwa pengikut-Nya pun takkan bisa dikalahkan oleh kekuatan jahat sebesar apapun di dunia ini.
Kapankah terakhir kita menyadari bahwa di balik
semua hambatan dalam hidup kita
itu, Tuhan selalu punya rencana yang luar biasa? Kita sudah berkali-kali diikat oleh kekecewaan,
kemarahan, gengsi, luka batin, kebencian,
dan kesedihan. Semuanya itu mau menahan hati kita, menghalangi mata kita untuk melihat bahwa hidup kita itu
dimaksudkan jauh lebih indah,
lebih membahagiakan dari yang kita sangka saat ini. Sayangnya,
kita sering mau bertahan dalam relasi, situasi, dan kebiasaan tertentu yang membuat kita tidak berkembang. Kita
takut kehilangan relasi, takut
mengucapkan selamat tinggal, takut berhenti
dari kelekatan kita. Dan hidup kita pun begini-begini saja.
Dalam Kisah Para Rasul (bacaan I), para rasul
tenggelam dalam keterpukauan
mereka setelah menyaksikan Yesus terangkat dan awan menutupi-Nya. Dunia seperti berhenti.
Mereka terpaku dan masih belum percaya
bahwa sekarang mereka sendirian. Memang Yesus meminta mereka jadi saksi-Nya, tetapi bagaimanapun
masih berat kaki mereka untuk beranjak
saat itu. Kata-kata malaikat membangunkan mereka, supaya sadar dan melepaskan diri dari rasa berat apapun yang menahan
mereka untuk bersaksi. Hidup itu
terlalu berharga untuk dihabiskan dengan mengeluh
dan meratapi setiap kehilangan. Semua kenangan indah memang mengharu biru perasaan, tapi tidak
membantu sama sekali untuk bertumbuh
dalam iman dan kesaksian.
Apa yang sekarang ini terus memenjara diri kita
dalam nostalgia? Apa yang membuat
kita setiap kali tidak bisa maju, membuat kita merasa tak mampu lebih dari keadaan kita sekarang?
Pesan Yesus supaya kita menjadi
saksi bagi-Nya berarti bahwa kita harus berani melepaskan kelekatan kita pada kenangan-kenangan
yang tak berguna. Memang tidak segampang
diucapkan. Kenyataannya, kita sering merasa sayang untuk melepaskan sebuah keterikatan. Kita senang berandai-andai dan
berharap bahwa masa lalu masih
bisa terulang kembali. Bukankah dengan begitu kita takkan bisa mengayuh sepeda sendiri?
Kalau mau menjadi saksi Kristus, kita harus berani
melangkah maju meski kadangkala
kita harus melangkah sendiri. Dengan berani memulai sesuatu yang baru, berinisiatif dari diri sendiri, melihat dan menerima apa yang Tuhan rencanakan atas
hidup kita, kita akan menginspirasi
orang-orang di sekitar kita, dan ternyata kita tidak sendirian lagi. Seperti Tuhan telah naik dan tak dapat ditahan
lagi, kita pun jangan mau ditahan
oleh pikiran dan kelekatan dunia ini.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar