Sabtu, 11 Mei 2013

Janji Pemenuhan Dari Bapa Yang Adil

Minggu Paska VII (C)
Kis 7:55-60, Why 22:12-14.16-17.20, Yoh 17:20-26 
Oleh Pst. H. Tedjoworo, OSC

"The Rolling Stones" barangkali adalah kelompok musik rock tertua yang masih juga manggung di zaman ini. Kelompok yang didirikan oleh Mick Jagger dan Keith Richards ini sudah terbentuk pada tahun 1962. Sungguh 51 tahun yang mengesankan Mick Jagger sendiri kini sudah berumur hampir 70 tahun. Siapapun yang membentuk band pasti bermimpi bahwa kelompoknya akan bertahan lama dihati penggemar, dan bersama-sama ingin menghasilkan album yang disukai orang. Apakah "The Rolling Stones" pernah hampir bubar? Berkali-kali.

Apalagi dalam bermusik, mudah sekali muncul perbedaan yang akan segera menyebabkan perpecahan. Belum lagi soal kelakuan personilnya, permasalahan di keluarga masing-masing, kesalahan dan skandal yang telanjur terjadi, dan sebagainya. Puluhan tahun itu tidak selalu mengesankan, tapi menyedihkan dan mengecewakan.

Bukankah kesatuan itu simbol psikologis yang begitu kuat namun sekaligus tak pernah sungguh-sungguh kita capai? Gereja sendiri mengalaminya. Ribuan tahun di dunia. Puluhan ribu gereja. Semuanya percaya pada Yesus Kristus yang satu, namun sekaligus tak dapat bertahan dalam kebersamaan. Aksi dan reaksi bersahutan. Denominasi dan sekte tumbuh tak dapat dibendung. Benarkah gereja itu sudah sangat tua sekaligus begitu kekanak-kanakan? Belum tentu. Tergantung pandangan kita akan kesatuan. Kita mungkin pernah tahu bahwa kesatuan gereja sebetulnya mengizinkan banyak perbedaan. Hanya, sayangnya, kita sendiri yang tidak tahan, sulit mengakui perbedaan.

Di mata para murid waktu itu mungkin terbayang kebingungan soal apa yang sesungguhnya dimaksud Yesus dalam doa-Nya. Doa yang sangat indah dan 'kena' di hati mereka ini masih membawa pertanyaan. Sebelum peristiwa salib, mereka sudah sangat khawatir bahwa nanti mereka akan terpecah belah, akan sulit untuk tetap bersatu tanpa ada Yesus di antara mereka. Karena bayangan perpecahan itulah Yesus berdoa melampaui rumusan dan teologi manapun. Ia berdoa dengan hati-Nya, "Ya Bapa, Aku mau supaya, di manapun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku." Yesus memohon ini karena tahu, bahwa diri-Nyalah yang selama ini menyatukan mereka.

Akan tetapi, Yesus juga sudah menekankan bahwa kesatuan yang diharapkan-Nya berbeda dengan yang dibayangkan para murid. Kesatuan Yesus adalah, "supaya mereka sempurna menjadi satu", kesatuan yang begitu dalam sehingga Yohanes memakai salah satu kata terpenting dalam Perjanjian Baru, yakni 'tetelaiomenoi' (Yun.), artinya, tujuan, akhir, kepenuhan. Kata ini juga yang dipakai Yesus di kayu salib ketika mengatakan, "Selesailah sudah" (Yoh 19:30). Jadi, kesatuan Yesus adalah pemenuhan janji dari Bapa yang disebut-Nya dengan berbeda dari biasanya: 'Bapa yang adil'. Kesatuan ini bukanlah usaha, bukan pula prestasi manusia. Bapa yang adil menghargai tiap individu dan perbedaan, dan akan membawa mereka pada kesatuan hati.

Di dalam keluarga, kelompok, dan komunitas yang kita alami sekarang ini, pasti banyak kesulitan yang pernah dan masih kita khawatirkan akan terjadi. Harmoni adalah isu yang menarik, kalau bukan menjengkelkan. Lebih sering kita alami sebagai yang terakhir. Kita mudah frustrasi ketika tidak berhasil mempertahankan pertemanan. Kita merasa hampa dan kesepian pada saat menyaksikan saudara-saudara kita sendiri saling bertengkar. Begitu kita sudah merasa capek menjaga tenggang rasa di dalam kelompok, kita mulai menampilkan wajah yang seakan-akan selalu manis dan tanpa masalah, berbicara seperlunya supaya 'pokoknya tidak ada konflik', melucu terus menerus, tertawa terus menerus. Harmoni benar-benar menjengkelkan.

Kisah tentang matinya Stefanus, dalam bacaan I (Kisah Para Rasul), bukan hanya kisah menakjubkan tentang bagaimana mempertahankan iman. Kisah ini juga menuju sebuah persoalan yang tak pernah siap dihadapi oleh gereja selama berabad-abad. Stefanus berdiri sendirian mengungkapkan iman dan
penglihatannya akan Yesus Kristus, Putra Allah. Persoalannya ialah, ia bukan seorang penguasa, bukan juga imam agung. Kita mendengar bagaimana sebuah pengadilan massa dibiarkan begitu saja, bahkan oleh para pemimpin agama, sehingga kematian Stefanus seakan-akan lenyap di balik kebersamaan (dalam kejahatan) yang anonim itu. Perbedaan mengganggu kebersamaan?

Jadi benar bahwa kita mesti 'merumuskan' kembali kesatuan yang kita hayati. Merumuskan bukan dengan konsep, tapi dengan hati, dengan iman kita yang satu. Kita tidak diajak Yesus untuk sekedar bertahan supaya tetap 'kelihatan satu' dalam kebersamaan. Kesatuan Yesus selalu diarahkan pada tujuan, yakni pemenuhan dari Bapa semata. Kesatuan-Nya mengajarkan supaya kita belajar menghargai perbedaan, dan bukannya mengecualikan apalagi membungkam orang! Kebersamaan yang didoakan Yesus tidak mengizinkan kita mengusir seseorang dari kebersamaan hanya karena sikapnya menjengkelkan. Itu sebabnya Ia masih berdoa, "supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka." Semoga kita bisa mengasihi dengan adil dalam keluarga dan komunitas kita. Sebab, kita semua sudah mengenal Bapa yang adil itu, yang disapa Yesus dalam doa-Nya.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar