Sabtu, 15 Juni 2013

Hutang dan Cinta

Minggu Biasa XI (C)
2Sam 12:7-10.13, Gal 2:16.19-21, Luk 7:36-50
 oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Bahasa itu luar biasa. Ia diam-diam mengungkapkan sesuatu yang begitu dalam mengendap di hati kita, tanpa selalu kita sadari. Benci dan cinta, misalnya, terungkap dengan lucu sekaligus mengejutkan dalam bahasa yang sangat figuratif. Dan itu mempengaruhi sikap kita terhadap orang lain, sebagai pribadi atau sekedar kategori manusia. Coba perhatikan mereka yang kita sayangi atau kagumi. Kita menyebut mereka 'si manis', 'si ganteng', 'si hebat'. Tapi orang-orang yang sangat menjengkelkan, kita sebut dengan 'si semprul', 'si monyong', 'si pentul'. Keduanya sama-sama melihat orang lain bukan sebagai pribadi, tetapi sekadar kategori, atau menyenangkan atau menjengkelkan. Begitu kuat cara pandang seperti ini mencengkeram bahasa kita, sampai lupa bahwa mereka pun adalah pribadi manusia.

Cara memandang manusia lain itu ternyata dipengaruhi pandangan kita atas diri kita sendiri. Kita senang berangan-angan tentang imaji diri yang ideal. Misalnya, seseorang yang tabiatnya menjengkelkan justru punya gambaran diri sebagai orang yang menyenangkan, seolah-olah semua orang senang bertemu atau mendengarkannya. Persis sebaliknya. Kalau orang lain protes dan mengkritik, itu malah dianggap suka pada dirinya, dan tingkahnya makin menjadi-jadi. Kita tahu orang seperti ini tidak menerima diri, tidak sadar diri. Ia akan sulit mencintai orang lain, karena mencintai atau menerima dirinya saja susah. Ia harus melepaskan kategori ideal itu, dan melihat pribadinya sebagai yang dikasihi Tuhan apa adanya.

Sebuah peristiwa yang penuh dengan afeksi dan emosi baru saja kita dengar dalam Injil hari ini. Lukas menampilkan sebuah drama yang mengharukan sekaligus menohok ulu hati kita. Semua figur yang ada di sana punya peran sangat penting. Kita mungkin salah satu dari figur-figur itu. Simon, orang Farisi itu, mengundang Yesus untuk makan di rumahnya, maka Yesus datang ke sana, lalu "duduk makan". Sebetulnya Lukas bermaksud menggambarkan bahwa Yesus bersandar (Yun. 'anaklino') di kursi rendah sambil makan. Simon mungkin duduk di sebelah kiri-Nya, dan perempuan "di kota itu" yang "terkenal sebagai orang berdosa" menangis dan menciumi kaki Yesus, di sebelah kanan-Nya. Sebuah situasi yang sangat ganjil bagi kita.

Akan tetapi, dari dialog yang kita dengar antara Yesus dan Simon, kita baru 'mengerti' bahwa semua yang dikatakan Yesus sebenarnya ditujukan untuk Simon dan mereka yang duduk makan di sana. Simon berpikir Yesus seharusnya tahu "orang apakah" perempuan yang 'menjamah-Nya' ini. Simon memakai kategori untuk memandang seseorang. Ia tidak mampu melihat perempuan itu sebagai pribadi, yang bagi Yesus, "dosanya yang banyak itu telah diampuni", bahkan sebelum datang ke sini. Perempuan itu tidak diampuni karena menciumi kaki  Yesus, tapi sebaliknya, karena telah diampuni dari 'hutang' yang banyak itu, 'maka' ia bisa mencintai Yesus dengan sepenuh hati.

Ketika menilai orang lain sebatas kategori (pengkhianat, penjahat, munafik, sombong, dsb.), kita sebetulnya akan kesulitan mencintai siapapun, apalagi Tuhan. Hanya orang yang dilepaskan dari hutang yang besar, dapat mengasihi lebih besar pula. Pada saat kita menilai negatif orang lain, kita merasa 'tidak-terlalu-berdosa' dibanding dia. Kita menerapkan kategori pada orang lain dan menyangka bahwa kita tidak termasuk dalam kategori itu. Kita merasa 'lumayan baik', atau 'masih mendingan' daripada dirinya. Pada saat itu kita hanya akan mampu mengasihi sedikit. Seperti Simon, kita tidak mau dijamah dan dikasihi oleh seseorang yang kita anggap tidak bersih. Kita juga akan sulit mencintai dan menerima orang lain apa adanya, atau bahkan tidak suka bahwa orang lain bahagia karena mengalami dicintai.

Bacaan I menampilkan teguran nabi Natan kepada Daud yang merebut Batsyeba, istri Uria, dengan cara membiarkan Uria di baris depan peperangan hingga terbunuh oleh pedang. Meskipun Daud melakukan "yang jahat di mata Tuhan", Nabi Natan tidak serta merta mengadili dan menjatuhkan hukuman. Ia memakai cerita tentang orang kaya yang merebut anak domba si miskin, untuk menyadarkan Daud. Ia menegur Daud, tetapi memandangnya sebagai pribadi yang masih bisa bertobat. Dan memang Daud menyesali perbuatannya itu. Tuhan memakai Natan untuk menunjukkan betapa besar cinta Daud, sebab ia telah menyesal, dan ia dijauhkan dari kematian akibat dosa itu.

Kita semua, adalah orang-orang yang 'berhutang', entah kepada orang lain, maupun kepada Tuhan. Meski begitu, Tuhan selalu memperlakukan kita sebagai  pribadi, yang meskipun tidak bisa membayar hutang kita namun tetap diberi kesempatan untuk melepaskan orang lain dari 'hutang' mereka. Caranya ialah dengan melepaskan kategori yang selama ini kita pakai untuk memandang, menilai, dan memperlakukan orang lain seakan-akan mereka hanya figur yang tak punya nama.

Sebenarnya itu semua demi keselamatan jiwa kita. Orang yang tak mau melepaskan penilaian, kebencian, dan reaksinya terhadap orang lain, akan sulit mencintai siapapun karena tidak mengalami 'dicintai' di dalam dirinya. Sebaliknya, saat mengakui dosa, kita akan lebih mudah menerima pribadi orang lain, dan Yesus akan bersabda, "Imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan damai!"

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar