2Sam 12:7-10.13, Gal 2:16.19-21, Luk 7:36-50
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Bahasa itu luar biasa. Ia diam-diam mengungkapkan
sesuatu yang begitu dalam mengendap
di hati kita, tanpa selalu kita sadari. Benci dan cinta, misalnya, terungkap dengan lucu sekaligus
mengejutkan dalam bahasa yang sangat figuratif.
Dan itu mempengaruhi sikap kita terhadap orang lain, sebagai pribadi atau sekedar kategori manusia.
Coba perhatikan mereka yang kita sayangi
atau kagumi. Kita menyebut mereka 'si manis', 'si ganteng', 'si hebat'. Tapi orang-orang yang sangat
menjengkelkan, kita sebut dengan 'si semprul',
'si monyong', 'si pentul'. Keduanya sama-sama melihat orang lain bukan sebagai pribadi, tetapi sekadar
kategori, atau menyenangkan atau menjengkelkan.
Begitu kuat cara pandang seperti ini mencengkeram bahasa kita, sampai lupa bahwa mereka pun adalah pribadi manusia.
Cara memandang manusia lain itu ternyata
dipengaruhi pandangan kita atas diri
kita sendiri. Kita senang berangan-angan tentang imaji diri yang ideal. Misalnya, seseorang yang tabiatnya
menjengkelkan justru punya gambaran diri sebagai
orang yang menyenangkan, seolah-olah semua orang senang bertemu atau mendengarkannya. Persis sebaliknya.
Kalau orang lain protes dan mengkritik, itu
malah dianggap suka pada dirinya, dan tingkahnya makin menjadi-jadi. Kita tahu orang seperti ini tidak
menerima diri, tidak sadar diri. Ia akan sulit
mencintai orang lain, karena mencintai atau menerima dirinya saja susah. Ia harus melepaskan kategori
ideal itu, dan melihat pribadinya sebagai
yang dikasihi Tuhan apa adanya.
Sebuah peristiwa yang penuh dengan afeksi dan emosi
baru saja kita dengar dalam Injil
hari ini. Lukas menampilkan sebuah drama yang mengharukan sekaligus menohok ulu hati kita. Semua
figur yang ada di sana punya peran sangat
penting. Kita mungkin salah satu dari figur-figur itu. Simon, orang Farisi itu, mengundang Yesus untuk
makan di rumahnya, maka Yesus datang ke sana,
lalu "duduk makan". Sebetulnya Lukas bermaksud menggambarkan bahwa Yesus bersandar (Yun. 'anaklino') di
kursi rendah sambil makan. Simon mungkin
duduk di sebelah kiri-Nya, dan perempuan "di kota itu" yang "terkenal sebagai orang
berdosa" menangis dan menciumi kaki Yesus, di sebelah kanan-Nya. Sebuah situasi yang sangat ganjil bagi kita.
Akan tetapi, dari dialog yang kita dengar antara
Yesus dan Simon, kita baru 'mengerti'
bahwa semua yang dikatakan Yesus sebenarnya ditujukan untuk Simon dan mereka yang duduk makan di sana.
Simon berpikir Yesus seharusnya tahu "orang
apakah" perempuan yang 'menjamah-Nya' ini. Simon memakai kategori untuk memandang seseorang. Ia tidak
mampu melihat perempuan itu sebagai pribadi,
yang bagi Yesus, "dosanya yang banyak itu telah diampuni", bahkan sebelum datang ke sini. Perempuan itu
tidak diampuni karena menciumi kaki Yesus, tapi sebaliknya,
karena telah diampuni dari 'hutang' yang banyak itu, 'maka' ia bisa mencintai Yesus dengan sepenuh hati.
Ketika menilai orang lain sebatas kategori
(pengkhianat, penjahat, munafik, sombong,
dsb.), kita sebetulnya akan kesulitan mencintai siapapun, apalagi Tuhan. Hanya orang yang dilepaskan dari
hutang yang besar, dapat mengasihi lebih
besar pula. Pada saat kita menilai negatif orang lain, kita merasa 'tidak-terlalu-berdosa' dibanding dia.
Kita menerapkan kategori pada orang lain
dan menyangka bahwa kita tidak termasuk dalam kategori itu. Kita merasa 'lumayan baik', atau 'masih mendingan'
daripada dirinya. Pada saat itu kita hanya
akan mampu mengasihi sedikit. Seperti Simon, kita tidak mau dijamah dan dikasihi oleh seseorang yang kita
anggap tidak bersih. Kita juga akan sulit
mencintai dan menerima orang lain apa adanya, atau bahkan tidak suka bahwa orang lain bahagia karena
mengalami dicintai.
Bacaan I menampilkan teguran nabi Natan kepada Daud
yang merebut Batsyeba, istri Uria,
dengan cara membiarkan Uria di baris depan peperangan hingga terbunuh oleh pedang. Meskipun Daud
melakukan "yang jahat di mata Tuhan", Nabi Natan tidak serta merta mengadili dan menjatuhkan hukuman.
Ia memakai cerita tentang orang
kaya yang merebut anak domba si miskin, untuk menyadarkan Daud. Ia menegur Daud, tetapi memandangnya sebagai
pribadi yang masih bisa bertobat.
Dan memang Daud menyesali perbuatannya itu. Tuhan memakai Natan untuk menunjukkan betapa besar cinta Daud, sebab
ia telah menyesal, dan ia
dijauhkan dari kematian akibat dosa itu.
Kita semua, adalah orang-orang yang 'berhutang',
entah kepada orang lain, maupun
kepada Tuhan. Meski begitu, Tuhan selalu memperlakukan kita sebagai
pribadi, yang meskipun tidak bisa membayar hutang kita namun
tetap diberi kesempatan untuk
melepaskan orang lain dari 'hutang' mereka. Caranya ialah dengan melepaskan kategori yang selama
ini kita pakai untuk memandang, menilai,
dan memperlakukan orang lain seakan-akan mereka hanya figur yang tak punya nama.
Sebenarnya itu semua demi keselamatan jiwa kita.
Orang yang tak mau melepaskan
penilaian, kebencian, dan reaksinya terhadap orang lain, akan sulit mencintai siapapun karena tidak
mengalami 'dicintai' di dalam dirinya. Sebaliknya,
saat mengakui dosa, kita akan lebih mudah menerima pribadi orang lain, dan Yesus akan bersabda,
"Imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan damai!"
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar