Kej 14:18-20, 1Kor 11:23-26, Luk 9:11b-17
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Ada kultur tertentu yang menganggap tidak sopan
menolak suatu pemberian. Menerima
pemberian, meski tidak dibutuhkan atau tidak disukai, adalah suatu ungkapan rasa terima kasih.
Kadang-kadang lalu menjadi repot dan sungkan kalau peristwa itu terjadi di depan banyak orang dan kita
berasal dari kultur lain yang
terbiasa lugas. Di banyak tempat lain, di kalangan bisnis, misalnya, sebuah pemberian bisa
menimbulkan tanda tanya. Apakah ada 'maksud' di balik pemberian ini? Apakah ada konsekuensi yang harus
dilakukan kalau menerimanya?
Dari sinilah muncul dalih dan pembelaan diri untuk menghindari
sebuah pemberian. Orang bisa
menolak secara halus dengan berterima kasih lebih dulu, atau mengatakan langsung bahwa ia tidak memerlukannya.
Kalau malas terlibat dalam
konsekuensi, kita juga suka menolak dengan mengatakan bahwa "kita baik-baik saja" atau
"terima kasih, tapi tidak usah." Kata 'terima kasih' berubah fungsi menjadi ungkapan penolakan. Jadi, ternyata
sebuah pemberian tak selalu
menyenangkan hati kita. Hanya, masalahnya bukan pada si pemberi, tetapi pada diri kita sendiri. Kita tidak mau 'repot'
kalau sampai menerima pemberian
itu. Dengan kata lain, sebetulnya kita punya masalah dengan rasa hormat dan kesetiaan terhadap orang lain.
Mujizat penggandaan lima roti dan dua ikan yang
kita dengar hari ini telah memunculkan
begitu banyak penafsiran ke arah pentingnya perjamuan Ekaristi. Tindakan Yesus mengambil lima roti dan
dua ikan itu, menengadah ke langit, mengucap
berkat, memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid supaya dibagikan kepada
banyak orang, adalah 'ajaran'-Nya tentang Bapa yang Mahamurah. 'Ekaristi' yang
dihadiri ribuan orang ini adalah
saksi pemberian diri Yesus dan penjelasan bagi misteri kehadiran-Nya yang terus menerus dialami banyak orang
setelah Ia bangkit dari kematian.
Sesungguhnya banyak detil peristiwa itu yang tidak
kita ketahui, juga tidak dicatat
dalam Kitab Suci. Akan tetapi, salah satu tanggapan di akhir peristiwa itu masih dapat kita temukan.
Setelah semua orang itu makan sampai kenyang,
"kemudian dikumpulkan potongan-potongan roti yang sisa sebanyak dua belas bakul." Orang tidak sekadar
makan dan pergi. Mereka masih ada di sana.
Mereka masih mengumpulkan sisa-sisa potongan roti begitu banyak, dan itu semua tidak dibuang. Menghargai
sisa-sisa itu artinya belajar menghormati
dan setia pada Dia yang telah memberikannya. Begitu pentingnya kesetiaan
dan hormat pada pemberian diri
Yesus itu sehingga kelak Paulus memperingatkan untuk menyambut Tubuh dan Darah Tuhan dengan pantas supaya
jangan mendatangkan hukuman (1Kor
11:27-29).
Mengucapkan 'terima kasih' saja atas sebuah
pemberian tidak cukup mengungkapkan
hormat. Kita tahu bahwa kehadiran kita, sikap dan tindakan kita 'sesudahnya' lebih menunjukkan
seberapa sungguh-sungguh kita menghormati
orang lain. Itulah bedanya iman di mulut dan iman di hati. Imandi hati konsekuensinya memang panjang, tetapi
benar-benar akan mengembangkan diri
kita. Sekarang ini sering dijumpai kecenderungan untuk datang telat dan pulang cepat. Bayangkanlah suatu saat
kita menjadi pembicara. Hadirin datang telat,
saat duduk berkali-kali menguap, dan begitu mendapatkan makanan satu per satu pulang lebih awal. Kita tahu
seperti apa rasanya berada dalam posisi seperti itu. Kita tahu seperti apa rasanya
tidak dihargai.
Dalam bacaan I, perjumpaan imam Melkisedek dan
Abraham memberi kita pemahaman
berharga tentang Ekaristi. Melkisedek membawa persembahan syukur untuk Allah. Ia bersyukur karena
orang-orang beriman yang setia kepada Allah
seperti Abraham. Di masa orang mempersembahkan binatang korban kepada
Allah, Melkisedek justru membawa
roti dan anggur. Ia menggambarkan Yesus yang kelak memberikan diri-Nya sendiri dalam rupa roti dan anggur pula.
Abraham melihat bahwa persembahan
Melkisedek itu abadi dan mulia, sehingga ia memberikan sepersepuluh dari miliknya. Rasa syukur dan hormat Abraham bukan
hanya dalam kata-kata, tetapi
dalam keputusan yang serius dan tindakan yang sungguh-sungguh.
Kita mungkin sudah 'biasa' menerima Tubuh Kristus
dalam Ekaristi. Tetapi, masalahnya
mungkin bukan pada penerimaan kita. Masalahnya lebih sering pada sikap hati dan kesetiaan kita ketika
menyambut-Nya, demikian juga pada apa yang
terjadi, yang kita lakukan, 'sesudahnya'. Jawaban 'Amin' yang bahkan sering tidak kita ucapkan itu pun tidak
akan cukup mengungkapkan rasa hormat kita. Ada banyak konsekuensi karena keputusan kita
untuk menerima Yesus dan dibaptis,
tetapi sayangnya sebagian besar konsekuensi itu tidak kita jalani dengan setia dan dengan senang hati.
Kita tidak mau 'repot' setelah menerima pemberian
diri Yesus. Kita jelas punya masalah iman di hati.
Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus ini mau
mengingatkan rasa hormat dan terima
kasih kita pada Yesus yang setiap kali kita sambut dalam Ekaristi.
Akan tetapi, lebih dalam lagi, perayaan ini menegur kita supaya
belajar 'setia' dalam sikap batin
itu. Dan setia itu berarti menjalankan dengan tekun, tiap hari, semua konsekuensi yang 'panjang' karena
keputusan iman kita, juga kalau
Yesus memberikan diri-Nya melalui orang-orang di sekitar kita.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar