Sabtu, 01 Juni 2013

Setialah Dalam Hormat dan Terimakasih

HR Tubuh dan Darah Kristus (C)
Kej 14:18-20, 1Kor 11:23-26, Luk 9:11b-17
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Ada kultur tertentu yang menganggap tidak sopan menolak suatu pemberian. Menerima pemberian, meski tidak dibutuhkan atau tidak disukai, adalah suatu ungkapan rasa terima kasih. Kadang-kadang lalu menjadi repot dan sungkan kalau peristwa itu terjadi di depan banyak orang dan kita berasal dari kultur lain yang terbiasa lugas. Di banyak tempat lain, di kalangan bisnis, misalnya, sebuah pemberian bisa menimbulkan tanda tanya. Apakah ada 'maksud' di balik pemberian ini? Apakah ada konsekuensi yang harus dilakukan kalau menerimanya?

Dari sinilah muncul dalih dan pembelaan diri untuk menghindari sebuah pemberian. Orang bisa menolak secara halus dengan berterima kasih lebih dulu, atau mengatakan langsung bahwa ia tidak memerlukannya. Kalau malas terlibat dalam konsekuensi, kita juga suka menolak dengan mengatakan bahwa "kita baik-baik saja" atau "terima kasih, tapi tidak usah." Kata 'terima kasih' berubah fungsi menjadi ungkapan penolakan. Jadi, ternyata sebuah pemberian tak selalu menyenangkan hati kita. Hanya, masalahnya bukan pada si pemberi, tetapi pada diri kita sendiri. Kita tidak mau 'repot' kalau sampai menerima pemberian itu. Dengan kata lain, sebetulnya kita punya masalah dengan rasa hormat dan kesetiaan terhadap orang lain.

Mujizat penggandaan lima roti dan dua ikan yang kita dengar hari ini telah memunculkan begitu banyak penafsiran ke arah pentingnya perjamuan Ekaristi. Tindakan Yesus mengambil lima roti dan dua ikan itu, menengadah ke langit, mengucap berkat, memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid supaya dibagikan kepada banyak orang, adalah 'ajaran'-Nya tentang Bapa yang Mahamurah. 'Ekaristi' yang dihadiri ribuan orang ini adalah saksi pemberian diri Yesus dan penjelasan bagi misteri kehadiran-Nya yang terus menerus dialami banyak orang setelah Ia bangkit dari kematian.

Sesungguhnya banyak detil peristiwa itu yang tidak kita ketahui, juga tidak dicatat dalam Kitab Suci. Akan tetapi, salah satu tanggapan di akhir peristiwa itu masih dapat kita temukan. Setelah semua orang itu makan sampai kenyang, "kemudian dikumpulkan potongan-potongan roti yang sisa sebanyak dua belas bakul." Orang tidak sekadar makan dan pergi. Mereka masih ada di sana. Mereka masih mengumpulkan sisa-sisa potongan roti begitu banyak, dan itu semua tidak dibuang. Menghargai sisa-sisa itu artinya belajar menghormati dan setia pada Dia yang telah memberikannya. Begitu pentingnya kesetiaan dan hormat pada pemberian diri Yesus itu sehingga kelak Paulus memperingatkan untuk menyambut Tubuh dan Darah Tuhan dengan pantas supaya jangan mendatangkan hukuman (1Kor 11:27-29).

Mengucapkan 'terima kasih' saja atas sebuah pemberian tidak cukup mengungkapkan hormat. Kita tahu bahwa kehadiran kita, sikap dan tindakan kita 'sesudahnya' lebih menunjukkan seberapa sungguh-sungguh kita menghormati orang lain. Itulah bedanya iman di mulut dan iman di hati. Imandi hati konsekuensinya memang panjang, tetapi benar-benar akan mengembangkan diri kita. Sekarang ini sering dijumpai kecenderungan untuk datang telat dan pulang cepat. Bayangkanlah suatu saat kita menjadi pembicara. Hadirin datang telat, saat duduk berkali-kali menguap, dan begitu mendapatkan makanan satu per satu pulang lebih awal. Kita tahu seperti apa rasanya berada dalam posisi seperti itu. Kita tahu seperti apa rasanya tidak dihargai.

Dalam bacaan I, perjumpaan imam Melkisedek dan Abraham memberi kita pemahaman berharga tentang Ekaristi. Melkisedek membawa persembahan syukur untuk Allah. Ia bersyukur karena orang-orang beriman yang setia kepada Allah seperti Abraham. Di masa orang mempersembahkan binatang korban kepada Allah, Melkisedek justru membawa roti dan anggur. Ia menggambarkan Yesus yang kelak memberikan diri-Nya sendiri dalam rupa roti dan anggur pula. Abraham melihat bahwa persembahan Melkisedek itu abadi dan mulia, sehingga ia memberikan sepersepuluh dari miliknya. Rasa syukur dan hormat Abraham bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam keputusan yang serius dan tindakan yang sungguh-sungguh.

Kita mungkin sudah 'biasa' menerima Tubuh Kristus dalam Ekaristi. Tetapi, masalahnya mungkin bukan pada penerimaan kita. Masalahnya lebih sering pada sikap hati dan kesetiaan kita ketika menyambut-Nya, demikian juga pada apa yang terjadi, yang kita lakukan, 'sesudahnya'. Jawaban 'Amin' yang bahkan sering tidak kita ucapkan itu pun tidak akan cukup mengungkapkan rasa hormat kita. Ada banyak konsekuensi karena keputusan kita untuk menerima Yesus dan dibaptis, tetapi sayangnya sebagian besar konsekuensi itu tidak kita jalani dengan setia dan dengan senang hati. Kita tidak mau 'repot' setelah menerima pemberian diri Yesus. Kita jelas punya masalah iman di hati.

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus ini mau mengingatkan rasa hormat dan terima kasih kita pada Yesus yang setiap kali kita sambut dalam Ekaristi.  Akan tetapi, lebih dalam lagi, perayaan ini menegur kita supaya belajar 'setia' dalam sikap batin itu. Dan setia itu berarti menjalankan dengan tekun, tiap hari, semua konsekuensi yang 'panjang' karena keputusan iman kita, juga kalau Yesus memberikan diri-Nya melalui orang-orang di sekitar kita.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar