Sabtu, 25 Mei 2013

Relasi Yang Tak Mau Berhenti

HR Tritunggal Kudus (C)
Ams 8:22-31, Rom 5:1-5, Yoh 16:12-15
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Ada figur-figur tertentu yang kita butuhkan di keluarga. Dalam banyak hal kita 'tergantung' pada mereka, mengharapkan inisiatif mereka. Figur-figur  inilah yang biasanya mengumpulkan keluarga besar kita, merekatkan kembali persaudaraan di kala kita merasa malas untuk saling berkomunikasi. Tentu saja mereka menanggung risiko dianggap 'reseh' atau 'sok pahlawan' karena berinisiatif dan mengingatkan, tetapi risiko itu tetap mereka ambil dan hasilnya selalu baik. Kita tahu betapa sulitnya mengumpulkan sanak keluarga kita, lebih-lebih karena persoalan lama itu sering jadi hambatan: relasi yang tidak harmonis antara beberapa anggota keluarga saja.

Ketika figur yang biasa diandalkan itu tidak ada lagi di tengah keluarga kita, suasana menjadi dingin, kita mulai mengurusi diri sendiri atau keluarga kita sendiri. Kita merasa 'kehilangan' tetapi juga ragu-ragu untuk memulai, mungkin karena gengsi atau sekadar malas. Dan individualisme memang sangat menggoda kita akhir-akhir ini; individualisme yang akhirnya terjadi bukan hanya di dalam keluarga, tapi juga dalam kehidupan beriman dan menggereja. Kenyataannya, doa-doa kita bisa sangat individualistis, pertemuan lingkungan bisa menjadi sangat formal, dan Ekaristi menjadi sangat 'kering'. Mungkinkah Allah yang kita sapa dalam doa tidak personal lagi, atau tidak lagi dinamis dan memancing keinginan kita untuk berelasi?

Ketika mengisahkan ungkapan hati-Nya tentang Allah, Yesus tidak berpikir tentang sebuah teologi atau konsep yang rumit. Yesus menceritakan 'pengalaman'-Nya akan Allah yang demikian relasional, selalu membuat rindu untuk berdoa, berkomunikasi, dan dikuatkan. Pengalaman Yesus ini begitu riil
dan melanda seluruh diri-Nya, sehingga dalam Injil Yohanes diperlukan spasi yang cukup panjang untuk menceritakan pengalaman-Nya itu! Namun toh, Yesus mengatakan, "Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya." Luar biasa sekali pengalaman Tritunggal-Nya itu sehingga kita, manusia, akan perlu waktu lama untuk "dapat menanggungnya."

Dari sinilah kita mau merenungkan pengalaman Yesus ini. Kalau hanya terfokus pada 'pemahaman', kita tidak akan mampu menanggungnya. Sejarah panjang Gereja sudah menunjukkan betapa menyakitkan aksi dan reaksi berbagai pihak yang berdebat tentang ketiga Pribadi dalam Tritunggal Kudus, dan sampai sekarang pun itu belum selesai juga. Apa yang salah? Pikiran kita. Ego kita. Nafsu kita untuk 'memahami' secara manusiawi relasi yang begitu intim dan ilahi itu. Seandainya saja kita kembali pada Yesus yang "mengisahkan pengalaman-Nya akan Allah" itu, mungkin kita tak perlu kehilangan waktu. Injil yang kita dengar hari ini melukiskan betapa erat, syahdu, dan membahagiakan relasi Bapa, Putra, dan Roh Kudus itu! Semua yang ada dalam diri Bapa, ada dalam Yesus, dan disampaikan kepada kita oleh Roh Kudus.

Memang bahasa kita sangat miskin, semiskin otak kita. Namun, Allah pasti menggunakan keterbatasan kita itu untuk 'terus menerus' mencoba mengenal-Nya, mengalami-Nya. 'Bahasa' kita itu, ialah setiap relasi yang kita jalani saat ini, yang mana saja! Mengapa kita tetap berelasi dengan orang lain? Mengapa kita tetap mau bersatu dengan keluarga kita? Mengapa kita masih terus berkomitmen dengan pasangan kita? Pernahkah kita membayangkan, bahwa 'yang menggerakkan' diri kita untuk terus berelasi itu ialah ketiga Pribadi yang satu dalam Allah Tritunggal? Relasi kita adalah satu-satunya bahasa yang 'nyambung' dengan pengalaman Yesus akan Allah. Sayangnya, kita sering terjerat untuk berdebat di lapisan otak daripada pengalaman kita.

Kitab Amsal 8:22 (Bacaan I) sering dipakai untuk menyerang Kristianitas bahwa Yesus (atau kadang-kadang ditafsirkan sebagai 'kebijaksanaan') seakan-akan "diciptakan" Tuhan pada awal dunia. Tetapi, di situ tidak dipakai kata 'bara' (Ibr. 'mencipta'), melainkan 'qanah' (Ibr.) yang berarti 'memiliki'. Kalau begitu, Allah Putra sudah berada 'bersama dengan' Allah Bapa sejak waktu penciptaan, "pada permulaan pekerjaan-Nya." Bahkan Allah Putra dengan kuasa kreatifnya telah sejak semula berkarya bersama Allah Bapa, dan tetap berkarya dalam setiap penciptaan yang dilakukan-Nya. Allah yang satu itu mewahyukan diri-Nya, tetapi dengan bahasa kita, manusia, yang sejak lahir sangat mengerti apa artinya berelasi.

Tidak mungkin relasi adalah penyebab perpecahan. Justru sebaliknya. Relasi adalah motivasi kita yang sangat manusiawi untuk berkomunikasi dengan orang lain. Kita tidak bisa hidup sendiri. Allah kita sangat mengerti tentang hal itu. Itu sebabnya, Ia memperkenalkan diri-Nya sebagai relasi yang hanya kita 'pahami' bukan dengan otak, tapi dengan pengalaman dan kerinduan kita. Yesus hanya mau menceritakan tentang pengalaman-Nya akan Allah Bapa dan Allah Roh Kudus.

Kalau kita senang mendengarkan pengalaman Yesus itu, kini akan lebih mudah 'menerima' dan menjadikan pengalaman-Nya itu pengalaman kita juga. Allah kita bukan sebuah 'rumusan'. Jemaat Yunani melukiskan-Nya dengan kata 'perichoresis' ('menari berkeliling'), sebuah lambang gerakan, dinamika, dan warna. Allah Tritunggal, adalah relasi yang selalu menggerakkan, tak mau berhenti.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar