Ams 8:22-31, Rom 5:1-5, Yoh 16:12-15
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Ada figur-figur tertentu yang kita butuhkan di
keluarga. Dalam banyak hal kita
'tergantung' pada mereka, mengharapkan inisiatif mereka. Figur-figur
inilah yang biasanya mengumpulkan keluarga besar kita, merekatkan
kembali persaudaraan di kala kita
merasa malas untuk saling berkomunikasi. Tentu saja mereka menanggung risiko dianggap 'reseh' atau 'sok
pahlawan' karena berinisiatif dan
mengingatkan, tetapi risiko itu tetap mereka ambil dan hasilnya selalu baik. Kita tahu betapa sulitnya mengumpulkan
sanak keluarga kita, lebih-lebih
karena persoalan lama itu sering jadi hambatan: relasi yang tidak harmonis antara beberapa anggota keluarga saja.
Ketika figur yang biasa diandalkan itu tidak ada
lagi di tengah keluarga kita,
suasana menjadi dingin, kita mulai mengurusi diri sendiri atau keluarga kita sendiri. Kita merasa
'kehilangan' tetapi juga ragu-ragu untuk memulai,
mungkin karena gengsi atau sekadar malas. Dan individualisme memang sangat menggoda kita akhir-akhir ini;
individualisme yang akhirnya terjadi bukan
hanya di dalam keluarga, tapi juga dalam kehidupan beriman dan menggereja. Kenyataannya, doa-doa kita
bisa sangat individualistis, pertemuan
lingkungan bisa menjadi sangat formal, dan Ekaristi menjadi sangat 'kering'. Mungkinkah Allah yang kita
sapa dalam doa tidak personal lagi, atau
tidak lagi dinamis dan memancing keinginan kita untuk berelasi?
Ketika mengisahkan ungkapan hati-Nya tentang Allah,
Yesus tidak berpikir tentang
sebuah teologi atau konsep yang rumit. Yesus menceritakan 'pengalaman'-Nya akan Allah yang
demikian relasional, selalu membuat rindu
untuk berdoa, berkomunikasi, dan dikuatkan. Pengalaman Yesus ini begitu
riil
dan melanda seluruh diri-Nya, sehingga dalam Injil
Yohanes diperlukan spasi yang
cukup panjang untuk menceritakan pengalaman-Nya itu! Namun toh, Yesus mengatakan, "Masih banyak hal yang
harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang
kamu belum dapat menanggungnya." Luar biasa sekali pengalaman
Tritunggal-Nya itu sehingga kita,
manusia, akan perlu waktu lama untuk "dapat menanggungnya."
Dari sinilah kita mau merenungkan pengalaman Yesus
ini. Kalau hanya terfokus pada
'pemahaman', kita tidak akan mampu menanggungnya. Sejarah panjang Gereja sudah menunjukkan betapa
menyakitkan aksi dan reaksi berbagai pihak
yang berdebat tentang ketiga Pribadi dalam Tritunggal Kudus, dan sampai sekarang pun itu belum selesai juga.
Apa yang salah? Pikiran kita. Ego kita. Nafsu
kita untuk 'memahami' secara manusiawi relasi yang begitu intim dan ilahi itu. Seandainya saja kita kembali
pada Yesus yang "mengisahkan pengalaman-Nya
akan Allah" itu, mungkin kita tak perlu kehilangan waktu. Injil yang kita dengar hari ini
melukiskan betapa erat, syahdu, dan membahagiakan
relasi Bapa, Putra, dan Roh Kudus itu! Semua yang ada dalam diri Bapa, ada dalam Yesus, dan
disampaikan kepada kita oleh Roh Kudus.
Memang bahasa kita sangat miskin, semiskin otak
kita. Namun, Allah pasti menggunakan
keterbatasan kita itu untuk 'terus menerus' mencoba mengenal-Nya, mengalami-Nya. 'Bahasa' kita itu, ialah setiap
relasi yang kita jalani saat ini,
yang mana saja! Mengapa kita tetap berelasi dengan orang lain? Mengapa kita tetap mau bersatu dengan keluarga kita?
Mengapa kita masih terus
berkomitmen dengan pasangan kita? Pernahkah kita membayangkan, bahwa 'yang menggerakkan' diri kita untuk terus
berelasi itu ialah ketiga Pribadi
yang satu dalam Allah Tritunggal? Relasi kita adalah satu-satunya bahasa yang 'nyambung' dengan pengalaman Yesus akan
Allah. Sayangnya, kita sering
terjerat untuk berdebat di lapisan otak daripada pengalaman kita.
Kitab Amsal 8:22 (Bacaan I) sering dipakai untuk
menyerang Kristianitas bahwa Yesus
(atau kadang-kadang ditafsirkan sebagai 'kebijaksanaan') seakan-akan "diciptakan" Tuhan pada awal dunia.
Tetapi, di situ tidak dipakai kata
'bara' (Ibr. 'mencipta'), melainkan 'qanah' (Ibr.) yang berarti 'memiliki'. Kalau begitu, Allah Putra
sudah berada 'bersama dengan' Allah Bapa
sejak waktu penciptaan, "pada permulaan pekerjaan-Nya." Bahkan Allah Putra dengan kuasa kreatifnya telah
sejak semula berkarya bersama Allah Bapa,
dan tetap berkarya dalam setiap penciptaan yang dilakukan-Nya. Allah yang satu itu mewahyukan diri-Nya,
tetapi dengan bahasa kita, manusia, yang sejak
lahir sangat mengerti apa artinya berelasi.
Tidak mungkin relasi adalah penyebab perpecahan.
Justru sebaliknya. Relasi adalah
motivasi kita yang sangat manusiawi untuk berkomunikasi dengan orang lain. Kita tidak bisa hidup sendiri.
Allah kita sangat mengerti tentang hal itu.
Itu sebabnya, Ia memperkenalkan diri-Nya sebagai relasi yang hanya kita 'pahami' bukan dengan otak, tapi dengan
pengalaman dan kerinduan kita. Yesus hanya
mau menceritakan tentang pengalaman-Nya akan Allah Bapa dan Allah Roh Kudus.
Kalau kita senang mendengarkan pengalaman Yesus
itu, kini akan lebih mudah 'menerima'
dan menjadikan pengalaman-Nya itu pengalaman kita juga. Allah kita bukan sebuah 'rumusan'. Jemaat
Yunani melukiskan-Nya dengan kata 'perichoresis'
('menari berkeliling'), sebuah lambang gerakan, dinamika, dan warna. Allah Tritunggal, adalah relasi
yang selalu menggerakkan, tak mau berhenti.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar