Sabtu, 17 Agustus 2013

Panggilan Untuk Tidak Berpura-pura

Minggu Biasa XX (C)
Yer 38:4-6.8-10, Ibr 12:1-4, Luk 12:49-53
Oleh : Pst. Tedjoworo, OSC

Meskipun ada alat yang disebut 'detektor kebohongan', tidak serta merta penyelidikan polisi dan pengadilan mengalami kemajuan. Penjahat justru semakin pintar. Alat pendeteksi kebohongan pun bisa diakali. Tanda-tanda mental dan gejala fisik itu bisa 'diatur' sehingga kesaksian seorang penjahat pun seakan-akan menunjukkan bahwa ia tidak bersalah. Berkali-kali kita membaca di koran dan menonton di televisi sandiwara yang ditampilkan oleh para koruptor. Adanya bukti yang sangat kuat pun bisa disangkal dengan begitu meyakinkan lewat kata-kata manis dan penampilan menarik hati. Kita dibikin tidak mampu menemukan apa yang benar dan yang salah. Pendapat publik terpecah dan sebentar kemudian orang bertengkar sendiri.

Kita merindukan keadilan dan damai, tapi yang didapat hanya konflik dan permusuhan. Kita mencari bukti sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan, padahal di lubuk hati sendiri itu dibaca "untuk menghukum seseorang". Kita baru merasa damai kalau berhasil membuktikan bahwa orang lain salah dan kita, dalam kepura-puraan, dipandang benar oleh semua orang. Itulah cara yang paling laku untuk menyelamatkan diri sendiri. Kepura-puraan dipakai untuk mengambil hati orang, memanfaatkannya, menciptakan gambaran diri yang suci, dan mempertahankan posisi enak yang sudah diduduki.

Kata-kata Yesus dalam Injil hari ini jelas tidak mendukung posisi-Nya sebagai seorang guru dan Mesias yang didambakan banyak orang pada masa itu. Bagaimana mungkin Yesus mengatakan bahwa Ia datang untuk melemparkan api dan membawa pertentangan? Semua orang mengharapkan yang sebaliknya! Semua orang menanti kata-kata damai dari mulut-Nya, dan tindakan-Nya yang mampu menyatukan orang-orang yang bermusuhan. Jadi, kata-kata-Nya itu tentu saja membuat semua orang bertanya-tanya, mengapa Yesus mengucapkan sesuatu yang meresahkan kebersamaan itu.

Akan tetapi, Yesus tidak hanya memakai gambaran 'api', tetapi juga 'air' yang dimengerti lewat baptisan. Ia bermaksud sama dengan kedua unsur itu, sebab keduanya bersifat menyucikan. Dalam air pembaptisan, kita dipanggil untuk mati dari manusia lama dan diciptakan baru. Dalam api pembaptisan, seperti yang dikatakan Yohanes Pembaptis tentang Yesus (Luk 3:16), kita akan diubah menjadi baru sama sekali. Dan perubahan yang dimaksud Yesus adalah perubahan yang sungguh-sungguh, bukan setengah-setengah apalagi hanya pura-pura. Kata-kata yang keras itu diucapkan-Nya karena melihat masih ada orang yang percaya kepada-Nya namun hanya di penampilan. Orang bersikap seakan-akan semuanya baik dan damai, padahal tidak ada perubahan dalam dirinya sedikitpun-iman yang hanya di penampilan.

Dalam keseharian, orang cenderung menghindari konflik, dan berusaha menampilkan kebersamaan yang rukun dan damai. Kecenderungan ini kadang-kadang berlebihan, apalagi kalau digerakkan oleh kepentingan pribadi yang mau dikejar. Keputusan kita jadi tidak konsisten karena kepentingan pribadi yang tersembunyi ini. Kita bisa saja pura-pura berubah hanya demi mendapatkan simpati dari orang-orang yang selama ini mengidolakan kita. Kita  bisa memuji-muji orang supaya mereka memberikan sumbangan yang kita harapkan. Bahkan, kita bisa berpura-pura damai di depan musuh kita, agar banyak orang memihak dan membela kita. Bukankah kesaksian kita itu palsu?

Dalam bacaan I, keputusan nabi Yeremia menyarankan raja Yehuda agar menyerah kepada raja Babel menuai protes dan perpecahan. Yeremia sudah menerima firman Tuhan bahwa Israel akan jatuh ke tangan musuh, dan bahwa mereka akan dihanguskan dengan api jika tidak mau menyerah. Nasihatnya supaya menyerah itu tidak diterima dan membawa konsekuensi dirinya dimasukkan ke dalam perigi berisi lumpur. Tetapi, Tuhan menyelamatkannya karena mengasihi Israel. Tuhan punya rencana membiarkan Israel jatuh ke tangan musuh, supaya kelak mereka sungguh-sungguh mau berubah dari dalam hati mereka dan kembali kepada-Nya sebagai bangsa yang baru.

Kemauan kita untuk mengikuti Kristus pasti membawa konsekuensi. Keputusan kita untuk dibaptis dalam nama-Nya sudah menimbulkan pertentangan yang bukan hanya sekali. Kesadaran kita untuk menjalankan dan setia pada ajaran-Nya masih akan membawa lebih banyak pertentangan lagi, baik dalam keluarga, komunitas, maupun lingkungan sekitar kita. Dalam semua itu, Yesus hanya meminta supaya kita jangan berpura-pura damai dalam kesaksian iman kita. Kita diajak untuk berani menghadapi konflik dan berubah secara tulus dari dalam diri kita. Setiap konflik hanya bisa diselesaikan dengan perubahan diri.

Ketika menyebut tentang menerima baptisan, Yesus sesungguhnya bicara tentang salib-Nya sendiri.  Salib-Nya itu akan menimbulkan perbantahan dan pertentangan di antara para bangsa, namun sekaligus menjadi api yang memurnikan iman semua orang yang sudah bersedia menjadi pengikut-Nya. Kita tidak memerlukan sebuah detektor kebohongan bagi diri kita maupun orang lain. Melalui berbagai pertentangan yang masih kita alami, kita dipanggil untuk bersaksi dengan apa adanya, berubah dan mengambil sikap yang benar dengan segala konsekuensinya.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar