Yer 38:4-6.8-10, Ibr 12:1-4, Luk 12:49-53
Oleh : Pst. Tedjoworo, OSC
Meskipun ada alat yang disebut 'detektor
kebohongan', tidak serta merta penyelidikan
polisi dan pengadilan mengalami kemajuan. Penjahat justru semakin pintar. Alat pendeteksi
kebohongan pun bisa diakali. Tanda-tanda mental
dan gejala fisik itu bisa 'diatur' sehingga kesaksian seorang penjahat pun seakan-akan menunjukkan
bahwa ia tidak bersalah. Berkali-kali kita
membaca di koran dan menonton di televisi sandiwara yang ditampilkan oleh para koruptor. Adanya bukti yang
sangat kuat pun bisa disangkal dengan begitu
meyakinkan lewat kata-kata manis dan penampilan menarik hati. Kita dibikin tidak mampu menemukan apa yang
benar dan yang salah. Pendapat publik terpecah
dan sebentar kemudian orang bertengkar sendiri.
Kita merindukan keadilan dan damai, tapi yang
didapat hanya konflik dan permusuhan.
Kita mencari bukti sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan, padahal di lubuk hati sendiri
itu dibaca "untuk menghukum seseorang".
Kita baru merasa damai kalau berhasil membuktikan bahwa orang lain salah dan kita, dalam kepura-puraan, dipandang
benar oleh semua orang. Itulah
cara yang paling laku untuk menyelamatkan diri sendiri. Kepura-puraan dipakai untuk mengambil hati orang,
memanfaatkannya, menciptakan gambaran diri
yang suci, dan mempertahankan posisi enak yang sudah diduduki.
Kata-kata Yesus dalam Injil hari ini jelas tidak
mendukung posisi-Nya sebagai
seorang guru dan Mesias yang didambakan banyak orang pada masa itu. Bagaimana mungkin Yesus mengatakan
bahwa Ia datang untuk melemparkan api dan
membawa pertentangan? Semua orang mengharapkan yang sebaliknya! Semua
orang menanti kata-kata damai dari
mulut-Nya, dan tindakan-Nya yang mampu menyatukan
orang-orang yang bermusuhan. Jadi, kata-kata-Nya itu tentu saja membuat semua orang bertanya-tanya,
mengapa Yesus mengucapkan sesuatu yang meresahkan
kebersamaan itu.
Akan tetapi, Yesus tidak hanya memakai gambaran
'api', tetapi juga 'air' yang
dimengerti lewat baptisan. Ia bermaksud sama dengan kedua unsur itu, sebab keduanya bersifat menyucikan.
Dalam air pembaptisan, kita dipanggil untuk
mati dari manusia lama dan diciptakan baru. Dalam api pembaptisan, seperti yang dikatakan Yohanes Pembaptis
tentang Yesus (Luk 3:16), kita akan diubah
menjadi baru sama sekali. Dan perubahan yang dimaksud Yesus adalah perubahan yang sungguh-sungguh, bukan
setengah-setengah apalagi hanya pura-pura.
Kata-kata yang keras itu diucapkan-Nya karena melihat masih ada orang yang percaya kepada-Nya namun
hanya di penampilan. Orang bersikap seakan-akan
semuanya baik dan damai, padahal tidak ada perubahan dalam dirinya sedikitpun-iman yang hanya di
penampilan.
Dalam keseharian, orang cenderung menghindari
konflik, dan berusaha menampilkan
kebersamaan yang rukun dan damai. Kecenderungan ini kadang-kadang berlebihan, apalagi kalau digerakkan oleh
kepentingan pribadi yang mau
dikejar. Keputusan kita jadi tidak konsisten karena kepentingan pribadi yang tersembunyi ini. Kita bisa
saja pura-pura berubah hanya demi mendapatkan
simpati dari orang-orang yang selama ini mengidolakan kita. Kita
bisa memuji-muji orang supaya mereka memberikan sumbangan yang
kita harapkan. Bahkan, kita bisa
berpura-pura damai di depan musuh kita, agar banyak orang memihak dan membela kita. Bukankah kesaksian kita
itu palsu?
Dalam bacaan I, keputusan nabi Yeremia menyarankan
raja Yehuda agar menyerah kepada
raja Babel menuai protes dan perpecahan. Yeremia sudah menerima firman Tuhan bahwa Israel akan jatuh ke
tangan musuh, dan bahwa mereka akan dihanguskan
dengan api jika tidak mau menyerah. Nasihatnya supaya menyerah itu tidak diterima dan membawa
konsekuensi dirinya dimasukkan ke dalam perigi
berisi lumpur. Tetapi, Tuhan menyelamatkannya karena mengasihi Israel. Tuhan punya rencana membiarkan
Israel jatuh ke tangan musuh, supaya kelak
mereka sungguh-sungguh mau berubah dari dalam hati mereka dan kembali kepada-Nya sebagai bangsa yang baru.
Kemauan kita untuk mengikuti Kristus pasti membawa
konsekuensi. Keputusan kita untuk
dibaptis dalam nama-Nya sudah menimbulkan pertentangan yang bukan hanya sekali. Kesadaran kita untuk
menjalankan dan setia pada ajaran-Nya masih
akan membawa lebih banyak pertentangan lagi, baik dalam keluarga, komunitas, maupun lingkungan sekitar
kita. Dalam semua itu, Yesus hanya meminta
supaya kita jangan berpura-pura damai dalam kesaksian iman kita. Kita diajak untuk berani menghadapi
konflik dan berubah secara tulus dari dalam
diri kita. Setiap konflik hanya bisa diselesaikan dengan perubahan diri.
Ketika menyebut tentang menerima baptisan, Yesus
sesungguhnya bicara tentang salib-Nya
sendiri. Salib-Nya itu akan menimbulkan
perbantahan dan pertentangan di
antara para bangsa, namun sekaligus menjadi api yang memurnikan iman semua orang yang sudah bersedia menjadi
pengikut-Nya. Kita tidak
memerlukan sebuah detektor kebohongan bagi diri kita maupun orang lain. Melalui berbagai pertentangan
yang masih kita alami, kita dipanggil untuk
bersaksi dengan apa adanya, berubah dan mengambil sikap yang benar dengan segala konsekuensinya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar