Sabtu, 10 Agustus 2013

Yang Rendah Ditinggikan-Nya

HR Maria Diangkat Ke Surga (C)
Why 11:19a, 12:1.3-6a, 1Kor 15:20-26, Luk 1:39-56
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Sambil menunjukkan kartu nama seorang Jenderal Kepala Polisi, anak muda yang menerobos jalur bus Transjakarta itu mengancam petugas, "Kalau tidak membiarkan saya lewat, kamu akan  berurusan dengan dia." Baru kemudian ketahuan bahwa dia bukanlah anak Jenderal itu. Dia hanya mau menakut-nakuti petugas dengan main kuasa sehingga tidak kena tilang. Di dunia maya berita tentang hal itu tersebar luas dengan judul 'Si Anak Jenderal', memperlihatkan ironi yang memalukan di negeri kita soal kekuasaan dan kecongkakan. Ini bukan kejadian pertama menyangkut kuasa dan peninggian diri. Cara itu sudah sering dipakai oleh siapa saja, dari yang memang punya jabatan sampai yang masih calon pejabat atau bahkan yang masih bersekolah.

Tidak perlu heran kalau di kelompok-kelompok dan mungkin keluarga kita sendiri ada banyak kecenderungan meninggikan diri. Siapa yang senang direndahkan? Siapapun suatu saat akan terpancing untuk memposisikan diri lebih benar, lebih senior, lebih berpengalaman, dan lebih dewasa daripada  yang lain. Sungguh sulit untuk mengakui bahwa pandangan dan sikap kita keliru, apalagi untuk menerima kharisma dan kelebihan orang lain. Kecongkakan itu ada di mana-mana, tapi tidak ada yang mengakui dan menyesalinya. Gengsi adalah masalah terbesar kita, dan ia juga menjadi masalah dalam kehidupan iman.

'Magnificat' atau kidung Maria yang kita dengar dalam Injil hari ini mengungkapkan siapa dan seperti apa Allah yang hadir dalam diri Yesus Kristus. Maria menyanyikan kidung yang tidak sedikitpun memuji dirinya sendiri, tetapi hanya memuliakan tindakan-tindakan besar Allah yang akan dialami oleh sekalian bangsa. Maria bersyukur karena 'diberkati' (Yun. 'makarios') oleh Allah, dan kelak kata itu juga dipakai Yesus untuk menunjukkan siapa yang pantas disebut 'diberkati' (Luk 6:20-23, 'Berbahagialah' yang lapar, miskin, menangis, dan dibenci). Akan tetapi, Maria dengan jelas memperlihatkan sikap apa yang seharusnya kita ambil sebelum memutuskan dan bertindak apapun, yakni mengakui kerendahan kita di hadapan Allah dan sesama.

Maria mengakui kerendahan dirinya (ay. 48) dan kemudian berbicara tentang apa yang dilakukan Allah pada orang yang rendah (ay. 52). Maria adalah hamba Allah (ay. 48), dan begitulah juga bangsa Israel (ay. 54). Meski begitu, 'kerendahan' ini tidak boleh dilihat sebagai 'cara' untuk mendapatkan berkat Allah. Yang dimaksud kerendahan (Yun. 'tapeinosis') sebenarnya adalah keadaan direndahkan, dihina, lemah, dan tak berdaya. Allah berada di pihak mereka yang mengakui kerendahannya. Yesus juga selalu bertentangan dengan mereka yang congkak, berkuasa, dan kaya--dengan kata lain, mereka yang mau bertahan di tempat 'tinggi'. Tetapi, Yesus tidak sekedar menghukum, melainkan mengundang mereka agar berubah dengan jalan kasih. Allah memperlakukan Israel lebih sebagai 'anak-Nya' daripada sekedar hamba-Nya (ay. 54, Yun. 'paidos autou').

Mungkin ada beberapa sikap kita yang telanjur keliru, tetapi sebetulnya kita selalu diundang untuk mengakuinya dan menyadari kerendahan kita. Bukankah kita tidak bisa seumur hidup merasa gengsi dengan salah sikap itu? Mengakui hal itu bisa dimulai dengan berhenti merendahkan orang lain, sekaligus berhenti meninggikan diri sendiri. Kita tahu, Allah tidak berkenan pada kecongkakan kita, khususnya di saat kita menilai buruk jalan hidup seseorang, memandang pekerjaannya tidak berguna, melecehkan komitmennya, serta menghina relasi dan keputusan hidupnya. Kita tidak berhak menilai hidup orang lain karena itu hanya akan meninggikan diri kita di hadapan Allah.

Dalam Kitab Wahyu (bacaan I), Maria digambarkan sebagai Bait Allah yang mengandung dan melahirkan Yesus Kristus. Ketaatannya dilukiskan secara manusiawi dengan kesakitan dan penderitaan melahirkan. Ia tahu bahwa Anak yang dilahirkannya itu adalah milik Allah, namun dengan taat ia mau menyesuaikan diri dengan rencana Allah yang jauh lebih hebat dari pemikiran manusia. Maria diselamatkan, juga setelah kematiannya, dan dibawa ke tempat yang pantas baginya dan yang abadi ("ia dipelihara di situ seribu dua ratus enam puluh hari lamanya"). Allah berkenan pada mereka yang rendah hati dan rela mengikuti rencana-Nya, sadar bahwa dirinya tak lebih dari manusia lain.

Hari Raya Maria Diangkat ke Surga adalah perayaan iman kita, kesadaran kita sebagai manusia yang rendah namun pantas diberkati oleh Allah. Hari ini bukan hanya untuk Maria, tetapi sesungguhnya untuk kita semua, seluruh umat beriman yang mau menyadari dan menjalani peran kita dalam keseluruhan rencana Allah. Kita diundang untuk mengakui kerendahan kita dengan cara menghormati peran yang unik dan berbeda orang-orang di sekitar kita. Kita diajak untuk melihat bahwa pemikiran kita tidak selalu dapat diterapkan pada hidup orang lain. Kita mesti terima bahwa Allah punya rencana yang berbeda.

Kalau Allah berkenan meninggikan kita juga kelak saat kita meninggal dunia, itu bukan karena usaha kita, tetapi karena Ia memperlakukan kita sebagai anak yang dikasihi-Nya. Apakah kita mau mengakui posisi kita? Kita bukan petinggi atau penguasa. Kita juga bukan 'Anak Jenderal'. Dalam kehidupan iman, seperti Maria juga, kita diajak untuk selalu rendah hati dan menyesuaikan diri dengan rencana Allah.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar