Why 11:19a, 12:1.3-6a, 1Kor 15:20-26, Luk 1:39-56
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Sambil menunjukkan kartu nama seorang Jenderal Kepala Polisi, anak muda yang menerobos jalur bus Transjakarta itu mengancam petugas, "Kalau tidak membiarkan saya lewat, kamu akan berurusan dengan dia." Baru kemudian ketahuan bahwa dia bukanlah anak Jenderal itu. Dia hanya mau menakut-nakuti petugas dengan main kuasa sehingga tidak kena tilang. Di dunia maya berita tentang hal itu tersebar luas dengan judul 'Si Anak Jenderal', memperlihatkan ironi yang memalukan di negeri kita soal kekuasaan dan kecongkakan. Ini bukan kejadian pertama menyangkut kuasa dan peninggian diri. Cara itu sudah sering dipakai oleh siapa saja, dari yang memang punya jabatan sampai yang masih calon pejabat atau bahkan yang masih bersekolah.
Tidak perlu heran kalau di kelompok-kelompok dan
mungkin keluarga kita sendiri ada
banyak kecenderungan meninggikan diri. Siapa yang senang direndahkan? Siapapun suatu saat akan terpancing untuk
memposisikan diri lebih benar,
lebih senior, lebih berpengalaman, dan lebih dewasa daripada yang
lain. Sungguh sulit untuk mengakui bahwa pandangan dan sikap kita keliru, apalagi untuk menerima kharisma
dan kelebihan orang lain. Kecongkakan
itu ada di mana-mana, tapi tidak ada yang mengakui dan menyesalinya. Gengsi adalah masalah terbesar kita, dan ia juga
menjadi masalah dalam kehidupan
iman.
'Magnificat' atau kidung Maria yang kita dengar
dalam Injil hari ini mengungkapkan
siapa dan seperti apa Allah yang hadir dalam diri Yesus Kristus. Maria menyanyikan kidung yang tidak sedikitpun memuji
dirinya sendiri, tetapi hanya
memuliakan tindakan-tindakan besar Allah yang akan dialami oleh sekalian bangsa. Maria bersyukur karena 'diberkati'
(Yun. 'makarios') oleh Allah, dan
kelak kata itu juga dipakai Yesus untuk menunjukkan
siapa yang pantas disebut 'diberkati' (Luk 6:20-23, 'Berbahagialah' yang lapar, miskin, menangis, dan dibenci). Akan
tetapi, Maria dengan jelas
memperlihatkan sikap apa yang seharusnya kita ambil sebelum memutuskan dan bertindak apapun, yakni mengakui
kerendahan kita di hadapan Allah
dan sesama.
Maria mengakui kerendahan dirinya (ay. 48) dan
kemudian berbicara tentang apa
yang dilakukan Allah pada orang yang rendah (ay. 52). Maria adalah hamba Allah (ay. 48), dan begitulah juga
bangsa Israel (ay. 54). Meski begitu, 'kerendahan'
ini tidak boleh dilihat sebagai 'cara' untuk mendapatkan berkat Allah. Yang dimaksud kerendahan (Yun.
'tapeinosis') sebenarnya adalah keadaan
direndahkan, dihina, lemah, dan tak berdaya. Allah berada di pihak mereka yang mengakui kerendahannya.
Yesus juga selalu bertentangan dengan mereka
yang congkak, berkuasa, dan kaya--dengan kata lain, mereka yang mau bertahan di tempat 'tinggi'. Tetapi,
Yesus tidak sekedar menghukum, melainkan
mengundang mereka agar berubah dengan jalan kasih. Allah memperlakukan Israel lebih sebagai 'anak-Nya' daripada sekedar
hamba-Nya (ay. 54, Yun. 'paidos
autou').
Mungkin ada beberapa sikap kita yang telanjur
keliru, tetapi sebetulnya kita selalu
diundang untuk mengakuinya dan menyadari kerendahan kita. Bukankah kita tidak bisa seumur hidup merasa
gengsi dengan salah sikap itu? Mengakui hal
itu bisa dimulai dengan berhenti merendahkan orang lain, sekaligus berhenti meninggikan diri sendiri. Kita
tahu, Allah tidak berkenan pada kecongkakan
kita, khususnya di saat kita menilai buruk jalan hidup seseorang, memandang pekerjaannya tidak berguna, melecehkan
komitmennya, serta menghina relasi
dan keputusan hidupnya. Kita tidak berhak menilai hidup orang lain karena itu hanya akan meninggikan diri kita di
hadapan Allah.
Dalam Kitab Wahyu (bacaan I), Maria digambarkan
sebagai Bait Allah yang mengandung
dan melahirkan Yesus Kristus. Ketaatannya dilukiskan secara manusiawi dengan kesakitan dan
penderitaan melahirkan. Ia tahu bahwa Anak
yang dilahirkannya itu adalah milik Allah, namun dengan taat ia mau menyesuaikan diri dengan rencana Allah
yang jauh lebih hebat dari pemikiran manusia.
Maria diselamatkan, juga setelah kematiannya, dan dibawa ke tempat yang pantas baginya dan yang abadi
("ia dipelihara di situ seribu dua ratus enam puluh hari lamanya"). Allah berkenan pada mereka yang
rendah hati dan rela mengikuti
rencana-Nya, sadar bahwa dirinya tak lebih dari manusia lain.
Hari Raya Maria Diangkat ke Surga adalah perayaan
iman kita, kesadaran kita sebagai
manusia yang rendah namun pantas diberkati oleh Allah. Hari ini bukan hanya untuk Maria, tetapi
sesungguhnya untuk kita semua, seluruh umat
beriman yang mau menyadari dan menjalani peran kita dalam keseluruhan rencana Allah. Kita diundang untuk
mengakui kerendahan kita dengan cara menghormati
peran yang unik dan berbeda orang-orang di sekitar kita. Kita diajak untuk melihat bahwa pemikiran
kita tidak selalu dapat diterapkan pada hidup
orang lain. Kita mesti terima bahwa Allah punya rencana yang berbeda.
Kalau Allah berkenan meninggikan kita juga kelak
saat kita meninggal dunia, itu
bukan karena usaha kita, tetapi karena Ia memperlakukan kita sebagai anak yang dikasihi-Nya. Apakah kita mau
mengakui posisi kita? Kita bukan petinggi
atau penguasa. Kita juga bukan 'Anak Jenderal'. Dalam kehidupan iman, seperti Maria juga, kita diajak
untuk selalu rendah hati dan menyesuaikan
diri dengan rencana Allah.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar