Minggu Biasa XVIII (C)
Pkh 1:2, 2:21-23, Kol 3:1-5.9-11, Luk 12:13-21
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Kata kulkas berasal dari bahasa Belanda 'koelkast'.
Mestinya yang terakhir itu berarti
'lemari dingin', tetapi lidah kita lebih suka menyebutnya 'lemari es'. Kulkas memang berfungsi
mendinginkan makanan sehingga bisa tahan
segar lebih lama. Tetapi, lama-lama kulkas lebih berguna bagi orang yang malas dan kurang bertanggung
jawab. Apa saja dimasukkan kulkas. Bukan hal
yang aneh kalau kulkas seringkali penuh dengan makanan yang sudah kadaluwarsa karena terlalu lama
dibiarkan di sana. Mengherankan bahwa orang
suka menyimpan segala sesuatu di kulkas, padahal tidak pernah berniat
untuk mengonsumsinya. Ada orang
yang setiap kali pulang kerja langsung membuka kulkas, dan hanya melihat saja tanpa mengambil apa-apa.
Kita senang menyimpan. Aneh, memang. Dan yang kita
simpan bisa berupa barang-barang
yang sangat tidak lazim disimpan, atau yang sama sekali tidak ada gunanya. Kadang-kadang perilaku ini
disebut 'nyampah', menyimpan barang-barang
sampah. Untuk apa? Entahlah. Dibuang sayang, katanya. Perilaku ini bisa mempengaruhi kepemilikan. Rasa
ingin memiliki itu sulit sekali diobati.
Kepuasan adalah tujuannya, dan celakanya kepuasan itu tak ada ukurannya. Seseorang bisa menimbun uang
di rekeningnya sampai hampir 1 triliun
rupiah. Untuk apa? Entahlah. Kok bisa? Bisa, karena kepuasan itu tak terukur, tak mengenal kata 'cukup'.
Makin banyak yang kita simpan, makin kita tidak percaya bahwa Tuhan menyediakan rezeki secukupnya
tiap hari.
Di masa Yesus, adalah lazim bertanya kepada seorang
rabbi mengenai persoalan warisan
dalam keluarga. Tetapi, dalam Injil hari ini, Yesus mengembangkan persoalan itu sampai ke dalam jiwa
manusia: ketamakan. Alih-alih menjadi hakim
atas orang yang bertanya soal warisan itu, Yesus bicara tentang sifat orang yang sangat sulit diobati ini.
Melalui perumpamaan tentang orang kaya yang
dungu, Yesus menunjukkan penyebab utama yang mesti diperbaiki. Orang kaya yang menimbun gandum dan barang-barang
di lumbungnya itu bukan hanya terlepas
dari sesamanya, tetapi juga dari jiwanya sendiri. Dengan lucu ia berkata pada dirinya sendiri,
"Jiwaku, ada padamu banyak barang; beristirahatlah,
makan, minum, dan bersenang-senanglah!"
Orang ini tidak jahat, tapi dungu. Ia bukan saja
tidak peduli pada sesama, yang
pada zaman itu hampir pasti hidup dalam kemiskinan, tapi juga tidak kenal dengan dirinya sendiri. Manusia
mana di bumi ini yang berbicara dengan dirinya
sendiri seperti itu? Ia terlalu dungu untuk menyadari bahwa dirinya sebetulnya tidak memerlukan gandum dan
barang sebanyak itu! Lebih parah lagi,
di mata Allah gandum dan barang-barang itu tidak bisa dibawa sama sekali ketika jiwanya diambil malam itu
juga. Pertanyaan terpenting ada di akhir
perumpamaan Yesus: "Untuk siapakah itu nanti?"
Dalam hati kita mungkin berpikir, bahwa harta kita
bisa berguna bagi mereka yang kita
tinggalkan saat kita mati. Tapi sayang, pemikiran itu baru bisa diuji kalau kita sudah mati.
Kenyataannya, selama masih hidup, kita hampir tidak memikirkan bahwa yang kita kumpulkan itu 'untuk' orang
lain. Beberapa orang berfoya-foya
dengan berdalih bahwa mereka merasa berhak menghabiskan uang hasil kerja keras mereka sendiri. Mereka terputus dari
sesama. Kelak pada saat sekarat,
kita mungkin baru menyerah, dan membuat surat warisan. Tetapi, warisan itu pun masih akan jadi sumber pertengkaran dan
kejahatan bagi orang lain. Kita
senang menyimpan, dan kalau jujur, itu bukan untuk menyenangkan orang lain, tetapi jiwa kita sendiri yang
sebenarnya tidak membutuhkannya!
Kita terputus dari jiwa kita sendiri.
Kitab Pengkhotbah (Bacaan I) mengingatkan
kesia-siaan dalam segala hal yang kita
kumpulkan dengan berlelah-lelah, dengan kesedihan dan jerih payah di bawah matahari. Bacaan ini pun
nampaknya tidak terlalu mendukung ide tentang warisan, sebab itu seperti apa yang sekedar "ditinggalkan
kepada orang yang tidak
berlelah-lelah untuk itu". Bukan jerih payah kita di balik semuanya itu yang dikritik, melainkan jawaban
kita atas pertanyaan 'untuk siapakah?' yang
seharusnya diberikan pada saat kita masih hidup sekarang ini. Selama kita tidak mau menjawabnya, atau
berdalih apapun untuk menyenangkan jiwa kita
sendiri, kita seperti orang yang 'nyampah' di hadapan Tuhan.
Menjadi kaya di hadapan Tuhan, karenanya, hanya
bisa dilakukan dengan menyambung
kembali seluruh hasil usaha kita dengan sesama dan jiwa kita sendiri. Sesungguhnya apa yang kita
hasilkan bisa membantu banyak orang yang hidupnya
tidak beruntung, dan sebetulnya jiwa kita pun tidak membutuhkan banyak barang dan uang. Apakah ini
hanya sebuah kebijaksanaan manusiawi? Mungkin
tidak, sebab Tuhan sengaja memberikan berkat melalui beberapa orang yang berhasil hidupnya, 'untuk'
membantu dan mengangkat sesamanya yang berkali-kali
gagal dalam usahanya.
Sebelum 'menyimpan sesuatu di dalam kulkas', mari
kita jawab pertanyaan Yesus itu,
"Untuk siapakah itu nanti?" Ia tidak mau mengurusi perkara warisan, karena itu bukan hasil usaha
kita. Ia lebih peduli pada keselamatan jiwa
kita dan orang-orang di sekitar kita yang seharusnya dibantu dengan hasil jerih payah hidup kita selama
ini. Semoga kita kaya di hadapan Tuhan.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar