Sabtu, 03 Agustus 2013

Jiwa Yang Tak Pernah Merasa Cukup?


Minggu Biasa XVIII (C)
Pkh 1:2, 2:21-23, Kol 3:1-5.9-11, Luk 12:13-21
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
 
Kata kulkas berasal dari bahasa Belanda 'koelkast'. Mestinya yang terakhir itu berarti 'lemari dingin', tetapi lidah kita lebih suka menyebutnya 'lemari es'. Kulkas memang berfungsi mendinginkan makanan sehingga bisa tahan segar lebih lama. Tetapi, lama-lama kulkas lebih berguna bagi orang yang malas dan kurang bertanggung jawab. Apa saja dimasukkan kulkas. Bukan hal yang aneh kalau kulkas seringkali penuh dengan makanan yang sudah kadaluwarsa karena terlalu lama dibiarkan di sana. Mengherankan bahwa orang suka menyimpan segala sesuatu di kulkas, padahal tidak pernah berniat untuk mengonsumsinya. Ada orang yang setiap kali pulang kerja langsung membuka kulkas, dan hanya melihat saja tanpa mengambil apa-apa.

Kita senang menyimpan. Aneh, memang. Dan yang kita simpan bisa berupa barang-barang yang sangat tidak lazim disimpan, atau yang sama sekali tidak ada gunanya. Kadang-kadang perilaku ini disebut 'nyampah', menyimpan barang-barang sampah. Untuk apa? Entahlah. Dibuang sayang, katanya. Perilaku ini bisa mempengaruhi kepemilikan. Rasa ingin memiliki itu sulit sekali diobati. Kepuasan adalah tujuannya, dan celakanya kepuasan itu tak ada ukurannya. Seseorang bisa menimbun uang di rekeningnya sampai hampir 1 triliun rupiah. Untuk apa? Entahlah. Kok bisa? Bisa, karena kepuasan itu tak terukur, tak mengenal kata 'cukup'. Makin banyak yang kita simpan, makin kita tidak percaya bahwa Tuhan menyediakan rezeki secukupnya tiap hari.

Di masa Yesus, adalah lazim bertanya kepada seorang rabbi mengenai persoalan warisan dalam keluarga. Tetapi, dalam Injil hari ini, Yesus mengembangkan persoalan itu sampai ke dalam jiwa manusia: ketamakan. Alih-alih menjadi hakim atas orang yang bertanya soal warisan itu, Yesus bicara tentang sifat orang yang sangat sulit diobati ini. Melalui perumpamaan tentang orang kaya yang dungu, Yesus menunjukkan penyebab utama yang mesti diperbaiki. Orang kaya yang menimbun gandum dan barang-barang di lumbungnya itu bukan hanya terlepas dari sesamanya, tetapi juga dari jiwanya sendiri. Dengan lucu ia berkata pada dirinya sendiri, "Jiwaku, ada padamu banyak barang; beristirahatlah, makan, minum, dan bersenang-senanglah!"

Orang ini tidak jahat, tapi dungu. Ia bukan saja tidak peduli pada sesama, yang pada zaman itu hampir pasti hidup dalam kemiskinan, tapi juga tidak kenal dengan dirinya sendiri. Manusia mana di bumi ini yang berbicara dengan dirinya sendiri seperti itu? Ia terlalu dungu untuk menyadari bahwa dirinya sebetulnya tidak memerlukan gandum dan barang sebanyak itu! Lebih parah lagi, di mata Allah gandum dan barang-barang itu tidak bisa dibawa sama sekali ketika jiwanya diambil malam itu juga. Pertanyaan terpenting ada di akhir perumpamaan Yesus: "Untuk siapakah itu nanti?"

Dalam hati kita mungkin berpikir, bahwa harta kita bisa berguna bagi mereka yang kita tinggalkan saat kita mati. Tapi sayang, pemikiran itu baru bisa diuji kalau kita sudah mati. Kenyataannya, selama masih hidup, kita hampir tidak memikirkan bahwa yang kita kumpulkan itu 'untuk' orang lain. Beberapa orang berfoya-foya dengan berdalih bahwa mereka merasa berhak menghabiskan uang hasil kerja keras mereka sendiri. Mereka terputus dari sesama. Kelak pada saat sekarat, kita mungkin baru menyerah, dan membuat surat warisan. Tetapi, warisan itu pun masih akan jadi sumber pertengkaran dan kejahatan bagi orang lain. Kita senang menyimpan, dan kalau jujur, itu bukan untuk menyenangkan orang lain, tetapi jiwa kita sendiri yang sebenarnya tidak membutuhkannya! Kita terputus dari jiwa kita sendiri.

Kitab Pengkhotbah (Bacaan I) mengingatkan kesia-siaan dalam segala hal yang kita kumpulkan dengan berlelah-lelah, dengan kesedihan dan jerih payah di bawah matahari. Bacaan ini pun nampaknya tidak terlalu mendukung ide tentang warisan, sebab itu seperti apa yang sekedar "ditinggalkan kepada orang yang tidak berlelah-lelah untuk itu". Bukan jerih payah kita di balik semuanya itu yang dikritik, melainkan jawaban kita atas pertanyaan 'untuk siapakah?' yang seharusnya diberikan pada saat kita masih hidup sekarang ini. Selama kita tidak mau menjawabnya, atau berdalih apapun untuk menyenangkan jiwa kita sendiri, kita seperti orang yang 'nyampah' di hadapan Tuhan.

Menjadi kaya di hadapan Tuhan, karenanya, hanya bisa dilakukan dengan menyambung kembali seluruh hasil usaha kita dengan sesama dan jiwa kita sendiri. Sesungguhnya apa yang kita hasilkan bisa membantu banyak orang yang hidupnya tidak beruntung, dan sebetulnya jiwa kita pun tidak membutuhkan banyak barang dan uang. Apakah ini hanya sebuah kebijaksanaan manusiawi? Mungkin tidak, sebab Tuhan sengaja memberikan berkat melalui beberapa orang yang berhasil hidupnya, 'untuk' membantu dan mengangkat sesamanya yang berkali-kali gagal dalam usahanya.

Sebelum 'menyimpan sesuatu di dalam kulkas', mari kita jawab pertanyaan Yesus itu, "Untuk siapakah itu nanti?" Ia tidak mau mengurusi perkara warisan, karena itu bukan hasil usaha kita. Ia lebih peduli pada keselamatan jiwa kita dan orang-orang di sekitar kita yang seharusnya dibantu dengan hasil jerih payah hidup kita selama ini. Semoga kita kaya di hadapan Tuhan.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar