Kej 18:20-33, Kol 2:12-14, Luk 11:1-13
Oleh
: Pst. Tedjoworo, OSC
Manja itu pasti ada maksudnya. Dan sikap manja
tidak hanya kelihatan dalam penampilan
kekanak-kanakan, tetapi lebih-lebih dalam keinginan yang begitu nampak pada perilaku. Kalau seseorang
tiba-tiba bersikap baik dan manis pada kita,
atau di luar kebiasaan memijat-mijat pundak kita dan mengucapkan kata-kata serba 'sayang', sebentar
kemudian kita akan tahu apa maksud dia sesungguhnya.
Hal seperti ini tidak dilakukan begitu saja dengan orang yang tak dikenal, tetapi lebih sering dengan
orang-orang terdekat. Jadi, rasa-rasanya
mesti lebih peka dengan mereka yang terbiasa dekat dengan kita, untuk mengetahui apakah relasi kita
memang sudah semakin dewasa.
Seseorang ingin mengajar anaknya untuk bersikap
rendah hati dengan cara belajar
minta kalau memang sungguh memerlukan sesuatu. Maksudnya adalah supaya anaknya itu sadar belum bisa
mencari uang sehingga ingat bahwa hidupnya
masih tergantung pada orangtua. Akan tetapi, di luar dugaan anaknya justru sedikit-sedikit minta kepadanya
dan malah tidak sadar bahwa mencari uang
itu tidak gampang. Ternyata mengajarkan sebuah sikap kepada anak itu tidak cukup hanya dengan kata-kata.
Perlu waktu panjang untuk menularkan sebuah
kedewasaan. Perlu banyak kejadian yang tidak menyenangkan untuk sampai pada relasi yang membawa kebaikan.
Begitu juga iman kita, perlu proses lama belajar berdoa untuk sampai pada
kedalamannya.
Para murid Yesus merasa seperti ada yang kurang
dalam diri mereka ketika melihat
kebiasaan murid-murid Yohanes Pembaptis. Bahkan pernah ada yang berkomentar bahwa mereka "makan
dan minum", padahal murid-murid Yohanes dan orang Farisi "berpuasa dan sembahyang" (Luk 5:33).
Maka, suatu saat mereka menanti
Yesus berdoa, dan minta diajari berdoa. Apakah Yesus selama ini tidak pernah mengajar mereka berdoa? Mungkin tidak
dalam kata-kata. Yesus mengalami
doa sebagai relasi yang dekat dan menguatkan, dan mengajarkan itu dalam kata-kata pasti tidak semudah
yang disangka.
Namun, Yesus mengajarkannya juga. Hanya saja, Ia
menyisipkan sebuah pelajaran yang
amat penting mengenai relasi. Ia menyebut Allah 'Bapa' dalam doa-Nya. James Barr, seorang ahli Kitab
Suci, pernah menulis bahwa sebutan 'bapa'
itu tidak sama dengan 'papa' ("Abba isn't Daddy"). Yesus mengajarkan doa yang sekarang kita kenal sebagai
"Bapa Kami", namun tidak sama dengan kalau kita memanggil ayah kita 'Papa'. Tidak samanya terletak
pada relasi dan 'maksud' kita.
Kata-kata Yesus tentang Allah sebagai Bapa memang tidak tepat dipahami sebagai relasi intim yang sentimentil. Doa Yesus
itu menunjukkan suatu cara untuk
berelasi dengan hormat dan dewasa dengan Allah. Ia tidak mengajarkan doa yang kekanak-kanakan atau sekedar
diwarnai permintaan yang serba
gampang. Doa yang diajarkan-Nya menempatkan kita pada posisi orang yang sadar dan bertanggung jawab.
Tentu saja doa-doa kita selama ini menunjukkan
seperti apa relasi kita dengan
Allah. Ada yang tidak bisa berdoa karena merasa tidak butuh apa-apa, atau merasa tidak perlu bertobat. Ada
juga yang sangat lancar berdoa dalam kata-kata,
namun hatinya penuh dengan kepentingan pribadi yang tersembunyi. Yang lain lagi hanya mau berdoa di
gereja saja dan tak pernah berusaha dan disiplin
berdoa pribadi. Dan masih banyak lagi yang bingung kalau harus memimpin doa, karena merasa tidak punya
kata-kata yang indah. Kita jarang berpikir
tentang 'relasi' dalam doa-doa kita. Yang kita pikirkan seringkali hanya kata-kata yang bagus, sikap doa
yang khusuk, atau permintaan-permintaan
kita yang kedengarannya semakin tidak tahu diri.
Bagi sementara orang, Abraham, dalam bacaan I,
sepertinya sekedar tawar menawar
dengan Tuhan dalam doanya. Abraham seakan-akan berusaha mempengaruhi Tuhan supaya sedikit demi sedikit Tuhan
berkenan mengampuni kota Sodom dan Gomora
yang "sangat berat dosanya". Benarkah Tuhan berubah pikiran karena permintaan Abraham? Mungkin tidak.
Sebab, sejak awal ketika hendak melenyapkan
kota itu, Tuhan selalu punya pengampunan bagi manusia yang bertobat ("orang benar").
Jadi, sesungguhnya doa Abraham itu menjelaskan relasinya sendiri dengan Tuhan. Sekarang, Abraham lebih mengenal
lagi betapa sayang dan berbelas
kasih Tuhan itu sesungguhnya.
Apakah sekarang kita pun belajar soal relasi kita
dengan Tuhan? Apakah doa kita
sungguh-sungguh menjadi cara untuk memperbaiki relasi itu? Selama kita masih menjejali doa kita dengan
permintaan yang kurang dewasa, hanya mau berdoa
bersama dan tidak disiplin berdoa pribadi, atau terus menghindari doa dengan dalih tak punya kata-kata yang
bagus, mungkin kita terlalu manja dalam
hal iman dan relasi kita dengan Tuhan. Seharusnya relasi kita bertumbuh setiap hari. Seharusnya doa
kita makin membawa kekuatan bagi diri sendiri
dan kesembuhan serta jalan keluar bagi mereka yang kita doakan.
Yesus mengajak kita untuk selalu mohon kehendak
Bapa terjadi, dan bukan sekedar
keinginan kita sendiri. Artinya, kita tidak sekedar meminta, tidak juga sekedar tawar menawar. Kita diajak
memohon Roh Kudus yang pasti akan diberikan
Bapa kalau kita meminta-Nya. Roh itu akan membuat kita mengerti kehendak Bapa yang sudah tahu apa yang
kita butuhkan setiap hari.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar