Kej 18:1-10a, Kol 1:24-28, Luk 10:38-42
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Cara anak muda belajar kini bisa
aneh. Belajar tidak lagi 'tradisional', dengan cara duduk diam dan menghapalkan
bahan. Mereka bisa belajar sambil mendengarkan musik, berolah raga, sambil
makan, minum kopi, membaca majalah, main 'game', dan macam-macam hal lain yang
bagi kebanyakan orang tidak lazim untuk dilakukan sambil belajar. Mungkin
inilah yang terjadi. Belajar menjadi seperti hal kedua yang baru bisa dikerjakan
kalau sudah melakukan hal yang lain. Bukan belajar sambil melakukan sesuatu,
tetapi melakukan sesuatu sambil belajar. Ini bukan tanpa konsekuensi, sebab
pada saat kebiasaan tertentu itu tidak bisa dilakukan, mereka justru tidak bisa
belajar lagi. Hal-hal sambilan menjadi syarat bagi hal yang utama.
Barangkali pengalaman itu mirip dengan orang yang makan tempe harus dengan cabe. Kalau tidak ada cabe, tidak mau makan tempe. Alasannya, tanpa cabe, tidak enak. Cabe menjadi lebih penting daripada tempenya. Jika diteliti dengan jujur, beberapa pengalaman hidup kita pun ditentukan oleh situasi tertentu atau bahkan oleh apa yang dilakukan orang lain di sekitar kita. Kita bisa rajin bekerja kalau orang lain juga rajin. Kita mau aktif dalam suatu diskusi kalau teman sekelompok kita pun orang-orang yang aktif. Kita baru berbuat baik 'kalau' orang lain mulai berbuat baik. Sebentar kemudian kita akan mulai menuntut orang lain dan mungkin menyalahkan mereka karena tidak mendorong kita untuk bekerja. Tanpa cabe, tidak enak.
Barangkali pengalaman itu mirip dengan orang yang makan tempe harus dengan cabe. Kalau tidak ada cabe, tidak mau makan tempe. Alasannya, tanpa cabe, tidak enak. Cabe menjadi lebih penting daripada tempenya. Jika diteliti dengan jujur, beberapa pengalaman hidup kita pun ditentukan oleh situasi tertentu atau bahkan oleh apa yang dilakukan orang lain di sekitar kita. Kita bisa rajin bekerja kalau orang lain juga rajin. Kita mau aktif dalam suatu diskusi kalau teman sekelompok kita pun orang-orang yang aktif. Kita baru berbuat baik 'kalau' orang lain mulai berbuat baik. Sebentar kemudian kita akan mulai menuntut orang lain dan mungkin menyalahkan mereka karena tidak mendorong kita untuk bekerja. Tanpa cabe, tidak enak.
Kalau "murid-murid" yang dimaksud Lukas dalam Injil hari ini termasuk ketujuh puluh murid lain yang ditunjuk Yesus sebelumnya (Luk 10:1), kesibukan Marta dan kegelisahannya bisa kita mengerti. Bayangkan bahwa Yesus tiba-tiba muncul bersama tujuh puluhan tamu yang harus dijamu dengan makanan! Itu pasti membuat panik siapapun. Akan tetapi, Yesus pasti menyediakan makanan yang cukup dengan cara-Nya sendiri dan melalui orang lain yang ada di sana. Jadi. persoalannya bukan pada makanan. Persoalannya,
setidaknya menurut Marta, adalah pada Maria, saudaranya, yang "duduk dekat kaki Tuhan dan terus menerus mendengarkan perkataan-Nya."
Benarkah persoalan ada pada Maria? Tunggu dulu. Bagi Yesus tidak demikian. Yesus melihat bahwa Marta melayani dengan sangat baik, tetapi hatinya terganggu oleh orang lain. Bagi Yesus, persoalannya ada di hati Marta, dan mungkin juga di hati mereka yang sibuk melayani bersamanya pada waktu itu. Yesus tidak mengkritik pelayanan Marta yang memang dibutuhkan semua orang. Ia menegur Marta karena "khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara." Dan jangan kita mengira bahwa Yesus meminta Marta berhenti melayani dan duduk di kaki-Nya seperti Maria. Tidak. Yang ditegur Yesus adalah kekhawatiran dan banyak perkara di hati Marta, yakni hal-hal yang dituntutnya dari orang lain sebagai dukungan pada pelayanannya. Bagi Yesus, melayani itu dari diri sendiri, bukan dari orang lain.
Sampai di sini, permenungan kita mengarah pada soal kesetiaan kita pada pelayanan yang kita lakukan. Apakah kesetiaan kita ditentukan oleh semangat orang lain? Seharusnya tidak. Tetapi, kenyataannya, kita jarang berinisiatif dengan berani di hadapan banyak orang. Inisiatif kita anggap terlalu berisiko. Tetap rajin melayani di tengah lingkungan yang acuh tak acuh bisa membuat kita merasa malu, gelisah, dan khawatir dianggap 'sok suci' dan 'sok rajin'. Kita suka mencari teman sebelum mengambil inisiatif. Kita butuh orang yang rajin untuk menjadi rajin. Dengan begitu, kita jadi kesulitan untuk berinisiatif dan setia melayani dari dalam diri sendiri, karena kita menyusahkan diri dengan banyak perkara 'tentang' orang lain.
Dalam kitab Kejadian yang baru kita dengar (Bacaan I), sepertinya Abraham begitu bahagia dan penuh pelayanan terhadap Tuhan yang menampakkan diri kepadanya. Akan tetapi, di balik pelayanannya yang begitu ramah itu, Abraham sebetulnya menyuruh Sara, istrinya, untuk menyiapkan roti bundar, dan bujangnya untuk mengolah dan menghidangkan daging anak lembu. Abraham tidak melakukannya sendiri. Maka, Tuhan bertanya, "Di manakah Sara, istrimu?" Dan Tuhan kelak akan mengaruniakan berkat, yakni seorang anak laki-laki, kepada Sara yang telah menjamu Tuhan dengan sebaik-baiknya. Kendati tidak tampil, Sara tetap melayani dengan setia.
Dalam terang Injil hari ini, kita menemukan bahwa persoalan pelayanan kita bukanlah pada orang lain yang bekerja bersama kita. Persoalannya seringkali di dalam hati kita sendiri. Kita mau melayani, tetapi terlalu banyak memikirkan orang lain, menilai pilihan dan keputusan orang lain. Kita menyibukkan diri dengan banyak perkara yang seringkali bukan urusan kita. Kalau pelayanan kita masih dipengaruhi oleh sikap saudara kita, mungkin kita belum paham tentang kesetiaan.
Bagi pengikut Kristus, melayani tidak bisa dilakukan dengan khawatir, tetapi hanya dengan setia dengan segala risiko, meskipun situasi sekitar tidak ideal serta apapun pilihan dan keputusan orang lain yang hidup bersama kita. Kita perlu merasa yakin pada pilihan yang telah kita ambil. Ada atau tidak ada cabe, tempe tetap enak. Pelayanan apapun yang kita pilih, sebaiknya kita jalani dengan setia, dan kesetiaan itu akan membawa berkat dan kebahagiaan.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar