Kol 1:15-20, Luk 10:25-37
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
"Karena dimasak dengan kasih," begitu kata seseorang yang mengomentari lezatnya makanan yang disantapnya. Kita juga kadang-kadang mengatakannya untuk memuji orang yang menyediakan makanan bagi kita. Pengalaman waktu masih kecil disuapi ibu dengan tangan adalah contoh yang menarik. Ada yang mengatakan bahwa disuapi ibu dengan tangan itu lebih 'nikmat' daripada makan sendiri. Konon tangan ibulah yang membuat makanan jadi enak. Di keluarga-keluarga modern kebiasaan ini sudah ditinggalkan karena dianggap tidak higienis. Tapi karenanya, orang jadi kurang percaya bahwa 'siapa' yang memasak sering mempengaruhi enak tidaknya masakan. Sekarang, enaknya makanan tergantung pada selera tiap orang.
Dalam banyak hal selain makanan, 'siapa' itu sangat
atau bahkan terlalu menentukan
reaksi kita. Seseorang yang mendapat hadiah dari orang yang dibenci tidak akan merasa senang dan
mau membuang hadiah itu. Yang lain, saat
minta tolong dan dijawab oleh orang yang bermasalah, memilih tidak jadi, dan mengerjakan sendiri saja. Ada
pula yang bersikukuh menolak segala kebaikan
dan bantuan yang berasal dari orang yang tidak disukai. Mungkin kita sendiri sudah sering bereaksi seperti
itu, dan hampir pasti alasan kita ialah:
'siapa' yang memasak makanan, 'siapa' dulu yang menawarkan kebaikan itu. Kita merasa berhak menentukan
siapa boleh berbuat baik kepada kita.
Ketika menghadapi pertanyaan seorang ahli Taurat,
Yesus memilih untuk berhati-hati.
Orang ini bukan hanya paham tentang hukum, tetapi juga mau persis dalam hal rumusan dan
penafsirannya. Lukas memberi tahu kita bahwa ahli Taurat itu datang 'untuk mencobai' Yesus dengan
pertanyaannya soal apa yang harus
dilakukan untuk hidup yang kekal. Maka, Yesus bertanya dahulu, "Apa yang tertulis dalam hukum?" Setelah
orang itu menjawab dengan tepat, karena
memang ia adalah seorang ahli Taurat, muncullah masalah sesungguhnya. Ia mau membenarkan diri dan menghendaki
rumusan yang rinci tentang 'siapakah sesama'
itu, sejauh apa seseorang disebut sesama.
Yesus menanggapi dengan serius pertanyaan tentang
sesama itu. Dalam kisah-Nya, di
hadapan seseorang yang dirampok dan dipukuli, Ia menghadirkan tiga sosok. Sosok pertama dan kedua
yang lewat di sana, yakni seorang imam dan
seorang Lewi, menghindari orang yang terbaring 'setengah mati' itu.
Mereka yang mendengar cerita ini pada waktu itu
memang tidak suka pada kaum imam
dan Lewi, dan mengira bahwa sosok ketiga yang akan datang pasti adalah orang Yahudi yang mewakili kebanyakan
orang. Tapi ternyata Yesus menghadirkan
orang Samaria! Orang Samaria bermusuhan luar biasa dengan orang Yahudi. Yesus sengaja membuat 'shock'
dengan menampilkan seorang musuh yang justru
"tergerak oleh belas kasihan". Ketika ditanya Yesus siapa 'sesama' dalam kisah-Nya itu, ahli Taurat itu
menjawab, "Orang yang melakukan belas
kasih kepadanya" (Yun. 'poieo': melakukan).
Baik di masyarakat Yahudi waktu itu maupun di masa
kita sekarang, tindakan lebih
berbicara daripada pandangan atau pemahaman. Maka, sungguh mengherankan bahwa orang masih suka
mencari pembenaran diri tentang 'siapa' boleh
berbuat baik kepadanya. Seorang musuh, katanya, tidak mungkin berbuat baik. Tetapi ini dikatakan untuk
membenarkan diri ketika menolak kebaikan dari
orang-orang yang tidak disukai. Dan kecenderungan ini benar-benar terjadi sekarang. Kalau ada orang yang
tidak kita sukai, kebaikan apapun yang
dilakukannya tidak akan kita terima, malah membuat hati kita makin panas dan membencinya. Apalagi kalau
ada yang mampu membahagiakan mereka yang
selama ini dekat pada kita, kita merasa kesal dan mata kita tidak bisa lagi melihat tindakannya lebih daripada
'siapa'nya!
Musa dalam kitab Ulangan (bacaan I), menggambarkan
dengan indah kesiapan orang Israel
untuk 'melakukan' hukum Tuhan. Ia menjelaskan bahwa perintah Tuhan itu sangat mudah untuk dilakukan,
tak perlu bersusah payah naik ke langit
atau ke seberang lautan. Tiga kali ia menekankan soal 'melakukan' perintah Tuhan, yang jauh lebih penting
namun sama mudahnya dengan mengucapkan
"di dalam mulut") dan menerimanya ("di dalam hati"). Suatu tindakan seturut perintah Tuhan jauh
mengatasi sekadar siapa yang melakukannya
dan apakah orang lain suka atau tidak terhadapnya, menerima atau tidak tindakannya.
Istilah yang dipakai Lukas untuk 'sesama' ialah
'plesion' (Yun. 'yang dekat').
Dengan kisah-Nya, Yesus memperlihatkan bahwa seorang Samaria yang dianggap musuh oleh orang Yahudi,
karena berbelas kasih, bertindak sebagai sesama
yang menolong orang yang membutuhkan. Bagi Yesus, seorang musuh hanyalah sesama yang jauh. Ketika musuh
itu tergerak oleh belas kasih dan bertindak,
ia menjadi sesama, yang dekat. Masalahnya ada di hati kita, sampai kapan kita akan terus menolak
tindakan, kehadiran, dan kebaikannya?
Injil hari ini menantang keterbukaan dan kerelaan
kita. Setiap kebaikan selalu lahir
dari kasih. Setiap tindakan baik orang lain tidak membutuhkan persetujuan kita, apakah kita suka atau
tidak terhadapnya. Seandainya saja kita
melihat setiap orang seperti 'ibu' yang menyuapi kita dengan tangannya, kita akan lebih mudah menelan makanan,
dan akan melihat betapa banyak sesama itu
di sekitar kita.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar