Minggu Biasa XIV (C)
Yes 66:10-14c, Gal 6:14-18, Luk 10:1-12.17-20
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Beberapa orang bisa pergi begitu saja hanya dengan sebuah ransel (Ing. 'bacpack'). Mereka disebut 'backpackers', karena bepergian hanya berbekal apa yang sangat perlu saja. Dan yang menarik, mereka bisa pergi dengan hati yang 'lepas bebas', tidak pusing dengan persiapan berlebihan. Malah ada yang sepertinya sering jalan-jalan ke mana-mana. Baru pulang dari satu kota, beberapa hari kemudian sudah pergi ke tempat lain. Orang-orang seperti ini pasti hidupnya menyenangkan, banyak jalan, banyak bertemu orang, banyak pengalaman yang mengesan. Tapi tidak semua orang bisa menjadi 'backpacker'. Sebagian besar tidak bisa tidur di sembarang tempat, takut ketinggalan sesuatu di rumah, tidak bisa makan di tempat yang kurang bersih, tidak bisa bepergian dengan orang asing, dan sebagainya. Sebagian besar dari kita punya banyak 'syarat' kalau mau bepergian.
Mungkin kita terlalu khawatir, terlalu banyak berpikir mengenai 'apa yang kurang' sebelum kita pergi atau mengerjakan sesuatu. Kita merasa diri sebagai orang yang penuh persiapan dan mau merencanakan sedetil mungkin perjalanan kita. Kita hanya merasa tenang kalau semuanya sudah dipersiapkan. Tapi di sisi lain, kita jadi terbiasa untuk serba sempurna, dan akibatnya, tidak merasa tenang kalau ada kekurangan sekecil apapun. Dalam hal ini kita mulai kehilangan kepercayaan, bahwa di luar sana masih ada orang baik, masih ada yang mau berbagi dan membantu kita. Dengan kata lain, kita kurang yakin, bahwa Tuhan ada di mana-mana dan selalu memperhatikan kita.
Yesus mengutus murid-murid-Nya berdua-dua, "mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya." Meski melarang mereka membawa pundi-pundi, bekal, dan kasut, ternyata Yesus "telah memberikan kuasa untuk menahan kekuatan musuh." Betapa simpatik dan penuh perhatian Dia! Kalau saja murid-murid hanya terpaku pada 'larangan' membawa bekal, mereka mungkin akan khawatir dan tidak yakin dengan tugas ini. Yesus membuktikan bahwa bekal jasmani itu sama sekali bukan jaminan keberhasilan misi-Nya. Bekal dan kuasa rohani dari-Nya, adalah kekuatan sesungguhnya, dan sudah diberikan!
Dan bekal rohani itu diminta-Nya untuk dibagikan juga. Ia meminta mereka mengatakan lebih dahulu, "Damai sejahtera bagi rumah ini!" Kata-kata ini kedengaran 'biasa', padahal 'damai' (Ibr. 'shalom') itu bukan sekadar tidak ada konflik atau pertengkaran, melainkan sesuatu yang mempengaruhi seluruh kelompok, kelimpahan, rasa aman, dan semangat. Hanya orang yang hatinya penuh syukur, dapat memberikan damai yang seperti ini. Rupanya bagi Yesus, kekuatan jahat hanya dapat dikalahkan dengan kuasa damai dari hati yang bersyukur. Kuasa inilah yang membuat "iblis jatuh seperti kilat dari langit."
Berpikir tentang semua 'kekurangan' yang ada, membuat kita hanya mampu sampai pada niat dan bukan pada tindakan. Dan karena terbiasa khawatir dengan bekal yang kurang, kita jadi senang melemparkan ketidakberesan pada orang lain atau keadaan sekitar. Kita biasa mengukur kekurangan hal-hal di luar diri kita, lantas lupa dengan kelimpahan yang sudah kita terima, yang sudah ada dalam diri kita sendiri dan seharusnya dibagikan! Misi kita sarat dengan tuntutan. Rencana kita kebanyakan syarat. Kita mau terlibat aktif asalkan orang menghargai kehadiran kita. Kita mau melayani asalkan jangan banyak dikritik. Kita mau menjalankan tugas pengutusan asalkan bukan di daerah pelosok. Kita mau ke gereja asalkan Tuhan mengabulkan doa kita. Alangkah banyak 'bekal' duniawi yang mau kita pertahankan!
Gambaran dalam Kitab Yesaya (Bacaan I) tentang Tuhan Allah yang melimpahkan berkat dan keselamatan seperti ibu yang menyusui anaknya sangat berkaitan dengan Injil. Kita juga menerima begitu banyak berkat melalui Bunda Gereja, dengan komuni kudus yang kita terima dalam Ekaristi, kelahiran kembali, semangat hidup, pengampunan, cinta, dan kesatuan relasi yang kita terima melalui sakramen-sakramen, adalah berkat rohani melimpah yang sungguh menggirangkan hati. Kita ini sungguh amat dimanja oleh Tuhan setiap hari, sehingga tidak masuk akal kalau kita masih juga merasa kekurangan dengan semua itu.
'Ransel' kita ialah semua hal yang paling kita perlukan dalam hidup, dan itu sudah diberikan Tuhan setiap hari. Ia selalu menjawab doa kita ketika kita mohon diberi rezeki yang cukup setiap hari. Ketika mengutus kita untuk mendahului-Nya ke tempat-tempat dan pelayanan yang baru, Yesus hanya mengharapkan supaya kita memiliki hati yang penuh syukur. Dengan hati yang seperti itu, niscaya kita tidak akan banyak menuntut lagi atau menimpakan 'kekurangan' pada orang dan lingkungan tempat kita diutus.
Mungkin kita perlu hati-hati dengan alasan yang sering kita pakai, yakni bahwa kita merasa 'tidak siap'. Kita tidak sendirian. Yesus juga mengutus orang lain, mungkin dengan 'bekal' yang berbeda lagi dari-Nya, supaya menemukan kita dan berbagi dengan kita. Itu sebabnya Ia mengutus kita "berdua-dua", supaya kita belajar menemukan penyelenggaraan Tuhan melalui orang lain yang mungkin juga baru kita kenal dalam perjalanan. Lain kali, kalau kita masih merasa 'tidak siap', pergi saja. Kita sudah diberi 'bekal' begitu banyak.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar