Sabtu, 29 Juni 2013

Iman Tanpa Kekerasan

Minggu Biasa XIII (C)
1Raj 19:16b.19-21, Gal 5:1.13-18, Luk 9:51-62
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

'Pak Ogah' pernah menjadi sebutan bagi orang yang mengatur kendaraan di jalan tapi dengan minta imbalan uang. Semula sosok ini muncul dalam drama boneka di televisi, yang mau membantu asal diberi 'cepek' (uang seratusan rupiah) dulu. Tapi 'Pak Ogah' di jalanan kini semakin menakutkan. Ia menjadi gambaran orang-orang jalanan yang memakai segala cara untuk mendapatkan uang. Ada yang berpura-pura mabuk dan sengaja menabrakkan diri ke mobil. Ia akan memeras pengemudi itu untuk uang 'ganti rugi' karena telah menabraknya. Yang lain meminta-minta di jendela mobil dan kalau ditolak malah mengancam dan menempelkan benda tajam di kaca jendela. Yang lain lagi mengamen dengan 'memaksa', tidak mau pergi dan bahkan melotot sampai akhirnya orang memberikan uang.

Apa itu semua? Kekerasan. Dan kekerasan tidak selalu bersifat fisik, tapi dapat berupa ancaman, intimidasi, kata-kata dan sikap menyerang atau menjatuhkan, sengaja membuat orang tidak betah, dan yang mungkin paling samar ialah semua sikap yang bertujuan membuat orang lain tidak bahagia. Semua 'kekerasan' ini terjadi di sekitar kita, dan kadang-kadang membuat kita seperti tak punya pilihan lain kecuali terpaksa menelannya. Kekerasan bisa muncul dalam keadaan terjepit, merasa terancam, tidak percaya diri, dan gengsi terlalu tinggi. Ketika kekerasan semacam itu masuk dalam kehidupan iman, kita harus waspada karena mungkin kita sendiri sudah membenarkannya.

Injil yang kita dengar hari ini sangat dinamis, menunjukkan perjalanan dan aktivitas yang silih berganti. Semuanya itu dimulai sejak Yesus "mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem". Ia mengirim utusan untuk mendahului Dia, masuk ke desa orang Samaria, pergi ke desa lain, melanjutkan perjalanan, dan berdialog dengan orang-orang yang ingin mengikut Dia ke manapun Ia pergi. Di sepanjang perjalanan yang padat itu, banyak reaksi bermunculan. Reaksi yang mengejutkan muncul dari Yakobus dan Yohanes saat menghadapi penolakan orang Samaria, "Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?"

Namun Yesus dengan tegas berpaling dan 'menegur' mereka. Lukas memakai kata 'epitimao' (Yun. 'menghardik dengan tajam'), yang biasa dipakai untuk  menghardik setan! (Luk 4:35, 8:33). Yakobus dan Yohanes membayangkan Elia yang pernah memanggil api dari langit untuk menghancurkan pasukan dari Samaria (2Raj 1:12). Mereka mengira bahwa api itu bisa diturunkan atas orang Samaria lagi, yang kali ini menolak Yesus karena tujuan-Nya adalah ke Yerusalem. Tetapi Yesus bukan Elia! Dan misi-Nya bukanlah soal hukuman, tetapi bela rasa dan belas kasih. Yesus menegur murid-murid-Nya sebab Ia takkan memakai cara kekerasan, tetapi belas kasih dan pengampunan, dan cara itu akan lebih berhasil, juga terhadap orang Samaria!

Mungkin kita bertanya-tanya, bagaimana mungkin kekerasan bisa masuk dalam kehidupan iman? Bisa. Ketika berdoa, kita bisa tergoda untuk mengharapkan sesuatu yang tidak baik terjadi atas diri orang lain. Kita bisa mengatasnamakan 'maksud baik' untuk mengubah orang lain agar sesuai  kemauan kita. Kita bisa memakai kesalehan dan pelayanan terhadap orang tertentu, mulut manis dan wajah yang nampak ramah, untuk menekan, memojokkan, dan menghukum orang lain. Beberapa tindakan kita mungkin sengaja dilakukan dan ditunjukkan untuk 'menurunkan api' terhadap orang-orang tertentu. Bukankah intensi tersembunyi seperti ini adalah kekerasan yang ditegur Yesus dengan tajam? Bagi Yesus, kekerasan adalah perbuatan iblis, sekalipun itu tersembunyi di balik hal-hal yang nampaknya baik!

Paulus, dalam bacaan II, dengan sangat lugas mengingatkan orang-orang Galatia yang merasa sudah dibebaskan dari kuk perhambaan karena iman. Ia memperingatkan, jangan sampai kemerdekaan itu dipakai untuk berbuat dosa, menggigit, menelan, dan membinasakan. Ia mengajak orang meninggalkan keinginan 'daging' (nafsu, emosi, hukuman), dan hidup menurut Roh Kristus yang membuat kita mampu mengasihi kendati ditolak dan diperlakukan tidak adil. Dalam bacaan I, Elisa 'meninggalkan' segalanya untuk mengikuti Elia. Ia menunjukkan kesungguhan untuk hidup dengan cara yang sama sekali baru.

Dan Yesus lebih dari Elia. Mereka yang mau mengikut Yesus dituntut punya komitmen lebih sungguh-sungguh lagi. Mereka akan meninggalkan tempat-tempat nyaman ("untuk meletakkan kepala") dan melepaskan 'masa lalu' ("menguburkan orang mati", "pamit pada relasi"), agar dapat mengarahkan pandangan pada Kerajaan Allah. Masa lalu dan rasa nyaman hanya menumbuhkan intensi-intensi negatif, yang diwarnai kekerasan, dalam kehidupan iman kita ('kedagingan', menurut Paulus). Beriman tidak mungkin dengan kekerasan. Jangan sampai kita sepertinya beriman tetapi begitu reaktif hanya karena suatu saat merasa tersinggung, kecewa, atau ditolak.

Injil hari ini menantang kita untuk mewujudkan iman kita tanpa kekerasan. Yesus tidak pernah mengubah orang dengan hukuman. Ia malah menghardik dengan keras nafsu reaktif 'kedagingan' kita. Sebab, kesungguhan iman kita terletak pada kasih yang tulus, tanpa maksud tersembunyi apapun terhadap orang lain.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar