Kamis, 17 April 2014

Basuhlah Kakiku, Tuhan



Date: Thu, 17 Apr 2014 12:24:14
Kamis Putih (A)
Kel 12:1-8.11-14, 1Kor 11:23-26, Yoh 13:1-15
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Benarkah kaki itu bagian tubuh yang paling jauh dari hati? Kaki memang adalah bagian yang selalu berada di bawah, paling rendah, sering bersentuhan dengan tanah dan lantai. Itu sebabnya kita mengalasinya. Kaki bisa kasar dan kotor, maka kita perlu membersihkan dan merawatnya. Tanpa sadar, kaki kita semakin menjadi bagian diri yang personal dan sensitif. Kita ingin membersihkan dan merawatnya sendiri. Kita merasa 'risih' atau bahkan meloncat kaget bila ada yang memegang kaki kita. Entah bagaimana membahasakannya, tapi ada sesuatu yang sangat penting di kaki yang berkaitan dengan diri kita.

Sesuatu itu adalah 'kehendak'. Pada kaki kita terletak seluruh keputusan kita untuk bergerak, menuju ke tempat-tempat yang akan menjadi saksi tindakan kita. Sebetulnya, kaki kita adalah 'saksi' itu sendiri. Ke manapun kita pergi, apapun yang kita lakukan secara sembunyi-sembunyi, siapapun yang kita temui dan kita ajak berbicara, 'disaksikan' oleh kaki kita. Kaki kita harus bekerja sama dengan niat yang muncul dari hati. Tanpa kerja samanya, niat itu takkan pernah terlaksana. Jadi, betapa dekat kaki kita dengan hati. Itu sebabnya, 'tidak semua' mau dan senang kakinya dicuci oleh orang lain. Sebab, mungkin orang lain jadi tahu segala yang kotor dan pernah kita lakukan.

Injil hari ini bukan pertama-tama soal 'menonton' sebuah pertunjukan ketika Yesus membasuh kaki para murid-Nya. Yesus memang sedang mengajar mereka, tetapi kali ini tidak dengan kata-kata saja. Tindakan Yesus itu akan membekas lama di hati murid-murid, sebab yang diperlihatkan-Nya ialah "kasih yang sampai pada kesudahannya". Kasih-Nya justru tidak ditunjukkan dengan pelukan atau ciuman di pipi. Kasih-Nya menyentuh bagian yang sangat sensitif dalam diri mereka: kaki. Mengapa? Sebab, di situlah kehendak mereka akan dicobai dalam peristiwa salib. Di situlah mereka memutuskan apakah akan tetap berjalan mengikuti Yesus seperti selama ini mereka lakukan atau tidak.

Tindakan Yesus karenanya adalah sebuah undangan dan tawaran agar mereka 'mengizinkan' kaki mereka dibasuh oleh-Nya. Tentu saja, mereka bisa bereaksi dan menolak, seperti yang diungkapkan oleh Petrus, "Tuhan, Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya!" Apa yang ditakutkan oleh Petrus? Atau, apa yang dikhawatirkan oleh murid-murid lain yang diam-diam setuju
dengan kata-kata Petrus itu? Ketakutan itu muncul, sebab Yesus sendiri mau melakukannya. Mereka bukan sekedar segan karena Sang Guru merendahkan diri begitu rupa, tetapi merasa 'kena' di hati karena Yesus sesungguhnya sudah tahu bahwa mereka akan jatuh dalam kesalahan. Bahkan, di antara mereka yang dibasuh kakinya oleh Yesus, ada yang akan mengkhianati-Nya. "Tidak semua
kamu bersih," kata Yesus.

Berkali-kali kita menemukan dalam hidup bersama, selalu ada orang yang tidak senang ditegur, tidak suka dikritik, tidak mau dibantu untuk menjadi lebih dewasa. Kelihatan bahwa kita ditolong oleh orang lain itu membuat kita merasa lemah. Kita seakan-akan jadi seperti anak kecil karena masih harus dibantu oleh orang lain. Padahal, justru iman seorang anak adalah gambaran Yesus tentang yang terbesar dalam Kerajaan Surga (Mat 18:4). Kenyataan bahwa kita begitu sulit untuk rendah hati, bahkan untuk ditolong, membuat kita mesti bertanya: apa yang kita takutkan? Apakah kita tidak mau menjadi lebih baik? Tugas pelayanan dan pikiran kita (Petrus: "tangan dan kepalaku") mungkin sudah 'bersih' di mata orang lain, tapi kehendak ('kaki') kita masih belum rela untuk diarahkan pada kehendak Tuhan semata.

Kitab Keluaran (Bacaan I) memberi latar belakang perjamuan Kamis Putih yang kita rayakan ini. "Beginilah kamu memakannya: pinggangmu berikat, kasut pada kakimu dan tongkat di tanganmu". Dengan kata lain, bersiaplah untuk mengikuti Musa keluar dari penindasan ini menuju Tanah Terjanji. Gunakan kakimu! Bersama pemazmur kita pun teringat, "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku" (Mzm 119:105). Kalau berjalan dan mengikuti sungguh firman-Nya, kita tidak akan binasa. "Apabila Aku melihat darah anak domba itu, Aku akan lewat daripadamu" (Kel 12:13). Suasana perjamuan Israel adalah saat yang penuh kerelaan untuk dibimbing Tuhan. Keselamatan mengandaikan ketaatan, dan ketaatan meminta kerelaan kita. Kita harus berjalan, bukan ke tempat yang kita mau, tetapi yang Tuhan mau.

Sebelum mengasihi begitu intim dengan cara Yesus, kita diajak terbuka pada kasih-Nya yang menyentuh kehendak kita yang paling tersembunyi. Diperlukan kerelaan yang luar biasa dari hati kita untuk mau dibasuh oleh Yesus, supaya 'kaki' kita bersih dan siap untuk melangkah. Dibutuhkan keberanian untuk mengalahkan gengsi dan belajar menyesuaikan kehendak kita dengan jalan Tuhan. Selama kita terus menolak untuk ditegur, dibantu, dan diperbaiki oleh orang lain, pelayanan kita hanya menjadi sandungan bagi saudara-saudara seiman.

Jika ingin merenungkan lebih lanjut keputusan kita mengikuti Yesus, inilah saat yang baik untuk 'mengizinkan'-Nya membasuh kaki kita. Biarkan Yesus mengenali, melihat sendiri, dan mengampuni hal-hal kotor yang mungkin pernah kita injak di sepanjang jalan. Ia hanya mau membantu kita, menyiapkan hati dan kehendak kita untuk melangkah di jalan salib paling terjal sekalipun dalam hidup ini.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar