Date: Sat, 12 Apr 2014 10:54:50
Minggu Palma (A)
Mat 21:1-11, Yes 50:4-7, Flp 2:6-11, Mat 27:11-54
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Ketika berada di jalan dan melihat beberapa orang
tiba-tiba berbalik arah, kita
segera bertanya-tanya, “Ada apa di depan sana?” Kekhawatiran itu bisa muncul, meskipun kita sama sekali tidak
punya ide tentang apa yang
terjadi. Orang bisa tiba-tiba berbalik arah
karena melihat sesuatu yang mengancam atau membahayakan, kemacetan yang nampaknya tidak memberi harapan,
atau sekedar melihat ada polisi yang
memberhentikan para pengendara. Yang pertama itu naluriah untuk menyelamatkan diri, yang kedua
pesimistis atau mungkin oportunistis, dan
yang ketiga itu takut bertanggung jawab. Yang terakhir ini paling problematik karena berhubungan dengan
kesalahan.
Bisa jadi sebagian dari perjalanan kita dimulai
dengan semangat ‘coba-coba’. Kalau
ada kekurangan atau ketidaklengkapan yang kita sudah tahu, kita dalam hati berharap mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa di jalan. Begitulah kita
biasanya berjalan saja dengan kesadaran
bahwa kekurangan yang kita ‘ketahui’ itu tidak akan menjadi persoalan nanti. Akan tetapi, reaksi
spontan kita manakala ‘masalah’ benar-benar
terjadi ialah menghindar, berbalik arah, dan lari. Ini pun bahkan dilakukan oleh mereka yang
nampaknya gagah berani. Ada yang mengatakan,
“hidup itu sudah susah, jadi hindarilah masalah.” Sayangnya, kata-kata ini dipakai hanya untuk menutupi rasa takut menanggung konsekuensi kesalahan kita
sendiri. Kita takut bertanggung jawab.
Perjalanan Yesus dari arah Bukit Zaitun ke
Yerusalem (Mat 21) adalah perjalanan
yang dilukiskan sangat simbolik oleh Matius. Prosesi perjalanan Yesus mengendarai seekor keledai dari sebelah Timur Yerusalem ini persis berlawanan dengan
prosesi dari arah Barat (Kekaisaran
Romawi) pada setiap tahun menjelang Paskah Yahudi. Pemerintah Romawi dengan kuda-kuda, panji-panji megah dan
tentara yang luar biasa berbaris
unjuk kekuatan untuk menekan pemberontakan orang Yahudi. Sebaliknya, Yesus ditampilkan sebagai sosok ‘raja’ yang
“lemah lembut dan mengendarai
seekor keledai beban yang muda.” Sebuah sindiran
yang benar-benar mengena pada masa itu. Bunyi tambur serdadu Roma ditanggapi seruan ‘Hosana’ dan
daun palma.
Bukit Zaitun adalah tempat yang penuh kenangan.
Orang Israel tahu bahwa itulah
tempat Allah “menjejakkan kaki-Nya” ketika mulai melawan bangsa-bangsa yang memerangi Yerusalem (Za 14:4). Oleh
karenanya, dengan memulai
perjalanan dari sana, Yesus benar-benar bertindak sebagai ‘nabi’ (Mat 21:11) yang dengan berani melawan kuasa
jahat dunia, tetapi dengan
mengandalkan kuasa Allah yang lemah lembut.
Gambaran ‘nabi’ yang berani ini dikaitkan dengan nubuat Zakharia (9:9) tentang raja yang tidak sama dengan
bayangan dunia. Kesalahpahaman sosok
raja inilah yang berlarut-larut mewarnai kisah sengsara yang kita dengar hari ini (Mat 26-27).
Sebuah kata kalau diucapkan biasanya membuat orang
gerah dan marah. Kata itu adalah
‘pengecut’. Kita tidak pernah senang mendengar kata-kata itu diucapkan kepada kita. Akan tetapi, pada awal
Pekan Suci ini marilah kita
renungkan saja untuk diri sendiri, bukan untuk menilai orang lain. Bagaimana kalau kita jujur, bahwa kita
selama ini menyembunyikan sikap
pengecut itu rapat-rapat? Kita berusaha tegar, bertampang sangar, berkata-kata kasar, menatap orang dengan
kejam dan mengadili, tetapi jauh
di lubuk hati, kita adalah orang-orang yang
ketakutan. Kita takut menanggung kesalahan yang pernah atau masih juga kita lakukan. Kita pernah berdosa, tapi
terlalu gengsi untuk mengakuinya
dan membantu menyembuhkan luka serta kerusakan yang jelas terjadi dalam diri orang lain. Sekali
lagi, ini adalah permenungan untuk
kita sendiri. Kita sepertinya gagah berani, tapi dalam hati yang paling tersembunyi, kita adalah
pengecut.
Sungguh mengharukan lukisan ‘Hamba Yahwe’ yang kita
dengar dari Kitab Yesaya (Bacaan
I) hari ini. “Aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul
aku. Aku tidak menyembunyikan
mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” Kita
sungguh terharu mendengarnya, tapi apakah kita
berani membayangkan diri kita
sendiri pada posisinya? Mungkin kita ingat bahwa akibat dari kesalahan kita tidak hilang begitu saja
dalam diri orang lain. Dosa selalu
‘membekas’ bukan hanya pada hati kita, tapi lebih-lebih dalam diri orang lain. Kita tidak akan mampu
menyembuhkannya, selain Tuhan sendiri.
Kita bisa mendukung dengan cara menerima konsekuensi, menerima ‘pukulan’, melakukan apa saja untuk memperbaiki
kerusakan yang sudah kita
sebabkan.
Keberanian Yesus menghadapi kuasa jahat dunia
seharusnya sudah menginspirasi
kita untuk ‘tidak berpaling’, tidak berbalik arah sekedar mau menghindari konsekuensi setiap kesalahan kita. Ini
sangat berbeda dengan reaksi yang
emosional, menutupi tanggung jawab pribadi
dengan marah, tersinggung, atau menyerang orang lain. Keberanian iman justru ada pada kerelaan untuk
menghadapi setiap orang dan kesulitan dengan
rendah hati dan lemah lembut.
Pesan Injil hari ini bukanlah soal kerasnya suara kita
berteriak ‘Hosana’, tetapi soal
kehadiran dan tanggung jawab kita menghadapi tuntutan iman sebagai murid-murid Kristus. Jangan menghindar
lagi. Iman kita yang hidup mesti
berani menyongsong salib.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar