Sabtu, 05 Agustus 2017

PERUBAHAN YANG MENGAGUMKAN

Pesta Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya (A)
Dan 7:9-10.13-14, 2Ptr 1:16-19, Mat 17:1-9
Oleh  : Pst. H. Tedjoworo

Kapankah terakhir kali kita memandang kagum kepada seseorang? Memandang dengan tersembunyi, tidak tahu mengapa, sampai kita merasa malu sendiri karena begitu terpesona? Pengalaman seperti ini sangat personal, pasti tidak akan kita ceritakan ke siapapun. Tetapi, bukan hanya keindahan yang memesona kita, melainkan juga kesedihan, sikap, penderitaan, dan belas kasihan seseorang. Ketika itu dialami seseorang yang kita kasihi atau kagumi, kita tak dapat menahan diri untuk memandang, hanyut dalam suasana mistik dan hening. Saat penderitaan dijalani seseorang dengan iman, dan kita tak tahu harus berbuat apa, kita akan terpesona. Kita bukan lagi penonton, melainkan bagian dari pengalaman dia. Kita ‘ada’ di sana, bersama seseorang.

Mungkin gambaran itu sedikit menjelaskan mengapa beberapa peristiwa dalam hidup kita hanya dapat kita kenang tanpa sungguh-sungguh kita pahami. Peristiwa-peristiwa itu terjadi, menyadarkan dan mengubah diri kita secara perlahan-lahan. Kita ‘belajar’ sesuatu, tapi masih juga tidak tahu apakah itu. Sebuah perjuangan hidup dari seseorang yang kita kasihi pasti mengubah diri kita. Dan ketika direnungkan dalam iman, semuanya ini kita syukuri. Kehidupan dan penderitaan orang lain menyingkapkan siapakah Allah yang kita imani setiap hari.

Matius menggambarkan Petrus dalam Injilnya lebih positif dibandingkan dalam Injil Markus. Sebelum kisah yang kita dengar hari ini, Matius mengisahkan bagaimana Yesus mempercayakan kunci Kerajaan Surga kepada Petrus. Petrus, Yakobus, dan Yohanes dipilih oleh Yesus untuk mengalami seberkas kemuliaan-Nya di gunung yang tinggi. Mereka dipercaya untuk memandang perubahan rupa Yesus, yakni ketika wajah-Nya bercahaya seperti matahari, dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang. Ungkapan Petrus – “Betapa bahagianya kami berada di tempat ini...” – adalah juga ungkapan spontan kita apabila diperkenankan mengalami kejadian yang sama.

Suara yang terdengar setelahnya – “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia” – adalah pewahyuan diri Allah dalam perubahan rupa Yesus. Matius merangkum  pewahyuan itu dalam kata-kata Yesus saat turun dari gunung, yakni bahwa semua ini hanya dipahami ketika “Anak Manusia dibangkitkan dari antara orang mati”. Kebangkitan menjadi bermakna karena pengalaman kematian. Kata-kata Yesus itu memberi cara pandang berbeda terhadap peristiwa kemuliaan-Nya. Perubahan, kekaguman, dan Salib tak terpisahkan. Kebangkitan adalah ‘perubahan’ yang mengagumkan, dan itu terjadi melalui segala peristiwa, yang membahagiakan maupun menyedihkan.

Di sekitar kita, hanya segelintir orang yang sungguh-sungguh berubah, terbukti dari ungkapan yang sering kita dengar: “Ah, dia memang seperti itu”. Artinya, kebanyakan sifat orang adalah sama saja, dari dulu sampai sekarang. Pesimisme satu terhadap yang lain menjadi keseharian. Hampir semua orang sulit atau tidak mau berubah. Orang bahkan tidak senang ketika dipuji, misalnya, karena tutur katanya sekarang lebih lembut dan tenang. Aneh, tapi sungguh-sungguh terjadi.

Perubahan ke sesuatu yang baik malah disesali, dan karena gengsinya, orang kembali lagi ke wataknya yang lama. Banyak sifat buruk kita seakan-akan terus kita pertahankan, juga ketika melihat sendiri bahwa orang-orang terdekat kita mengalami akibatnya. Seharusnya kesulitan dan penderitaan mereka yang kita kasihi dan yang tinggal setiap hari dengan kita itu mampu menyadarkan kita. Kebangkitan sesungguhnya ditawarkan kepada kita setiap saat, dengan begitu dekatnya! Persoalannya sering kali ialah kita tidak mau memandangnya dan juga tidak diubah olehnya.

Kesaksian Petrus dalam suratnya (Bacaan II) mengisahkan secara pribadi perubahan hidup yang dialaminya. Suara Allah Bapa ketika Yesus menampakkan kemuliaan-Nya menghadirkan kuasa sekaligus kasih-Nya yang mempengaruhi diri Petrus. Petrus merasa “makin diteguhkan”, dan karenanya meminta supaya kita belajar ‘memperhatikan’ firman dan pewahyuan yang seperti “bintang bersinar dalam hati” itu. Kalau begitu, pewahyuan diri Allah bukan pertama-tama untuk memperlihatkan kemuliaan-Nya, melainkan agar manusia dikuatkan untuk tetap berjalan di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing. Setiap kali mengalami kehadiran Tuhan, kita selalu ditawari rahmat untuk menjadi orang beriman yang lebih baik.

Pesta Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya mengingatkan kita pada kesempatan dan rahmat Tuhan yang begitu sering diberikan kepada kita. Perjumpaan dengan seseorang, kepekaan terhadap pengalaman orang-orang yang tinggal bersama kita, serta kekaguman kita saat memandang mereka ‘adalah’ kesempatan itu. Apakah saat-saat yang memesona itu mengubah diri kita? Sebab, Yesus memperlihatkan siapa diri-Nya melalui setiap perjumpaan itu, dan Ia mengharapkan perubahan dalam diri kita. Kita tidak diundang sebagai penonton, tapi sebagai yang hadir dan dipengaruhi oleh pewahyuan diri-Nya.

Semoga kita tidak berhenti dalam sikap terpesona, tapi sadar akan apa yang harus terjadi dalam hidup kita, akan apa yang harus berubah dalam diri kita.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar