Minggu Paska III (C)
Kis 5:27b-32.40b-41, Why 5:11-14, Yoh 21:1-19
Oleh Pst. H. Tedjoworo, OSC
Kelakuan anak kecil tidak selalu lucu dan
menyenangkan. Justru karena 'masih'
anak-anak, mereka masih bertumbuh, masih mencari dan membentuk siapa diri mereka, masih jauh untuk sampai
pada kematangan diri. Kelakuan itu menjadi
analogi bagi orang dewasa yang belum matang, dengan menyebut mereka kekanak-kanakan. Anak-anak, kalau
sedang 'ngambek', reaksinya luar biasa, dan
pasti bukan hanya diam. Mereka bisa marah-marah dan mogok makan (mengancam orangtuanya), bisa menangis
meraung-raung tak peduli itu di depan banyak
orang dan merusak acara penting, bisa juga membuang dan melemparkan mainannya sampai melukai orang-orang di
dekatnya. Rupanya reaksi 'ngambek' itu
memang serba merusak barang dan keadaan, melukai, menyusahkan atau sangat mengganggu orang lain.
Orang Jawa punya istilah unik untuk keadaan jiwa
seperti ini: "mutung". Artinya
kurang lebih adalah kecewa luar biasa, jengkel dalam hati, dan merajuk. Orang yang mudah kecewa dan
merajuk disebut "mutungan". Dan
biasanya sulit membantu orang yang suka 'ngambek', terlebih karena yang dibutuhkan adalah kesadaran dalam
dirinya yang tidak bisa diajarkan orang lain,
kecuali melalui peristiwa tertentu yang dapat membuka imannya. Dalam hal ini, memang mengherankan,
pertumbuhan iman ternyata membantu orang untuk sampai pada kematangan pribadi. Memakai cara-cara manusiawi saja
tak cukup untuk menumbuhkan
kesadaran iman. Kita butuh campur tangan Tuhan.
"Malam itu mereka tidak menangkap
apa-apa..." Begitulah situasi para murid setelah Yesus tidak bersama-sama mereka lagi. Yohanes penulis
injil melukiskan keadaan pikiran
dan hati mereka yang masih bingung dan gelap itu dengan 'malam'. Dan 'malam' itu mereka pergi mencari pengertian
('ikan') tetapi tidak menangkap
apapun. Namun, pagi harinya, situasi berbeda. Yesus berdiri di pantai tetapi mereka tidak tahu bahwa itu Yesus. Ia
bertanya, "Adakah lauk
pauk?" Jawab mereka, "Tidak ada." Dan Ia berkata,
"Tebarkanlah jalamu di
sebelah kanan perahu..." Lalu mereka menebarkannya dan tak dapat menariknya lagi karena banyaknya ikan.
'Sebelah kanan' adalah bahasa Kitab Suci yang
merujuk pada 'tangan kanan'. Tangan
kanan Allah adalah tanda kuasa Allah (Yes 62:8). Permintaan Yesus
untuk menebarkan jala di sebelah kanan perahu adalah cara untuk
mengatakan bahwa kehidupan itu
diciptakan, ditopang, dan dibuat berlimpah hanya oleh kuasa Allah semata! Namun, para murid memang tidak gampang
disadarkan. Lagi pula, mereka
masih juga kurang berani dan lamban untuk mengerti. Ini bukan yang pertama kali Yesus hadir dan tidak
segera dikenali. Itu sebabnya Yesus harus
bertanya tiga kali kepada Petrus. Dua pertanyaan soal cinta tak bersyarat ('agape') dijawab Petrus
dengan cinta antarsaudara ('phileis'). Padahal
Yesus berusaha supaya Petrus itu bisa sampai pada taraf cinta dan iman yang tak bersyarat. Untunglah
akhirnya Petrus bisa mengerti lebih dalam
daripada sekedar 'tahu' ('oida'), "Tuhan, Engkau tahu ('ginosko')
bahwa aku mengasihi Engkau."
Ada banyak peristiwa dan kebersamaan dengan orang
lain yang selama ini sungguh sulit
kita jalani, apalagi setelah tahu betapa mengecewakan orang-orang
yang sebenarnya kita percayai. Beberapa kejadian sangat melukai hati kita, tapi juga memperlihatkan
reaksi kita. Bukankah semua itu suatu ujian
yang baik? Bukankah kekecewaan bisa memancing reaksi yang kekanak-kanakan, atau sebaliknya,
kesadaran iman yang lebih matang? Kita tidak
bisa kecewa terus menerus. Tidak mungkin seumur hidup kita dihabiskan untuk merusak, menyusahkan, dan
mengganggu orang lain. Umur kita terus bertambah,
dan iman kita pun harus bertumbuh. Tiap hari, tiap peristiwa, adalah kesempatan untuk makin dewasa.
Dalam hal iman: mencintai seperti Yesus!
Dalam Kisah Para Rasul (bacaan I), serangan dan
tekanan Imam Besar dari Mahkamah
Agama tidak menyurutkan keberanian Petrus dan para rasul. Mereka tetap
mengajar banyak orang dalam nama Yesus Kristus dan karenanya ditangkap dan disesah, namun hal itu justru
menjadi alasan bagi mereka untuk bergembira.
Mereka bersukacita karena telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena nama Yesus. Mereka kini sungguh mengerti
bahwa mengasihi Yesus berarti rela
kehilangan nyawa demi Sang Sahabat. Kedewasaan iman adalah kesediaan untuk mengalahkan kekecewaan pribadi dan
keberanian 'membalas' dengan
hal-hal yang baik setiap tekanan negatif yang dihadapi!
Apakah pelayanan rohani, keterlibatan kita di
lingkungan gereja, dan kebersamaan
kita di masyarakat diwarnai sikap iman yang dewasa ini? Iman Paskah itu bukanlah iman yang mudah
kecewa, mudah 'ngambek'. Iman ini mengandaikan
keberanian untuk memutuskan mulai sekarang mau seperti Yesus mencintai 'tanpa syarat' (sebab
syarat-syarat yang tak terpenuhi itulah yang membuat kita 'mutung'). Mari kita juga berhati-hati, sebab orang
yang 'ngambek' biasanya tidak mau
ditegur dan disadarkan. Kalau itu adalah diri kita sendiri, perlu kerelaan untuk menebarkan jala di
"sebelah kanan". Semoga
Tuhan mengubah reaksi-reaksi buruk kita menjadi semangat hidup, dukungan yang simpatik, dan kelegaan
bagi orang lain.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar