Sabtu, 13 April 2013

Iman Paskah, Bukan Iman Ngambekan



Minggu Paska III (C)
Kis 5:27b-32.40b-41, Why 5:11-14, Yoh 21:1-19
Oleh Pst. H. Tedjoworo, OSC
 
Kelakuan anak kecil tidak selalu lucu dan menyenangkan. Justru karena 'masih' anak-anak, mereka masih bertumbuh, masih mencari dan membentuk siapa diri mereka, masih jauh untuk sampai pada kematangan diri. Kelakuan itu menjadi analogi bagi orang dewasa yang belum matang, dengan menyebut mereka kekanak-kanakan. Anak-anak, kalau sedang 'ngambek', reaksinya luar biasa, dan pasti bukan hanya diam. Mereka bisa marah-marah dan mogok makan (mengancam orangtuanya), bisa menangis meraung-raung tak peduli itu di depan banyak orang dan merusak acara penting, bisa juga membuang dan melemparkan mainannya sampai melukai orang-orang di dekatnya. Rupanya reaksi 'ngambek' itu memang serba merusak barang dan keadaan, melukai, menyusahkan atau sangat mengganggu orang lain.

Orang Jawa punya istilah unik untuk keadaan jiwa seperti ini: "mutung". Artinya kurang lebih adalah kecewa luar biasa, jengkel dalam hati, dan merajuk. Orang yang mudah kecewa dan merajuk disebut "mutungan". Dan biasanya sulit membantu orang yang suka 'ngambek', terlebih karena yang dibutuhkan adalah kesadaran dalam dirinya yang tidak bisa diajarkan orang lain, kecuali melalui peristiwa tertentu yang dapat membuka imannya. Dalam hal ini, memang mengherankan, pertumbuhan iman ternyata membantu orang untuk sampai pada kematangan pribadi. Memakai cara-cara manusiawi saja tak cukup untuk menumbuhkan kesadaran iman. Kita butuh campur tangan Tuhan.

"Malam itu mereka tidak menangkap apa-apa..." Begitulah situasi para murid setelah Yesus tidak bersama-sama mereka lagi. Yohanes penulis injil melukiskan keadaan pikiran dan hati mereka yang masih bingung dan gelap itu dengan 'malam'. Dan 'malam' itu mereka pergi mencari pengertian ('ikan') tetapi tidak menangkap apapun. Namun, pagi harinya, situasi berbeda. Yesus berdiri di pantai tetapi mereka tidak tahu bahwa itu Yesus. Ia bertanya, "Adakah lauk pauk?" Jawab mereka, "Tidak ada." Dan Ia berkata, "Tebarkanlah jalamu di sebelah kanan perahu..." Lalu mereka menebarkannya dan tak dapat menariknya lagi karena banyaknya ikan.

'Sebelah kanan' adalah bahasa Kitab Suci yang merujuk pada 'tangan kanan'. Tangan kanan Allah adalah tanda kuasa Allah (Yes 62:8). Permintaan Yesus  untuk menebarkan jala di sebelah kanan perahu adalah cara untuk mengatakan bahwa kehidupan itu diciptakan, ditopang, dan dibuat berlimpah hanya oleh kuasa Allah semata! Namun, para murid memang tidak gampang disadarkan. Lagi pula, mereka masih juga kurang berani dan lamban untuk mengerti. Ini bukan yang pertama kali Yesus hadir dan tidak segera dikenali. Itu sebabnya Yesus harus bertanya tiga kali kepada Petrus. Dua pertanyaan soal cinta tak bersyarat ('agape') dijawab Petrus dengan cinta antarsaudara ('phileis'). Padahal Yesus berusaha supaya Petrus itu bisa sampai pada taraf cinta dan iman yang tak bersyarat. Untunglah akhirnya Petrus bisa mengerti lebih dalam daripada sekedar 'tahu' ('oida'), "Tuhan, Engkau tahu ('ginosko') bahwa aku mengasihi Engkau."

Ada banyak peristiwa dan kebersamaan dengan orang lain yang selama ini sungguh sulit kita jalani, apalagi setelah tahu betapa mengecewakan  orang-orang yang sebenarnya kita percayai. Beberapa kejadian sangat melukai hati kita, tapi juga memperlihatkan reaksi kita. Bukankah semua itu suatu ujian yang baik? Bukankah kekecewaan bisa memancing reaksi yang kekanak-kanakan, atau sebaliknya, kesadaran iman yang lebih matang? Kita tidak bisa kecewa terus menerus. Tidak mungkin seumur hidup kita dihabiskan untuk merusak, menyusahkan, dan mengganggu orang lain. Umur kita terus bertambah, dan iman kita pun harus bertumbuh. Tiap hari, tiap peristiwa, adalah kesempatan untuk makin dewasa. Dalam hal iman: mencintai seperti  Yesus!

Dalam Kisah Para Rasul (bacaan I), serangan dan tekanan Imam Besar dari Mahkamah Agama tidak menyurutkan keberanian Petrus dan para rasul. Mereka  tetap mengajar banyak orang dalam nama Yesus Kristus dan karenanya ditangkap dan disesah, namun hal itu justru menjadi alasan bagi mereka untuk bergembira. Mereka bersukacita karena telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena nama Yesus. Mereka kini sungguh mengerti bahwa mengasihi Yesus berarti rela kehilangan nyawa demi Sang Sahabat. Kedewasaan iman adalah kesediaan untuk mengalahkan kekecewaan pribadi dan keberanian 'membalas' dengan hal-hal yang baik setiap tekanan negatif yang dihadapi!

Apakah pelayanan rohani, keterlibatan kita di lingkungan gereja, dan kebersamaan kita di masyarakat diwarnai sikap iman yang dewasa ini? Iman Paskah itu bukanlah iman yang mudah kecewa, mudah 'ngambek'. Iman ini mengandaikan keberanian untuk memutuskan mulai sekarang mau seperti Yesus mencintai 'tanpa syarat' (sebab syarat-syarat yang tak terpenuhi itulah yang membuat kita 'mutung'). Mari kita juga berhati-hati, sebab orang yang 'ngambek' biasanya tidak mau ditegur dan disadarkan. Kalau itu adalah diri kita sendiri, perlu kerelaan untuk menebarkan jala di "sebelah kanan". Semoga Tuhan mengubah reaksi-reaksi buruk kita menjadi semangat hidup, dukungan yang simpatik, dan kelegaan bagi orang lain.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar