Minggu Biasa XXII (C)
Sir 3:17-18.20.28-29, Ibr 12:18-19.22-24a, Luk 14:1.7-14
Oleh : Pst. H.Tedjoworo, OSC
Posisi yang enak di mana-mana diperebutkan. Di
dalam pesawat terbang, misalnya,
ada beberapa tempat duduk yang disebut 'hot seats', karena di situ ruang kaki lebih luas dan lebih mudah
untuk keluar masuk. Posisi tempat duduk
seperti itu harganya lebih mahal, tentu saja. Sementara itu, orang cenderung suka 'menandai' tempat-tempat duduk
tertentu, dan hampir selalu duduk
di tempat yang sama. Meskipun tidak bayar, entah mengapa ia tetap merasa berhak atas tempat itu dan akan
tidak suka kalau tempat itu diduduki orang
lain. Ia merasa lebih dahulu menemukannya, lantas menganggap bahwa orang lain kurang kreatif karena hanya
ikut-ikutan.
Akan tetapi, adalah hal yang berbeda jika
konteksnya bukan tempat duduk melainkan
'posisi' dalam pelayanan atau kepengurusan di gereja. Hampir tidak pernah terjadi orang menawarkan diri
untuk menempati posisi sebagai pengurus atau
pelayan. Dan sebabnya ialah, dalam kehidupan gerejani menjadi pemimpin berarti menjadi pelayan. Semakin
'tinggi' posisinya, semakin tidak enak, biasanya.
Maka, di sini orang berlomba-lomba sebaliknya, yakni menghindari posisi-posisi yang membawa tanggung
jawab besar. Apalagi, tidak ada 'upah' untuk
posisi ini, kecuali bahwa Tuhan akan menyebut mereka 'berbahagia'.
Situasi di latar belakang Injil yang kita dengar
hari ini cukup menegangkan. Yesus
datang ke rumah orang 'Farisi' untuk 'makan' di situ pada 'hari Sabat'? Gambaran ini segera memunculkan
hawa pertentangan, apalagi di bagian sebelumnya
Yesus bersitegang dengan orang-orang Farisi soal perilaku mereka menyangkut hukum Yahudi. Itu sebabnya
dikatakan bahwa "semua yang hadir mengamat-amati
Yesus dengan seksama". Persis di dalam situasi ini, di tengah orang-orang Farisi itu, Yesus
mengkritik peran mereka dalam hal kepemimpinan rohani melalui sebuah 'perumpamaan'.
Benarkah yang kita dengar itu perumpamaan?
Nampaknya bukan. Yesus mengungkapkan
pedoman praktis menyangkut situasi sosial di masyarakat. Jangan menganggap diri penting lalu duduk di depan, sebab kita
mungkin diminta pindah karena ada
yang lebih berhak duduk di sana. Jadi, duduklah di belakang, dan mungkin kita akan diminta untuk maju ke depan.
Kalau hanya sekilas didengar,
kata-kata Yesus itu seperti membenarkan kerendahan hati yang tidak tulus, seakan-akan 'supaya' nanti ditawari posisi
yang lebih baik. Tetapi, bagian
sesudahnya mengoreksi dugaan ini. Ia meminta supaya kalau mengadakan perjamuan, kita mengundang orang miskin dan
cacat, karena mereka tidak akan
dapat membalasnya. Yesus sesungguhnya bicara mengenai panggilan menjadi pelayan bagi orang lain-bahkan, pelayan yang
tidak diberi upah! Posisi 'di
belakang' adalah posisi seorang pelayan. Posisi ini, bagi-Nya, akan membawa berkat dan kebahagiaan.
Di sekitar kita, kerendahan hati sering mau
dipalsukan. Di televisi bertebaran
iklan-iklan partai politik yang mengusung nama-nama calon pemimpin, tetapi ditampilkan dengan
tidak wajar. Mereka ditampilkan seolah-olah
dekat dan peduli pada masyarakat yang miskin. Di bagian lain mereka digambarkan sebagai sosok yang
hidupnya sederhana dan merakyat, padahal
semua orang tahu betapa palsunya iklan itu. Dalam lingkungan gereja sendiri orang masih terus bergulat dengan
ambisi dan kepentingan pribadi yang
sangat mewarnai motivasi pelayanan. Kita jarang bertemu orang yang mau melayani demi melayani, memberi karena
mau memberi, dan setia bertugas meski tak
pernah dipuji. Bukankah 'posisi yang enak' atau 'balasan' dalam bahasa Yesus masih dicari-cari dan lebih
menentukan kesetiaan kita melayani?
Kitab Sirakh (bacaan I) menyuarakan nasihat yang
bijaksana soal kerendahan hati.
Orang yang rendah hati akan disayangi manusia dan diberkati Tuhan. Sebaliknya, orang yang sombong akan
makin sulit disembuhkan bahkan dengan sebuah
kemalangan sekalipun. Bagi penulis kitab ini, kerendahan hati sesungguhnya tidak mungkin dipalsukan,
karena berakar di lubuk hati seseorang.
Semua orang akan segera tahu jika ada yang bersikap rendah hati namun tidak tulus. Jadi, tiap kali
tergoda untuk memakai topeng yang bukan diri
sendiri, kita diingatkan secara sangat sederhana, agar kembali pada 'siapa' kita apa adanya. Kita pun akan
disayangi manusia dan diberkati Tuhan.
Dari sudut pandang tertentu, ajaran Yesus hari ini
menyentuh bagian dari diri kita
yang paling sensitif. Kita tahu bahwa menjadi pengikut-Nya berarti siap untuk melayani dan bukan dilayani,
tetapi kenyataannya kita sering menghindari
tugas melayani yang tanpa upah itu. Kita mudah tersinggung dalam pelayanan kita, apalagi kalau merasa
dipermalukan, misalnya, ketika diminta untuk
"pindah ke tempat duduk di belakang". Salah satu ukuran ketulusan
saat melayani ialah kebesaran hati
seorang pelayan yang tahu diri, yang rela
dipindah.
Ternyata rasa malu dalam iman juga diperlukan.
Kesadaran ini diperlukan supaya
dalam situasi yang sulit dan tidak ideal, kita masih dapat mengambil keputusan yang sesuai kehendak Yesus.
Dalam segala hal, kita pantas disebut murid-murid
Yesus kalau setiap kali memilih posisi seorang pelayan, posisi yang membuat kita bisa melayani dengan
rendah hati. Jadilah seorang pelayan yang
berbahagia dengan tugasnya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar