Sabtu, 31 Agustus 2013

Posisi Yang Baik Untuk Melayani



Minggu Biasa XXII (C)
Sir 3:17-18.20.28-29, Ibr 12:18-19.22-24a, Luk 14:1.7-14
Oleh : Pst. H.Tedjoworo, OSC

Posisi yang enak di mana-mana diperebutkan. Di dalam pesawat terbang, misalnya, ada beberapa tempat duduk yang disebut 'hot seats', karena di situ ruang kaki lebih luas dan lebih mudah untuk keluar masuk. Posisi tempat duduk seperti itu harganya lebih mahal, tentu saja. Sementara itu, orang cenderung suka 'menandai' tempat-tempat duduk tertentu, dan hampir selalu duduk di tempat yang sama. Meskipun tidak bayar, entah mengapa ia tetap merasa berhak atas tempat itu dan akan tidak suka kalau tempat itu diduduki orang lain. Ia merasa lebih dahulu menemukannya, lantas menganggap bahwa orang lain kurang kreatif karena hanya ikut-ikutan.

Akan tetapi, adalah hal yang berbeda jika konteksnya bukan tempat duduk melainkan 'posisi' dalam pelayanan atau kepengurusan di gereja. Hampir tidak pernah terjadi orang menawarkan diri untuk menempati posisi sebagai pengurus atau pelayan. Dan sebabnya ialah, dalam kehidupan gerejani menjadi pemimpin berarti menjadi pelayan. Semakin 'tinggi' posisinya, semakin tidak enak, biasanya. Maka, di sini orang berlomba-lomba sebaliknya, yakni menghindari posisi-posisi yang membawa tanggung jawab besar. Apalagi, tidak ada 'upah' untuk posisi ini, kecuali bahwa Tuhan akan menyebut mereka 'berbahagia'.

Situasi di latar belakang Injil yang kita dengar hari ini cukup menegangkan. Yesus datang ke rumah orang 'Farisi' untuk 'makan' di situ pada 'hari Sabat'? Gambaran ini segera memunculkan hawa pertentangan, apalagi di bagian sebelumnya Yesus bersitegang dengan orang-orang Farisi soal perilaku mereka menyangkut hukum Yahudi. Itu sebabnya dikatakan bahwa "semua yang hadir mengamat-amati Yesus dengan seksama". Persis di dalam situasi ini, di tengah orang-orang Farisi itu, Yesus mengkritik peran mereka dalam hal kepemimpinan rohani melalui sebuah 'perumpamaan'.

Benarkah yang kita dengar itu perumpamaan? Nampaknya bukan. Yesus mengungkapkan pedoman praktis menyangkut situasi sosial di masyarakat. Jangan menganggap diri penting lalu duduk di depan, sebab kita mungkin diminta pindah karena ada yang lebih berhak duduk di sana. Jadi, duduklah di belakang, dan mungkin kita akan diminta untuk maju ke depan. Kalau hanya sekilas didengar, kata-kata Yesus itu seperti membenarkan kerendahan hati yang tidak tulus, seakan-akan 'supaya' nanti ditawari posisi yang lebih baik. Tetapi, bagian sesudahnya mengoreksi dugaan ini. Ia meminta supaya kalau mengadakan perjamuan, kita mengundang orang miskin dan cacat, karena mereka tidak akan dapat membalasnya. Yesus sesungguhnya bicara mengenai panggilan menjadi pelayan bagi orang lain-bahkan, pelayan yang tidak diberi upah! Posisi 'di belakang' adalah posisi seorang pelayan. Posisi ini, bagi-Nya, akan membawa berkat dan kebahagiaan.

Di sekitar kita, kerendahan hati sering mau dipalsukan. Di televisi bertebaran iklan-iklan partai politik yang mengusung nama-nama calon pemimpin, tetapi ditampilkan dengan tidak wajar. Mereka ditampilkan seolah-olah dekat dan peduli pada masyarakat yang miskin. Di bagian lain mereka digambarkan sebagai sosok yang hidupnya sederhana dan merakyat, padahal semua orang tahu betapa palsunya iklan itu. Dalam lingkungan gereja sendiri orang masih terus bergulat dengan ambisi dan kepentingan pribadi yang sangat mewarnai motivasi pelayanan. Kita jarang bertemu orang yang mau melayani demi melayani, memberi karena mau memberi, dan setia bertugas meski tak pernah dipuji. Bukankah 'posisi yang enak' atau 'balasan' dalam bahasa Yesus masih dicari-cari dan lebih menentukan kesetiaan kita melayani?

Kitab Sirakh (bacaan I) menyuarakan nasihat yang bijaksana soal kerendahan hati. Orang yang rendah hati akan disayangi manusia dan diberkati Tuhan. Sebaliknya, orang yang sombong akan makin sulit disembuhkan bahkan dengan sebuah kemalangan sekalipun. Bagi penulis kitab ini, kerendahan hati sesungguhnya tidak mungkin dipalsukan, karena berakar di lubuk hati seseorang. Semua orang akan segera tahu jika ada yang bersikap rendah hati namun tidak tulus. Jadi, tiap kali tergoda untuk memakai topeng yang bukan diri sendiri, kita diingatkan secara sangat sederhana, agar kembali pada 'siapa' kita apa adanya. Kita pun akan disayangi manusia dan diberkati Tuhan.

Dari sudut pandang tertentu, ajaran Yesus hari ini menyentuh bagian dari diri kita yang paling sensitif. Kita tahu bahwa menjadi pengikut-Nya berarti siap untuk melayani dan bukan dilayani, tetapi kenyataannya kita sering menghindari tugas melayani yang tanpa upah itu. Kita mudah tersinggung dalam pelayanan kita, apalagi kalau merasa dipermalukan, misalnya, ketika diminta untuk "pindah ke tempat duduk di belakang". Salah satu ukuran ketulusan saat melayani ialah kebesaran hati seorang pelayan yang tahu diri, yang rela dipindah.

Ternyata rasa malu dalam iman juga diperlukan. Kesadaran ini diperlukan supaya dalam situasi yang sulit dan tidak ideal, kita masih dapat mengambil keputusan yang sesuai kehendak Yesus. Dalam segala hal, kita pantas disebut murid-murid Yesus kalau setiap kali memilih posisi seorang pelayan, posisi yang membuat kita bisa melayani dengan rendah hati. Jadilah seorang pelayan yang berbahagia dengan tugasnya.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar