Minggu Biasa XXIII (C)
Keb 9:13-18, Flm 1:9-10.12-17,
Luk 14:25-33
oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Kalau apa yang kita makan harus sesuai dengan 'kekhasan' daerah masing-masing, mungkin kita akan mengeluh dan bahkan jatuh sakit. Bayangkan, orang Jogja harus makan gudeg, orang Bandung harus makan peuyeum, orang Brebes harus makan telor asin, dan orang Jakarta harus makan karak telor, setiap hari! Kebanggaan pada budaya dan identitas daerah memang tidak bisa diterjemahkan secara naif seperti itu. Sikap membela kekhasan diri dan kelompok pun bisa berujung pada sikap fundamentalistis yang bisa membawa pertentangan yang sulit didamaikan lagi. Sebagian orang masih beranggapan bahwa kehormatan keluarga, adat istiadat setempat, dan suku harus dibela mati-matian. Inilah sumber perpecahan dan permusuhan.
Carl Schurz, barangkali lebih terkenal karena kata-katanya yang berbunyi, "My country, right or wrong; if right, to be kept right; and if wrong, to be set right" ("Negaraku, benar atau salah; kalau benar, untuk dijaga tetap benar; jika salah, untuk diperbaiki"). Kata-kata ini sudah sering ditafsirkan keliru, seakan-akan untuk membela secara buta negara sendiri. Benar atau salah, negaraku harus dibela. Padahal, kesalahan seharusnya diluruskan, bukan sekedar dibela. Dalam banyak kesempatan, kita bisa keliru membela orang-orang yang seharusnya kita perbaiki karena melakukan hal yang salah. Dan mungkin kita bisa keliru ketika membela keluarga kita sendiri, kelompok, suku, bahkan orang-orang terdekat dan pasangan hidup kita sendiri.
Ajaran Yesus dalam Injil hari ini yang paling mengejutkan ada pada kata-kata 'membenci' (Yun. 'miseo'), apalagi kata ini ditujukan pada bapa, ibu, pasangan, anak-anak, saudara perempuan dan laki-laki, bahkan nyawa seseorang sendiri. Ajaran Yesus ini pasti sempat meresahkan para murid pada waktu itu, dan membuat mereka bertanya-tanya, bagaimana mungkin Yesus mengajak untuk 'membenci' keluarga sendiri? Lukas bukan hanya sekali ini membahasakan ajaran Yesus yang sepertinya 'anti-keluarga' (antara lain juga 8:19-21, 9:59-62, dan 12:51-53). Perpecahan dalam keluarga tak terhindari di zaman itu. Dalam surat-surat kuno yang masih selamat, beberapa keluarga di Roma mengeluh karena anaknya minggat dari rumah dan bergabung dengan sebuah kelompok yang disebut "Kristen".
Dalam budaya kita, kata 'membenci' dijejali dengan emosi. Kebencian bisa sangat dalam dan terungkap dengan rasa jijik terhadap yang lain. Namun, dalam kultur Yesus waktu itu 'membenci' diri sendiri berarti melepaskan diri dari segala hal yang selama ini menentukan identitasnya. 'Membenci' yang dimaksud Yesus adalah melepaskan diri dari sikap membela mati-matian apapun yang dianggap 'segala-galanya' dalam hidup seseorang. Yesus mengingatkan bahwa orang cenderung membenarkan keluarga sendiri, fanatik pada adat dan agamanya, serta merasionalisasi kepentingan diri, lebih daripada Tuhan sendiri!
Di zaman kita, fanatisme terlalu sering dikaitkan dengan identitas. Padahal, dalam kehidupan iman, sikap fanatik itu sangat berbahaya. Sikap itu membuat kita menempatkan sesuatu yang kita bela habis-habisan di atas kehendak Tuhan. Seseorang bisa emosional dan menyerang orang lain yang sebetulnya hanya mau menegur pasangannya karena melakukan kesalahan. Para pelayan di gereja bisa saling bersaing dan menjatuhkan hanya karena mau membuktikan bahwa pelayannya lebih baik daripada yang lain. Dalam hal itu, kehendak Tuhan yang berkenan akan tindakan kasih lebih dari sekedar 'kurban bakaran' tidak dipedulikan orang lagi. Kesalahan anggota keluarga dan keinginan pribadi dianggap lebih pantas dibela daripada ajaran Kristus.
Kitab Kebijaksanaan Salomo (bacaan I) mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan setiap pertimbangan manusiawi kita. Kehendak Tuhan kadang-kadang sangat berbeda dengan apa yang sudah kita pikirkan masak-masak sekalipun. "Pikiran segala makhluk yang fana adalah hina, dan pertimbangan kami ini tidak tetap." Namun, kita bisa 'mendekati' apa yang dikehendaki Tuhan jika memohon kebijaksanaan-Nya dan mengikuti Roh Kudus-Nya. Setiap pertimbangan dan keputusan yang tepat dalam iman sesungguhnya ialah "melepaskan diri dari segala milik" yang menentukan diri kita selama ini, dan mengikuti jalan dan kehendak Roh Tuhan.
Tiga hal diminta Yesus agar kita utamakan, yakni melepaskan diri dari apa yang selama ini kita anggap segala-galanya, memikul salib kita masing-masing, dan melepaskan diri dari segala yang ingin kita miliki sendiri. Tiga hal ini adalah syarat agar kita "dapat menjadi murid-Nya". Dalam praktik, kita diajak untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri khususnya bila masih punya kecenderungan untuk membela secara buta adat, keluarga, atau orang-orang terdekat kita, bila masih suka menghindari salib kita daripada memikulnya, dan bila masih lekat pada apa yang mau kita miliki untuk diri sendiri.
Dalam kehidupan iman, seharusnya hanya Yesus yang menentukan 'siapa' kita ini. Menjadi murid Kristus berarti tidak lagi ditentukan, apalagi ditindas, oleh adat, 'kekhasan', dan kebanggaan sektarian yang sering terlalu emosional. Iman kita pada Kristus mestinya membawa perubahan dalam pertimbangan dan keputusan hidup kita. Prioritas kita berubah.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar