Sabtu, 21 September 2013

Apakah Kita Pelayan yang Bisa Dipercaya?



Minggu Biasa XXV (C)
Amos 8:4-7, 1Tim 2:1-8, Luk 16:1-13
Oleh: Pst.H. Tedjoworo, OSC

'Zorro' (Sp. 'serigala') adalah tokoh fiksi yang muncul sejak 1919, menggambarkan karakter seorang bangsawan yang berjuang demi rakyat kecil. Bangsawan itu, Don Diego de la Vega, berani melawan orang kaya dan pemerintah di balik topeng dan jubah hitam, dan kalau perlu mengambil kekayaan mereka untuk dibagikan kepada orang-orang miskin. Pemerintah sudah begitu korup dan orang-orang kaya terlalu rakus sehingga tak mungkin lagi rakyat kecil mendapat keadilan. 'Zorro' adalah karakter kriminal yang dipakai untuk menyembunyikan identitasnya yang sejati, sebab dengan penampilan itu Diego bisa melawan ketidakadilan dan penindasan di sekitarnya.

Meskipun sudah diadaptasi ke dalam lebih dari empat puluh film, tokoh 'Zorro' tidak selalu membuat para orangtua mengizinkan anak-anaknya menonton. Tidak sedikit orangtua yang khawatir bahwa anak-anak akan mengidolakan seorang 'kriminal' yang tindakannya menentang hukum. Dan anak-anak masih akan bereaksi bahwa hukum itu sudah korup sehingga harus dilawan dengan berani. Sampai di sini makin sulit mengajarkan prinsip yang benar soal keadilan. Iman juga mesti memperjuangkan keadilan, tapi makin hari kita ditantang untuk memperjuangkannya dengan benar, apalagi ketika di sekitar kita orang cenderung membenarkan segala cara. Keadilan bagi siapa dulu?

Harus diakui bahwa Injil yang hari ini kita dengar memicu banyak pertanyaan. Apakah Yesus memuji bendahara 'yang tidak benar' (Yun. 'adikia') itu? Benarkah kita boleh bersahabat dengan Mamon 'yang tidak benar' dalam hal iman? Apa maksud Yesus kita mesti setia dalam hal Mamon 'yang tidak benar'? Mari kita perhatikan bahwa bendahara ini melakukan semua itu setelah ia "tidak boleh lagi bekerja sebagai bendahara". Jadi, apa yang dilakukan itu sebenarnya tidak mendatangkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Ia tetap dipecat. Kalau begitu, ia melakukan itu semua sebenarnya demi keuntungan  orang-orang yang berhutang kepada tuannya. Siapakah mereka itu?

Mereka adalah orang-orang miskin yang terpaksa berhutang kepada seorang yang kaya, mungkin seorang tuan tanah, supaya bisa hidup. Dengan dikurangi hutangnya, mereka pasti sangat bersyukur karena bebannya menjadi lebih ringan. Demikian sang tuan pun beruntung, sebab di mata banyak orang yang berhutang itu ia kini dikenal sebagai orang yang murah hati. Akibatnya, tuan itu mungkin tidak jadi memecat bendaharanya karena justru telah membuat namanya harum. Yesus menunjukkan bahwa Mamon bukanlah segala-galanya dalam hidup. Yesus tidak memuji ketidakjujuran, tetapi Ia memuji 'kepercayaan' bendahara itu pada kemurahan hati tuannya, yang tidak akan keberatan hartanya dipakai untuk kepentingan orang miskin.

Sudah sering 'kepercayaan' menjadi isu yang sensitif di sekitar kita. Sebetulnya kepercayaan sulit diberikan karena soal penggunaannya: untuk kepentingan siapa? Masalah kita ketika tidak dipercaya orang ialah pada keinginan untuk memperkaya diri sendiri, mencari keuntungan pribadi. Mungkin ada yang pernah minta tolong pada kita untuk menyalurkan bantuan kepada orang miskin, tapi 'di tengah jalan' sebagian bantuan itu masuk ke kantong kita sendiri, atau sudah kita pilah supaya yang bagus kita pakai sendiri. Nah, dalam hal itu ketidakjujuran kita memperkeruh ketidakadilan. Sebenarnya banyak orang berada yang mau mengusahakan keadilan, tapi sayang kemurahan hatinya malah dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu.

Kitab Amos (Bacaan I) dengan tegas menegur orang-orang yang tindakannya sudah keterlaluan, sampai-sampai "menginjak-injak orang miskin dan membinasakan orang sengsara". Tindakan ini sungguh jahat di mata Tuhan, karena membinasakan orang yang sudah miskin dan susah. Kejahatan terhadap orang miskin dalam pandangan Tuhan tidak terampuni karena Tuhan sendiri berdiri di pihak mereka. Ia "tidak akan melupakan" kejahatan terhadap orang miskin, meskipun itu hanya menyangkut kecurangan atas gandum, sepasang kasut, dan terigu rosokan. Apa yang nampaknya kecil di mata kita, menjadi masalah besar bagi Tuhan karena maksud kita yang jahat.

Untuk apakah selama ini Mamon duniawi kita pergunakan? Mungkin masih ada  orang yang menggunakannya untuk kesenangan pribadi, atau bahkan sekedar untuk mendapatkan teman-teman yang bisa diajak berkomplot dalam kejahatan. Kalau mau jujur, kita sering menghabiskan uang dan milik kita untuk hal-hal yang tidak berguna atau bahkan untuk mempengaruhi, mengikat, dan menguasai beberapa orang. Kita tahu bahwa selalu ada orang yang dirugikan karena maksud jahat kita, meskipun kita berdalih sebagus apapun. Kita mungkin lupa bahwa harta kita sebetulnya adalah milik Tuhan. Ia ingin murah hati, namun perlu kerja sama kita untuk membagikannya.

Ketika menyadari bahwa kehebatan dan kekayaan dunia sebenarnya milik Tuhan, kita menjadi 'sama' di hadapan-Nya. Yang dibutuhkan tinggal kualitas diri kita: apakah kita pelayan yang bisa dipercaya? Kalau ya, kita tak perlu topeng dan jubah hitam untuk melayani, mulai dengan perkara-perkara kecil. Jangan memanfaatkan orang-orang kecil (yang imannya kecil). Manfaatkanlah Mamon untuk kepentingan mereka, sebab hanya satu yang kita abdi, yaitu Allah saja.

 Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar