Am 6:1a.4-7, 1Tim 6:11-16, Luk 16:19-31
oleh : Pst. H. Tedjoworo,OSC
Satu keluarga makan bersama di restoran. Si Kakak yang bertubuh kurus terus memperhatikan adiknya yang berbadan tambun. Sejak mereka duduk di situ, Si Adik tak henti-hentinya mengambil makanan yang tiap kali disajikan sebagian oleh para pelayan. Wajah sang kakak memerah karena malu melihat adiknya melahap makanan seperti tak pernah kenyang, bahkan nampaknya makanan itu tidak dirasakan lagi, hanya dikunyah sebentar langsung ditelan. Akhirnya Si Kakak tak tahan lagi, menjauhkan makanan dari adiknya dan menegur, "Stop! Engkau tidak akan makan apa-apa lagi karena terlalu rakus. Engkau bahkan tidak menikmati apa yang kau makan."
Satu keluarga makan bersama di restoran. Si Kakak yang bertubuh kurus terus memperhatikan adiknya yang berbadan tambun. Sejak mereka duduk di situ, Si Adik tak henti-hentinya mengambil makanan yang tiap kali disajikan sebagian oleh para pelayan. Wajah sang kakak memerah karena malu melihat adiknya melahap makanan seperti tak pernah kenyang, bahkan nampaknya makanan itu tidak dirasakan lagi, hanya dikunyah sebentar langsung ditelan. Akhirnya Si Kakak tak tahan lagi, menjauhkan makanan dari adiknya dan menegur, "Stop! Engkau tidak akan makan apa-apa lagi karena terlalu rakus. Engkau bahkan tidak menikmati apa yang kau makan."
Benar, ketika sudah berlebihan dalam mengonsumsi makanan, orang tidak akan mampu lagi 'merasakan'-nya. Yang ada hanya keinginan untuk mengambil makanan dan melahapnya terus. Sementara orang berpendapat bahwa ada makanan yang sangat mengundang selera sehingga mereka tak bisa berhenti memakannya. Apakah yang salah itu makanan, karena 'enak', dan membuat kita tak bisa berhenti melahapnya? Tentu saja bukan. Kitalah yang membiarkan diri dalam setiap keenakan. Dan apapun yang kita nikmati terlalu banyak akan menutupi ketidakadilan yang pasti sudah terjadi di depan mata. Kalau posisi sudah terlalu enak, kita hampir pasti tak peduli orang lain lagi.
Perumpamaan Yesus hari ini bukan sekedar soal makan enak, melainkan soal ketidakadilan hidup yang sudah keterlaluan antara 'seorang kaya' dan 'Lazarus', seorang pengemis. Ironis bahwa orang kaya itu tak bernama, sedangkan Lazarus disebut dengan namanya (dari kata Ibr. 'el'azar, "Allah menolong"). Orang kaya itu berpakaian jubah ungu dan kain halus, sedangkan Lazarus 'berpakaian' borok di sekujur badannya. Orang kaya itu setiap hari hidup dalam kemewahan, sedangkan Lazarus "dilemparkan ke bawah" (Yun. 'ebebleto') dekat pintu rumah orang kaya itu. Yesus pasti melihat ketidakadilan yang begitu menyedihkan sehingga menceritakan perumpamaan seperti ini!
Akan tetapi, yang terjadi sesudah
keduanya mati sungguh mengejutkan. Yesus tidak sekedar memberi tahu apa yang
akan terjadi setelah kematian, tetapi memperlihatkan bahwa keadilan Allah pasti
terwujud dalam Kerajaan-Nya. Dan ternyata, keadilan Allah pun tidak dapat
diubah oleh 'orang kaya' itu, meski dengan minta dikasihani, memohon setetes air
untuk meringankan kesakitannya, maupun dengan 'maksud baik' untuk menyadarkan
kelima saudaranya yang masih hidup di dunia. Keadilan dalam Kerajaan Allah itu
mutlak, dan kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk memperbaiki
keadaan. Sebenarnya 'orang kaya' itu pun tidak berubah, karena menganggap
Lazarus tidak sama dengan dirinya sehingga bisa 'disuruh-suruh' untuk
mencelupkan jari ke dalam air serta mengingatkan kelima saudaranya.
Kenikmatan memang membuat orang bebal. Dan kenikmatan itu di sekitar kita bukan hanya makanan, tetapi semua keadaan yang 'enak' dan 'mewah', yang serba berlebihan dan membuat kita tidak bisa berhenti. Kenikmatan dalam bentuk apapun (barang-barang mahal, kemudahan dan fasilitas karena status, pujian dan kepuasan dari kolusi yang tidak sehat, seks dan obat terlarang) akan selalu membuat kita ketagihan, ingin terus mengalami karena kita tidak bisa 'kenyang'. Sebenarnya banyak 'lazarus' yang dilemparkan ke pintu rumah kita untuk menyadarkan kita supaya jangan berlebihan, tapi kita sudah sulit diingatkan karena tidak merasakan lagi apa yang kita kunyah.
Teguran atas mereka yang terlalu menikmati kenyamanan kita dengar juga dari Kitab Amos (Bacaan I). Mereka yang "merasa aman, berbaring di tempat tidur dan duduk berjuntai di ranjang" tidak mampu melihat penderitaan yang dialami begitu riil oleh saudara mereka sendiri. "Kehancuran Yusuf" yang dikatakan Amos mengingatkan pada peristiwa saudara-saudara Yusuf, anak-anak Yakub, yang masih bisa menyantap makanan mereka, padahal tak jauh dari situ Yusuf telah mereka lemparkan ke dalam sumur. Iri hati dan kebencian jalin menjalin dengan kebebalan di dalam kenikmatan. Teguran Amos sangat menusuk hati mereka yang bertahan dalam kesenangan padahal menyaksikan, bahkan menyebabkan, penderitaan saudaranya sendiri!
Mungkinkah kita masih memakai alasan 'orang lain menderita karena salahnya sendiri' untuk hidup dalam kenikmatan? Kalau demikian, kita tidak menyadari atau tidak mau mengakui bahwa kita pun menyebabkan kesusahan orang lain, yang seringkali berarti orang-orang yang kita kenal dengan namanya itu ('Lazarus'). Mungkin kita termasuk 'orang kaya' yang tak bernama, anonim, karena mau bersembunyi di antara banyak orang, yang 'pokoknya' mau menikmati saja kesenangan hidup yang dikira sudah menjadi haknya.
Seharusnya perumpamaan Yesus tentang
keadilan Allah yang mutlak, tak dapat diubah, dalam Kerajaan-Nya itu membuat
kita lebih sadar, lebih rendah hati, serta menahan diri dalam hal kesenangan
dan kenikmatan. Kalau sekarang kita masih selamat, itu adalah kesempatan yang
sangat murah hati dari Tuhan supaya kita memperbaiki keadaan, ketidakadilan,
dan penderitaan orang lain yang juga kita sebabkan itu. Semoga kita tidak
terlambat untuk mengubah keadaan itu.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar