Sabtu, 05 Oktober 2013

Tuhan Tidak Akan Menambah Iman Kita



Minggu Biasa XXVII (C)
Hab 1:2-3,2:2-4, 2Tim 1:6-8.13-14, Luk 17:5-10
Oleh : Pst. Tedjoworo, OSC

Tidak ada berita yang lebih memalukan akhir-akhir ini daripada tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi karena menerima suap sebesar 3 milyar rupiah. Kita menyebut itu adalah 'skandal' tingkat tinggi. Mahkamah Konstitusi berwenang memutuskan sengketa partai, lembaga negara, dan pemilu; keputusannya final dan tak dapat ditempuh langkah hukum apapun untuk mengubahnya! Luar biasa kewenangan itu, dan luar biasa juga penyalahgunaan yang bisa terjadi. Kita tahu bahwa mereka yang beperkara akan rela mengeluarkan uang berapapun supaya dimenangkan olehnya. Dan siapa yang berada di posisi setinggi Ketua MK masih bisa menolak uang begitu banyak?

Sebelum kita bicara tentang moralitas, mari kita pikirkan sumber yang paling dasar skandal ini. Benarkah sumber itu adalah soal 'pemberian' sebagai wujud terima kasih? Kalau ya, berarti skandal ini kita alami hampir setiap hari. Kita sering merasa berhak untuk mendapat 'balasan' dan ungkapan terima kasih dari orang lain. Sebagian besar orang berpikir, hadiah sebaiknya diterima! Itu demi kesopanan dan untuk mengakui kebaikan orang lain, katanya. Ini menjadi masalah ketika kita mengklaim balas budi dan pemberian itu mengingat apa yang sudah kita lakukan bagi orang lain itu. Kita pun akan mendapat masalah kalau hal ini kita terapkan dalam kehidupan iman, seolah-olah Tuhan sebaiknya memberikan rahmat karena kita sudah banyak berbuat baik.

Lukas dalam Injil hari ini dua kali menggunakan kata 'Tuhan'. Para rasul minta kepada Tuhan, "Tambahkanlah iman kami!" Mungkin kita mengira ini sesuatu yang wajar, padahal tidaklah demikian. Mereka minta kepada Tuhan supaya menambahkan iman kepada mereka. Artinya? Artinya, setelah mendengar pengajaran Yesus yang kena di hati, para rasul masih sulit menerimanya! Hati mereka masih berat untuk menyetujui dan melakukannya, sebab mereka pikir berbuat baik saja cukup untuk mendatangkan rahmat. Ternyata Yesus minta lebih. Persis di bagian sebelumnya Yesus meminta mereka untuk mengampuni tanpa batas meski orang lain berkali-kali bersalah dan bertobat.

Para rasul minta 'tambah', padahal mereka tidak membutuhkan lebih dari yang sudah dimiliki. Sebenarnya, mereka justru perlu mengurangi tuntutan mereka. Iman sebesar biji sesawi sudah cukup untuk memindahkan pohon ara! Dan iman itu bukan perkara kesuksesan yang makin besar, kesucian yang makin kelihatan, atau perbuatan baik yang makin dirasakan orang lain. Iman, adalah soal "melakukan saja apa yang harus kita lakukan" sebagai hamba-hamba yang tidak berguna. Mungkinkah di situ kita mulai mengerti, bahwa Tuhan sama sekali tidak perlu menambah iman kita? Tuhan tidak 'berhutang' apa-apa kepada kita hanya karena kita sudah berbuat baik dan rajin pergi ke gereja. Tuhan tidak perlu berterima kasih kepada kita!

Rupanya kita tanpa sadar sering memakai pola iman seperti itu terhadap Tuhan dan karenanya juga terhadap orang lain. Kita mau menerima segala pemberian, apa lagi dalam jumlah besar, dari siapapun, karena kita merasa sudah 'berjasa' terhadap mereka. Kita diam-diam membiarkan diri masuk ke wilayah abu-abu, yang nampaknya wajar tapi ujung-ujung keuntungan dan kenikmatan kita juga. Bukankah sudah sering kita mendengar orang mengharapkan 'hadiah' dengan cara mengingatkan bahwa dia berulang tahun, bahwa dia selalu setia mendoakan, bahwa dia pernah membantu kita dalam hal ini dan itu? Ada banyak cara untuk memancing orang memberikan ungkapan terima kasih kepada kita, seakan-akan kita itu perlu diberi balas jasa karena melakukan entah sesuatu yang tidak penting sekali.

Kitab Habakuk (Bacaan I) adalah rujukan yang paling tepat untuk merenungkan iman kita kepada Tuhan, khususnya ketika kita merasa bahwa Tuhan seakan-akan 'berlambat' di depan penindasan dan kejahatan. Tuhan meminta Habakuk menuliskan penglihatannya, tetapi lebih-lebih untuk belajar percaya bahwa Tuhan selalu bertindak tepat pada waktu-Nya! Manusia tidak berhak meminta supaya Tuhan segera bertindak. Manusia juga tidak perlu mempertanyakan pertolongan dan rahmat Tuhan. Tuhan sudah tahu apa yang akan dilakukan-Nya, dan sekali lagi, pada waktu-Nya. Kita diminta untuk dengan setia melakukan yang terbaik bisa kita lakukan saat ini, dan dengan sabar memberi tempat dan waktu kepada-Nya. Itulah iman.

Jadi, kalau kita belum mau menghayati iman seperti "hamba yang tak berguna" itu, jangan menimpakan tanggung jawab pada Tuhan atau orang lain. Jangan berpikir bahwa orang lain 'seharusnya' menolong saya, seharusnya ingat bahwa saya pernah berbuat baik kepadanya jadi ia pun mesti memberi ungkapan terima kasih yang pantas. Tentu saja, di saat hidup itu sulit kita akan mencari dan menyebut nama Tuhan. Kita selalu boleh minta supaya diberi kekuatan untuk menjalani kesulitan itu. Akan tetapi, kita tak perlu minta iman kita ditambah, sebab iman yang sudah ada ini, kecil sekalipun, sudah cukup!

Semoga kita tidak jatuh dalam skandal iman. Tuhan punya cara dan waktu sendiri untuk memberikan rahmat-Nya. Sesungguhnya iman tak bisa diukur hanya dengan perbuatan, dan Tuhan juga takkan menambah iman kita. Yang pasti, Ia selalu mendampingi kita untuk menjadi hamba-hamba yang setia. Setiakah kita?

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar