Minggu Biasa XXVII (C)
Hab 1:2-3,2:2-4, 2Tim 1:6-8.13-14, Luk 17:5-10
Oleh : Pst. Tedjoworo, OSC
Tidak ada berita yang lebih memalukan akhir-akhir
ini daripada tertangkapnya Ketua
Mahkamah Konstitusi karena menerima suap sebesar 3 milyar rupiah. Kita menyebut itu adalah 'skandal' tingkat
tinggi. Mahkamah Konstitusi berwenang memutuskan
sengketa partai, lembaga negara, dan pemilu; keputusannya final dan tak dapat ditempuh langkah hukum
apapun untuk mengubahnya! Luar biasa kewenangan itu, dan luar biasa juga penyalahgunaan
yang bisa terjadi. Kita tahu bahwa
mereka yang beperkara akan rela mengeluarkan uang berapapun supaya dimenangkan olehnya. Dan siapa
yang berada di posisi setinggi Ketua MK
masih bisa menolak uang begitu banyak?
Sebelum kita bicara tentang moralitas, mari kita
pikirkan sumber yang paling dasar
skandal ini. Benarkah sumber itu adalah soal 'pemberian' sebagai wujud terima kasih? Kalau ya, berarti skandal
ini kita alami hampir setiap hari. Kita
sering merasa berhak untuk mendapat 'balasan' dan ungkapan terima kasih dari orang lain. Sebagian besar orang
berpikir, hadiah sebaiknya diterima! Itu
demi kesopanan dan untuk mengakui kebaikan orang lain, katanya. Ini menjadi masalah ketika kita mengklaim
balas budi dan pemberian itu mengingat apa
yang sudah kita lakukan bagi orang lain itu. Kita pun akan mendapat masalah kalau hal ini kita terapkan
dalam kehidupan iman, seolah-olah Tuhan sebaiknya
memberikan rahmat karena kita sudah banyak berbuat baik.
Lukas dalam Injil hari ini dua kali menggunakan
kata 'Tuhan'. Para rasul minta
kepada Tuhan, "Tambahkanlah iman kami!" Mungkin kita mengira ini sesuatu yang wajar, padahal tidaklah
demikian. Mereka minta kepada Tuhan supaya
menambahkan iman kepada mereka. Artinya? Artinya, setelah mendengar pengajaran Yesus yang kena di hati,
para rasul masih sulit menerimanya! Hati mereka
masih berat untuk menyetujui dan melakukannya, sebab mereka pikir berbuat baik saja cukup untuk
mendatangkan rahmat. Ternyata Yesus minta
lebih. Persis di bagian sebelumnya Yesus meminta mereka untuk mengampuni tanpa batas meski orang lain
berkali-kali bersalah dan bertobat.
Para rasul minta 'tambah', padahal mereka tidak
membutuhkan lebih dari yang sudah
dimiliki. Sebenarnya, mereka justru perlu mengurangi tuntutan mereka. Iman sebesar biji sesawi sudah cukup
untuk memindahkan pohon ara! Dan iman itu
bukan perkara kesuksesan yang makin besar, kesucian yang makin kelihatan, atau perbuatan baik yang
makin dirasakan orang lain. Iman, adalah soal "melakukan saja apa yang harus kita
lakukan" sebagai hamba-hamba yang tidak
berguna. Mungkinkah di situ kita mulai mengerti, bahwa Tuhan sama sekali tidak perlu menambah iman kita? Tuhan
tidak 'berhutang' apa-apa kepada
kita hanya karena kita sudah berbuat baik dan rajin pergi ke gereja. Tuhan tidak perlu berterima kasih
kepada kita!
Rupanya kita tanpa sadar sering memakai pola iman
seperti itu terhadap Tuhan dan
karenanya juga terhadap orang lain. Kita mau menerima segala pemberian, apa lagi dalam jumlah besar, dari
siapapun, karena kita merasa sudah 'berjasa'
terhadap mereka. Kita diam-diam membiarkan diri masuk ke wilayah abu-abu, yang nampaknya wajar tapi
ujung-ujung keuntungan dan kenikmatan kita
juga. Bukankah sudah sering kita mendengar orang mengharapkan 'hadiah' dengan cara mengingatkan bahwa dia
berulang tahun, bahwa dia selalu setia mendoakan,
bahwa dia pernah membantu kita dalam hal ini dan itu? Ada banyak cara untuk memancing orang memberikan
ungkapan terima kasih kepada kita, seakan-akan
kita itu perlu diberi balas jasa karena melakukan entah sesuatu yang tidak penting sekali.
Kitab Habakuk (Bacaan I) adalah rujukan yang paling
tepat untuk merenungkan iman kita
kepada Tuhan, khususnya ketika kita merasa bahwa Tuhan seakan-akan 'berlambat' di depan penindasan dan
kejahatan. Tuhan meminta Habakuk menuliskan
penglihatannya, tetapi lebih-lebih untuk belajar percaya bahwa Tuhan selalu bertindak tepat pada
waktu-Nya! Manusia tidak berhak meminta supaya
Tuhan segera bertindak. Manusia juga tidak perlu mempertanyakan pertolongan dan rahmat Tuhan. Tuhan
sudah tahu apa yang akan dilakukan-Nya, dan
sekali lagi, pada waktu-Nya. Kita diminta untuk dengan setia melakukan yang terbaik bisa kita lakukan saat
ini, dan dengan sabar memberi tempat dan waktu
kepada-Nya. Itulah iman.
Jadi, kalau kita belum mau menghayati iman seperti
"hamba yang tak berguna" itu,
jangan menimpakan tanggung jawab pada Tuhan atau orang lain. Jangan berpikir bahwa orang lain 'seharusnya'
menolong saya, seharusnya ingat bahwa saya
pernah berbuat baik kepadanya jadi ia pun mesti memberi ungkapan terima kasih yang pantas. Tentu saja, di saat
hidup itu sulit kita akan mencari dan menyebut
nama Tuhan. Kita selalu boleh minta supaya diberi kekuatan untuk menjalani kesulitan itu. Akan tetapi,
kita tak perlu minta iman kita ditambah,
sebab iman yang sudah ada ini, kecil sekalipun, sudah cukup!
Semoga kita tidak jatuh dalam skandal iman. Tuhan
punya cara dan waktu sendiri untuk
memberikan rahmat-Nya. Sesungguhnya iman tak bisa diukur hanya dengan perbuatan, dan Tuhan juga takkan
menambah iman kita. Yang pasti, Ia selalu
mendampingi kita untuk menjadi hamba-hamba yang setia. Setiakah kita?
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar