Sabtu, 12 Oktober 2013

Diselamatkan, Bukan Sekesar Lolos



Minggu Biasa XXVIII (C) 
2Raj 5:14-17, 2Tim 2:8-13, Luk 17:11-19
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Temukanlah kejadian dan pengalaman hidup yang membuat kita berdebar-debar cemas. Kita akan menemukan banyak, dan bukan hanya satu atau dua. Begitu banyaknya pengalaman yang mendebarkan itu, sampai-sampai kita tidak ingat lagi apa yang kita lakukan setelahnya. Seperti kebanyakan orang, kita mungkin ketakutan pada saat mengalaminya, tetapi sesaat kemudian reaksi kita hanya berkata, “Aduh, untunglah, nyaris sekali celaka. Untung bisa selamat.” Benarkah itu hanya soal ‘beruntung’ karena lolos dari kecelakaan atau terhindar dari masalah besar? Kalau begitu hidup kita ini seolah-olah hanya perkara untung dan sial. Dan orang yang bersikap begitu hampir pasti tidak belajar apa-apa dari kejadian yang dialaminya.

Kita membaca berita-berita di koran bagaimana orang yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan pun bisa tersambar mobil yang remnya blong, atau yang mengendarai dengan aman dan benar pun bisa tiba-tiba ditabrak oleh kendaraan lain tanpa peringatan apapun. Artinya, kecelakaan bisa menimpa siapa saja yang sudah sangat taat pada peraturan sekalipun! Tentu saja kita tidak adil kalau mengatakan bahwa mereka yang menjadi korban itu dianggap ‘sial’ nasibnya. Bukankah kita sendiri tidak terima kalau dikatakan ‘sial’ oleh orang lain? Dalam hal iman, tidak satu pun pengalaman hidup yang tak membawa pesan dari  Tuhan. Namun sayang, kita sering hanya terpaku pada perasaan ‘lolos’ itu, dan belum sampai pada ungkapan syukur kepada Tuhan.

Bagian dari Injil Lukas yang kita dengar hari ini sangat unik dan simbolik. Tiga tempat disebutkan, yakni Yerusalem, Samaria, dan Galilea. Yerusalem adalah tujuan Yesus. Galilea adalah awal mula dari seluruh misi-Nya. Sekarang, ketika menuju ke Selatan, Yesus “menyusur perbatasan Samaria dan Galilea”. Kata yang dipakai Lukas ialah ‘dia meson’ (Yun. ‘di perbatasan’). Ia berada di perbatasan kebencian antara orang Yahudi dan Samaria. Orang Samaria dianggap ‘tidak murni’ karena menikah dengan orang Siria dan tidak ikut beribadah ke Yerusalem. Tetapi di kelompok mereka yang dikucilkan karena kusta, perbedaan itu hilang. Yang tinggal ialah rasa senasib sepenanggungan.

Kejutan yang kita dengar dari Injil Lukas bukanlah di bagian perasaan senasib ini. Kelompok orang-orang kusta itu memanggil Yesus dengan nama-Nya dan dengan sebutan yang dipakai juga oleh para murid, yakni ‘Guru’. Yesus menaruh belas kasihan pada mereka, dan meminta mereka untuk menunjukkan diri kepada imam-imam. Mereka belum sembuh ketika menerima perintah ini. Mereka baru sadar mulai sembuh ketika “di tengah jalan”, namun hanya satu orang yang “melihat bahwa ia telah sembuh”. Dan inilah kejutannya: “Orang itu adalah seorang Samaria.” ‘Melihat’ adalah bahasa Lukas tentang seseorang yang sungguh mengerti bahwa Allah hadir. Yesus pun terheran-heran bahwa tidak ada yang kembali untuk bersyukur selain ‘orang asing’ itu.

Karena kita jarang mengucapkan terima kasih untuk pemberian-pemberian yang ‘tidak kita lihat’, Tuhan pun menggunakan orang lain, dan bahkan orang asing, guna menyadarkan kita. Berapa kali kita sembuh dan selamat karena orang-orang yang tidak pernah kita kenal lebih jauh? Nampaknya kita terlalu mengandaikan bahwa kebaikan yang orang lain berikan sudah seharusnya dilakukannya karena kita anggap itu adalah tugasnya. Begitu juga kalau kita sembuh dari sakit, kita anggap itu memang ‘tugas’ Tuhan untuk menyembuhkan kita. Rasa terima kasih kita tak lebih dari kata-kata “Untunglah saya lolos dari penyakit itu.”Kita jarang sekali mewujudkan syukur kita dengan tindakan yang riil.  Kalau toh kita bersyukur, itu hanya tahan beberapa hari lalu selesai. Sungguh tak sebanding wujud syukur kita itu dengan bahaya dan ketakutan yang kita hadapi sebelumnya!

Kisah kesembuhan Naaman atas petunjuk Nabi Elisa (dalam bacaan I) menggambarkan tindakan Allah Israel yang semula tidak dikenali oleh Naaman. Kisah ini tidak hanya membuat Naaman kembali kepada Elisa untuk memberikan ucapan terima kasihnya, tetapi bahkan berujung pada pertobatan Naaman. Sejak saat itu, Naaman tidak lagi akan mempersembahkan korban bakaran atau sembelihan kepada allah lain kecuali kepada Tuhan. Ia meminta tanah Israel sebanyak muatan sepasan bagal, karena di atas tanah itu di Aram akan didirikannya altar bagi Allah Israel. Allah tak perlu ucapan terima kasih yang hebat-hebat selain pertobatan hati manusia yang telah diselamatkan-Nya!

Sesungguhnya kita diajak untuk membuka mata dan ‘melihat’ dengan jelas betapa sering Tuhan mengingatkan dan menyelamatkan kita melalui orang-orang asing, bahkan dalam diri mereka yang kita anggap musuh. Tidak ada kejadian yang kebetulan. Tidak ada saat kita terhindar dari kecelakaan atau masalah, yang artinya sekedar ‘untung’ karena lolos daripadanya. Kalau Tuhan masih memberi kesembuhan dan keberhasilan, itu bukanlah soal ‘nasib baik’ semata.

Yesus sering berdiri di perbatasan, di antara hati kita yang kurang bersyukur dan hati orang-orang tak dikenal yang penuh syukur. Mungkin kita terlalu mau cepat-cepat mengejar selamat dan sukses kita sendiri. Mungkin kita perlu lebih konkret dan setia dalam hal berterima kasih kepada Tuhan dan orang lain. Kita sudah berkali-kali diselamatkan, bukan sekedar lolos. Terima kasih bukan lagi sekedar kata-kata.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar