Sabtu, 19 Oktober 2013

Efek Jera Keadilan Tuhan

Minggu Biasa XXIX (C), 20 Oktober 2013
Kel 17:8-13, 2Tim 3:14-4:2, Luk 18:1-8
Oleh : Pst. Tedjoworo, OSC

Gubernur Jakarta dan kota-kota besar manapun sering pusing menghadapi para pedagang kaki lima yang memenuhi jalan raya. Sudah dibangunkan gedung pasar yang bagus dan dipilihkan tempat relokasi yang strategis, tapi selalu saja mereka kembali ke tempat semula. Kalau bukan yang lama, para pedagang yang baru bermunculan lagi di pinggir-pinggir jalan dan membuat lalu lintas macet. Susah sekali. Rasanya setiap alternatif menjadi sia-sia kalau sudah berurusan dengan mentalitas mereka. Mereka selalu memakai alasan tiadanya modal untuk menyewa los di pasar dan sepinya lokasi yang disediakan pemerintah. Alasan ini sepertinya masuk akal, tapi motivasi di sebaliknya sama saja: mentalitas yang tak mau berubah.

Siapa di dunia ini yang mau mengubah mentalitasnya? Mudah sekali dijawab. Tidak ada. Yang namanya peringatan dan teguran itu sudah ratusan atau ribuan kali kita dengar selama hidup kita. Dan dari sekian banyak teguran itu, adakah yang sedikit mengubah kebiasaan kita? Hampir tidak ada. Yang mengubah kebiasaan kita, sayangnya, adalah kejadian-kejadian yang tragis dan fatal. Perubahan yang terjadi pun tentunya sudah terlambat. Mungkin kita kurang membedakan antara bertahan dalam kebiasaan dan kesetiaan untuk berusaha. Dalam hal iman, dan di mata Tuhan, kedua hal itu sangat berbeda.

Perumpamaan Yesus yang kita dengar hanya dari Injil Lukas ini unik dan lucu. Hakim yang lalim itu bergumam pada dirinya sendiri, "Baiklah aku membenarkan janda ini, supaya jangan terus saja ia datang dan akhirnya memukul mataku sampai biru". Kata yang dipakai Lukas ialah 'hupopiaze' (Yun.) yang berarti 'menyerang', 'memukul' di bawah mata, seperti dalam pertandingan tinju. Hakim yang dalam tradisi Yahudi punya kuasa tak terbatas itu takut pada seorang janda yang menyimbolkan kelompok lemah dan tak berdaya di masyarakat. Ternyata ia masih sadar bahwa 'serangan' orang yang lemah bisa berakibat fatal pada kariernya, maka ia pun mau membela perkaranya.

Bacaan Injil ini lebih sering dipakai untuk menjelaskan bahwa doa kita mestinya tak kenal lelah di hadapan Tuhan sebab Ia pasti akan menjawab pada waktu-Nya. Akan tetapi, ada gambaran tentang keadilan Tuhan yang mungkin terlewatkan. Yesus tidak pertama-tama menegaskan kemenangan janda itu, tetapi meminta kita mencamkan apa yang dikatakan hakim yang lalim itu. Keadilan Allah tidak terletak pada menang kalahnya seseorang, melainkan pada ada tidaknya "iman di bumi" ketika Yesus kelak disalibkan dan bangkit! Salib Kristus adalah keadilan Allah! Dan di hadapannya, kita seharusnya sudah berubah. Jika tidak, kita akan menghadapi penghakiman abadi yang pasti sudah terlambat untuk disesali.

Barangkali kita mengukur banyak masalah yang kita timbulkan terlalu ringan. Kalau kita sudah marah-marah secara tidak adil terhadap seseorang, dengan gampangnya kita berpura-pura tidak ada apa-apa setelahnya. Kita menganggap akibatnya dalam diri orang lain "toh tidak seberapa". Kalau kita merugikan rekan kerja, mengecewakan orangtua, menelantarkan anak, menjatuhkan teman, menggosipkan tetangga, dan mendiamkan sesama, kita tidak lagi merasa bersalah apalagi berusaha memperbaiki kerusakan yang kita timbulkan. Pikir kita, "Ah, cuma sedikit. Namanya juga manusia." Kita terlalu meringankan efek ketidakadilan kita atas orang lain, dan bertahan dalam mentalitas buruk kita yang semakin menjadi-jadi.

Gambaran tentang kesetiaan untuk berusaha dan berdoa kita temukan sekilas namun menarik dalam Kitab Keluaran (Bacaan I). Ketika orang Amalek menyerang orang Israel, Musa berdoa dengan memegang tongkat Allah di tangannya. Namun ketika ia penat, tangannya turun dan orang Israel terpukul mundur. Maka, Harun dan Hur menopang kedua tangan Musa agar tetap terangkat dan akhirnya Israel pun menang. Kekuatan dari Allah mengharapkan usaha yang tekun manusia. Berdoa bukanlah soal meminta dengan memaksa, tapi berjuang, bersama orang lain, untuk bertekun dalam kesetiaan. Keadilan Allah terjadi ketika kita mau berubah dan tetap setia dalam doa-doa kita.

Salib Yesus kristus adalah peristiwa yang sulit dan tragis, namun memaklumkan keadilan Tuhan yang berdaya guna. Tuhan tidak akan menutup telinga terhadap seruan kita minta tolong, tetapi kita sebaiknya punya iman yang cukup untuk menemukan jawaban-Nya dalam kejadian-kejadian yang sulit. Kejadian-kejadian itu seharusnya memicu perubahan dalam diri kita, mulai dengan menganggap serius akibat perbuatan dan kelakuan kita terhadap orang lain selama ini. Sebenarnya ironis bahwa kita meminta keadilan dari Tuhan, tapi menganggap ketidakadilan kita terhadap orang lain itu tidak seberapa.

Kalau begitu, kita memang perlu mencamkan kata-kata hakim yang lalim itu agar sampai pada perubahan diri. Jangan terlalu mudah mencari alasan untuk bertahan atau kembali pada kebiasaan buruk yang jelas merugikan banyak orang. Mari kita sadari bahwa berdoa itu berarti berubah. Berdoalah dengan iman dan kesadaran diri! Semoga salib Kristus, keadilan Allah yang abadi itu, membawa 'efek jera' yang baik dalam diri kita. Dan mungkin hidup kita akan lebih menjadi berkat bagi siapapun.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar