Kel 17:8-13, 2Tim 3:14-4:2, Luk 18:1-8
Oleh : Pst. Tedjoworo, OSC
Gubernur Jakarta dan kota-kota besar manapun sering
pusing menghadapi para pedagang
kaki lima yang memenuhi jalan raya. Sudah dibangunkan gedung pasar yang bagus dan dipilihkan tempat
relokasi yang strategis, tapi selalu saja
mereka kembali ke tempat semula. Kalau bukan yang lama, para pedagang
yang baru bermunculan lagi di
pinggir-pinggir jalan dan membuat lalu lintas macet. Susah sekali. Rasanya setiap alternatif menjadi sia-sia
kalau sudah berurusan dengan
mentalitas mereka. Mereka selalu memakai alasan tiadanya modal untuk menyewa los di pasar dan sepinya lokasi yang
disediakan pemerintah. Alasan ini
sepertinya masuk akal, tapi motivasi di sebaliknya sama saja: mentalitas yang tak mau berubah.
Siapa di dunia ini yang mau mengubah mentalitasnya?
Mudah sekali dijawab. Tidak ada.
Yang namanya peringatan dan teguran itu sudah ratusan atau ribuan kali kita dengar selama hidup kita. Dan
dari sekian banyak teguran itu, adakah
yang sedikit mengubah kebiasaan kita? Hampir tidak ada. Yang mengubah kebiasaan kita, sayangnya, adalah
kejadian-kejadian yang tragis dan fatal. Perubahan
yang terjadi pun tentunya sudah terlambat. Mungkin kita kurang membedakan antara bertahan dalam
kebiasaan dan kesetiaan untuk berusaha. Dalam
hal iman, dan di mata Tuhan, kedua hal itu sangat berbeda.
Perumpamaan Yesus yang kita dengar hanya dari Injil
Lukas ini unik dan lucu. Hakim
yang lalim itu bergumam pada dirinya sendiri, "Baiklah aku membenarkan janda ini, supaya jangan terus saja ia
datang dan akhirnya memukul mataku sampai
biru". Kata yang dipakai Lukas ialah 'hupopiaze' (Yun.) yang berarti 'menyerang', 'memukul' di bawah mata,
seperti dalam pertandingan tinju. Hakim
yang dalam tradisi Yahudi punya kuasa tak terbatas itu takut pada seorang janda yang menyimbolkan
kelompok lemah dan tak berdaya di masyarakat.
Ternyata ia masih sadar bahwa 'serangan' orang yang lemah bisa berakibat fatal pada kariernya, maka ia
pun mau membela perkaranya.
Bacaan Injil ini lebih sering dipakai untuk
menjelaskan bahwa doa kita mestinya
tak kenal lelah di hadapan Tuhan sebab Ia pasti akan menjawab pada waktu-Nya. Akan tetapi, ada gambaran
tentang keadilan Tuhan yang mungkin terlewatkan.
Yesus tidak pertama-tama menegaskan kemenangan janda itu, tetapi meminta kita mencamkan apa yang
dikatakan hakim yang lalim itu. Keadilan
Allah tidak terletak pada menang kalahnya seseorang, melainkan pada ada tidaknya "iman di bumi"
ketika Yesus kelak disalibkan dan bangkit! Salib Kristus adalah keadilan Allah! Dan di hadapannya, kita
seharusnya sudah berubah. Jika
tidak, kita akan menghadapi penghakiman abadi yang pasti sudah terlambat untuk disesali.
Barangkali kita mengukur banyak masalah yang kita timbulkan
terlalu ringan. Kalau kita sudah
marah-marah secara tidak adil terhadap seseorang, dengan gampangnya kita berpura-pura tidak ada apa-apa setelahnya. Kita
menganggap akibatnya dalam diri
orang lain "toh tidak seberapa". Kalau kita merugikan rekan kerja, mengecewakan orangtua,
menelantarkan anak, menjatuhkan teman, menggosipkan
tetangga, dan mendiamkan sesama, kita tidak lagi merasa bersalah apalagi berusaha memperbaiki kerusakan yang kita
timbulkan. Pikir kita, "Ah,
cuma sedikit. Namanya juga manusia." Kita terlalu meringankan efek ketidakadilan kita atas orang
lain, dan bertahan dalam mentalitas buruk
kita yang semakin menjadi-jadi.
Gambaran tentang kesetiaan untuk berusaha dan
berdoa kita temukan sekilas namun
menarik dalam Kitab Keluaran (Bacaan I). Ketika orang Amalek menyerang orang Israel, Musa berdoa dengan
memegang tongkat Allah di tangannya. Namun
ketika ia penat, tangannya turun dan orang Israel terpukul mundur. Maka, Harun dan Hur menopang kedua tangan
Musa agar tetap terangkat dan akhirnya Israel
pun menang. Kekuatan dari Allah mengharapkan usaha yang tekun manusia. Berdoa bukanlah soal meminta
dengan memaksa, tapi berjuang, bersama orang
lain, untuk bertekun dalam kesetiaan. Keadilan Allah terjadi ketika kita mau berubah dan tetap setia dalam
doa-doa kita.
Salib Yesus kristus adalah peristiwa yang sulit dan
tragis, namun memaklumkan keadilan
Tuhan yang berdaya guna. Tuhan tidak akan menutup telinga terhadap seruan kita minta tolong, tetapi kita sebaiknya
punya iman yang cukup untuk
menemukan jawaban-Nya dalam kejadian-kejadian yang sulit. Kejadian-kejadian itu seharusnya memicu
perubahan dalam diri kita, mulai dengan
menganggap serius akibat perbuatan dan kelakuan kita terhadap orang lain selama ini. Sebenarnya ironis
bahwa kita meminta keadilan dari Tuhan, tapi
menganggap ketidakadilan kita terhadap orang lain itu tidak seberapa.
Kalau begitu, kita memang perlu mencamkan kata-kata
hakim yang lalim itu agar sampai
pada perubahan diri. Jangan terlalu mudah mencari alasan untuk bertahan atau kembali pada kebiasaan
buruk yang jelas merugikan banyak orang.
Mari kita sadari bahwa berdoa itu berarti berubah. Berdoalah dengan iman dan kesadaran diri! Semoga salib
Kristus, keadilan Allah yang abadi itu,
membawa 'efek jera' yang baik dalam diri kita. Dan mungkin hidup kita akan lebih menjadi berkat bagi
siapapun.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar