Sabtu, 26 Oktober 2013

Tuhan Melihat-Nya



Minggu Biasa XXX (C) 27 Oktober 2013
Sir 35:12-14.16-18, 2Tim 4:6-8.16-18, Luk 18:9-14
Oleh : Pst. Tedjoworo, ISC

Situs-situs jejaring sosial di internet itu tak selalu mendewasakan, apalagi  memurnikan ungkapan diri. Sebab, dapatkah seseorang dikenali dari ungkapan 'status'-nya di sana? Jauh panggang dari api. Dalam hidup sehari-hari, kenyataan diri seseorang bisa meleset jauh sekali dari yang diungkapkan. Bagi yang senang membikin citra diri, kolom 'status' itu adalah segala-galanya. Namun ketika itu dipakai untuk pembuktian diri, anehnya, justru yang kelihatan bagi orang lain adalah pengakuan kekalahan. Ada sangkaan bahwa semakin banyak yang mengacungkan jempol tanda 'suka' berarti yang bersangkutan semakin merasa benar dan didukung. Padahal, di saat bersamaan, ratusan atau ribuan yang lain berpikir yang sebaliknya.

Nampaknya masih banyak orang tergantung pada 'pengakuan' orang lain atas pendapat atau 'status' yang ditampilkannya. Bayangkanlah, kalau bersikap demikian juga, hidup kita tidak pernah menjadi lebih baik. Kita sama saja, setiap hari, karena merasa puas hanya dengan berkata-kata dan memasang ungkapan diri. Kalau mentalitas itu masuk dalam hidup doa dan iman kita, bisa ditebak seberapa tulus dan dekat relasi kita dengan Tuhan. Mungkin kita mengira Tuhan bisa dikelabuhi hanya dengan perubahan ungkapan diri atau pembuktian lewat penampilan. Bagaimana kalau dilakukan saja, tanpa corong?

Berbeda dengan nabi-nabi lain, Yesus tidak 'mengarang' perumpamaan. Nabi-nabi lain membuat analogi yang masuk akal untuk menjelaskan persoalan atau menegur seseorang. Yesus menyampaikan perumpamaan selalu berdasarkan apa yang dilihat-Nya dalam hati manusia. Ia mengetahui. Begitu saja. Perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai yang berdoa di Bait Allah ini sebenarnya adalah kenyataan yang tak kelihatan oleh mata manusia. Tuhan melihat dan mengisahkannya agar kesadaran kita lebih dalam dan membekas.

Apakah Yesus sekadar bicara tentang sikap batin dalam berdoa? Rasa-rasanya tidak. Sebab, kisah itu bisa terjadi setiap hari di Bait Allah. Setiap hari orang Farisi itu menyombongkan segala yang dilakukannya untuk Tuhan. Setiap hari juga pemungut cukai itu menepuk dada dan mohon belas kasih Tuhan atas kedosaannya. Begitu terus, setiap hari. Dan kita semua berpikir, kapan mereka akan bertobat? Itu sebabnya, perumpamaan Yesus ini menohok lebih dalam ke ulu hati kita.

Ada sesuatu yang Yesus ingin sampaikan di sini. Sesuatu itu berhubungan dengan 'tindakan' tobat yang apa adanya. Bahwa seseorang "bukan perampok, bukan orang lalim dan pezinah" itu bagi Allah tidak sangat penting. Begitu juga kalau seseorang menangis dan menyesali perbuatannya tiap hari. Kedua ungkapan batin ini sudah 'biasa' dilihat Allah. Jauh lebih penting ialah wujud tobat kita dalam perbuatan.

Salah satu yang kini pantas kita renungkan ialah kecenderungan untuk 'mengumumkan' kebaikan-kebaikan diri, termasuk pembuktian diri bahwa kita tidak seperti yang disangka orang lain. Kita akan sering tergoda untuk menunjukkan siapa kita sebenarnya dan membuktikan bahwa tuduhan orang lain itu tidak benar. Hidup seperti itu pasti melelahkan. Lebih lagi, kalau setelah berusaha begitu, ternyata tidak banyak orang yang peduli pada kata-kata dan penjelasan kita. Kita pun mulai sakit hati karena orang tidak mau mendengarkan kita. Mengapa kita lebih memusingkan tanggapan orang lain daripada mengimani bahwa Allah Tuhan kita melihat dengan jelas apa yang kita lakukan?

Kitab Sirakh (Bacaan I) mengungkapkan kebijaksanaan Tuhan sebagai Hakim yang tidak memihak. Ia dilukiskan selalu mendengarkan doa orang yang terjepit, para yatim piatu dan janda. Namun, dikatakan juga bahwa Tuhan berkenan kepada siapa yang "dengan sebulat hati berbakti kepada-Nya". Ia akan "memandang dan memberikan hak kepada orang benar dan menjalankan keadilan". Kitab Sirakh seakan-akan mengingatkan bahwa Tuhan tidak sembarangan mengabulkan doa dan berkenan pada bakti seseorang. Ia memandang apa yang benar-benar dilakukan seseorang dalam situasinya. Ia adalah Hakim yang adil karena tidak mungkin dikelabuhi hanya dengan kata-kata ungkapan diri atau pembuktian sementara untuk mengambil hati-Nya.

Apa yang kita renungkan hari ini menjadi penting karena lebih jauh dari sekadar mempersoalkan sikap batin dalam doa. Perkembangan hidup rohani kita tidak diwakili oleh ungkapan-ungkapan iman serta banyaknya kata-kata penjelasan yang kita ucapkan untuk mencari dukungan. Justru bagi Yesus semua itu kurang penting dibandingkan perbuatan yang kita lakukan tanpa banyak bicara. Yesus selalu melihat apapun yang kita lakukan. Oleh karenanya, menjelaskan itu semua dalam doa sungguh tidak ada gunanya.

Mungkin diperlukan sedikit kerelaan untuk tidak lagi 'pamer' dalam hal iman dan hidup bersama. Jika ada perubahan dalam diri kita, syukur kepada Allah! Lakukan saja perubahan itu tanpa harus mencari pendukung yang mau mengacungkan jempol atas tindakan kita. Tindakan iman kita tidak membutuhkan jempol dari siapapun, apalagi dari Tuhan. Mari kita berhenti membuktikan diri kepada siapapun, dan mulai melakukan hal-hal yang baik namun dengan cara tersembunyi, setiap hari. Tuhan melihatnya.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar