Minggu Biasa XXX (C) 27 Oktober 2013
Sir 35:12-14.16-18, 2Tim 4:6-8.16-18, Luk 18:9-14
Oleh : Pst. Tedjoworo, ISC
Situs-situs jejaring sosial di internet itu tak
selalu mendewasakan, apalagi memurnikan ungkapan diri. Sebab,
dapatkah seseorang dikenali dari ungkapan
'status'-nya di sana? Jauh panggang dari api. Dalam hidup sehari-hari, kenyataan diri seseorang bisa meleset
jauh sekali dari yang diungkapkan. Bagi
yang senang membikin citra diri, kolom 'status' itu adalah segala-galanya. Namun ketika itu
dipakai untuk pembuktian diri, anehnya, justru
yang kelihatan bagi orang lain adalah pengakuan kekalahan. Ada sangkaan bahwa semakin banyak yang
mengacungkan jempol tanda 'suka' berarti yang
bersangkutan semakin merasa benar dan didukung. Padahal, di saat bersamaan, ratusan atau ribuan yang
lain berpikir yang sebaliknya.
Nampaknya masih banyak orang tergantung pada
'pengakuan' orang lain atas pendapat
atau 'status' yang ditampilkannya. Bayangkanlah, kalau bersikap demikian juga, hidup kita tidak pernah
menjadi lebih baik. Kita sama saja, setiap
hari, karena merasa puas hanya dengan berkata-kata dan memasang ungkapan diri. Kalau mentalitas itu
masuk dalam hidup doa dan iman kita, bisa
ditebak seberapa tulus dan dekat relasi kita dengan Tuhan. Mungkin kita mengira Tuhan bisa dikelabuhi hanya
dengan perubahan ungkapan diri atau pembuktian
lewat penampilan. Bagaimana kalau dilakukan saja, tanpa corong?
Berbeda dengan nabi-nabi lain, Yesus tidak
'mengarang' perumpamaan. Nabi-nabi
lain membuat analogi yang masuk akal untuk menjelaskan persoalan atau menegur seseorang. Yesus
menyampaikan perumpamaan selalu berdasarkan
apa yang dilihat-Nya dalam hati manusia. Ia mengetahui. Begitu saja. Perumpamaan orang Farisi dan pemungut
cukai yang berdoa di Bait Allah ini sebenarnya
adalah kenyataan yang tak kelihatan oleh mata manusia. Tuhan melihat dan mengisahkannya agar
kesadaran kita lebih dalam dan membekas.
Apakah Yesus sekadar bicara tentang sikap batin
dalam berdoa? Rasa-rasanya tidak.
Sebab, kisah itu bisa terjadi setiap hari di Bait Allah. Setiap hari orang Farisi itu menyombongkan segala
yang dilakukannya untuk Tuhan. Setiap hari
juga pemungut cukai itu menepuk dada dan mohon belas kasih Tuhan atas kedosaannya. Begitu terus, setiap hari.
Dan kita semua berpikir, kapan mereka
akan bertobat? Itu sebabnya, perumpamaan Yesus ini menohok lebih dalam ke ulu hati kita.
Ada sesuatu yang Yesus ingin sampaikan di sini.
Sesuatu itu berhubungan dengan
'tindakan' tobat yang apa adanya. Bahwa seseorang "bukan perampok, bukan orang lalim dan pezinah" itu
bagi Allah tidak sangat penting. Begitu juga
kalau seseorang menangis dan menyesali perbuatannya tiap hari. Kedua ungkapan batin ini sudah 'biasa'
dilihat Allah. Jauh lebih penting ialah wujud
tobat kita dalam perbuatan.
Salah satu yang kini pantas kita renungkan ialah
kecenderungan untuk 'mengumumkan'
kebaikan-kebaikan diri, termasuk pembuktian diri bahwa kita tidak seperti yang disangka orang lain.
Kita akan sering tergoda untuk menunjukkan
siapa kita sebenarnya dan membuktikan bahwa tuduhan orang lain itu tidak benar. Hidup seperti itu
pasti melelahkan. Lebih lagi, kalau setelah
berusaha begitu, ternyata tidak banyak orang yang peduli pada kata-kata dan penjelasan kita. Kita pun
mulai sakit hati karena orang tidak mau
mendengarkan kita. Mengapa kita lebih memusingkan tanggapan orang lain daripada mengimani bahwa Allah Tuhan kita melihat
dengan jelas apa yang kita lakukan?
Kitab Sirakh (Bacaan I) mengungkapkan kebijaksanaan
Tuhan sebagai Hakim yang tidak
memihak. Ia dilukiskan selalu mendengarkan doa orang yang terjepit, para yatim piatu dan janda. Namun,
dikatakan juga bahwa Tuhan berkenan kepada
siapa yang "dengan sebulat hati berbakti kepada-Nya". Ia akan "memandang dan memberikan hak
kepada orang benar dan menjalankan keadilan". Kitab Sirakh seakan-akan mengingatkan bahwa Tuhan tidak
sembarangan mengabulkan doa dan
berkenan pada bakti seseorang. Ia memandang apa yang benar-benar dilakukan seseorang dalam situasinya. Ia adalah
Hakim yang adil karena tidak
mungkin dikelabuhi hanya dengan kata-kata ungkapan diri atau pembuktian sementara untuk mengambil
hati-Nya.
Apa yang kita renungkan hari ini menjadi penting
karena lebih jauh dari sekadar
mempersoalkan sikap batin dalam doa. Perkembangan hidup rohani kita tidak diwakili oleh ungkapan-ungkapan
iman serta banyaknya kata-kata penjelasan
yang kita ucapkan untuk mencari dukungan. Justru bagi Yesus semua itu kurang penting dibandingkan
perbuatan yang kita lakukan tanpa banyak bicara.
Yesus selalu melihat apapun yang kita lakukan. Oleh karenanya, menjelaskan itu semua dalam doa sungguh
tidak ada gunanya.
Mungkin diperlukan sedikit kerelaan untuk tidak
lagi 'pamer' dalam hal iman dan
hidup bersama. Jika ada perubahan dalam diri kita, syukur kepada Allah! Lakukan saja perubahan itu tanpa harus
mencari pendukung yang mau mengacungkan
jempol atas tindakan kita. Tindakan iman kita tidak membutuhkan jempol dari siapapun, apalagi dari
Tuhan. Mari kita berhenti membuktikan diri
kepada siapapun, dan mulai melakukan hal-hal yang baik namun dengan cara tersembunyi, setiap hari. Tuhan
melihatnya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar