Sabtu, 02 November 2013

Kita Dipanggil-Nya Karena Berharga



Minggu Biasa XXXI (C)
Keb 11:22-12:2, 2Tes 1:11-2:2, Luk 19:1-10
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Foto bersama selalu ramai dan menyenangkan. Siapa yang tak suka difoto? Apalagi bersama banyak teman, difoto adalah suatu kebanggaan, sehingga orang berusaha supaya 'kelihatan' dalam foto itu. Namun meski jarang diperhatikan, sementara orang terlalu bersemangat hingga mencoba berbagai cara supaya tertangkap kamera. Dengan kata lain, selalu ada yang bersemangat menampilkan diri, dan ini bisa jadi untuk menutupi sebuah kekurangan. Anak muda punya istilah 'pose gila' untuk tampil beda dan menarik perhatian. Akan tetapi, ekspresi yang berlebih biasanya menutupi sesuatu.

Kecenderungan seperti itu bisa disebut 'mencari kompensasi'. Orang yang kurang tinggi mencari sepatu dengan hak tinggi. Orang yang kurang pandai justru lebih banyak bicara tentang segala hal. Orang yang sulit bergaul mengoleksi nomor telepon teman-temannya. Tentu saja tidak semua kebiasaan adalah kompensasi atas kekurangan diri, tetapi kita tahu masih ada kebenaran pada anggapan itu. Kita dalam banyak hal mencari kompensasi atas kelemahan kita, supaya kita diperhitungkan oleh orang lain. Sejauh tidak merugikan, hal ini tak terlalu jadi masalah. Namun ketika pengaruhnya buruk, kita mesti mengoreksinya.

Zakheus merasa dirinya 'kecil', dan itu bukan hanya karena badannya pendek. Sebelum orang bicara dan mengadilinya sebagai pengkhianat bangsa karena bekerja untuk penjajah, Zakheus sudah merasa tidak berarti dan tidak diperhitungkan oleh orang lain. Maka, ia mencari kompensasi dengan mengumpulkan uang, bahkan dengan cara yang menyakiti hati bangsanya. Ia ingin diperhitungkan. Tetapi, semakin kaya dan punya posisi di mata penjajah, Zakheus malah semakin dibenci dan dijauhi banyak orang. Ia hidup dalam lingkaran setan perasaan tak berharga, komunitas yang serba mengadili, dan hilangnya penghargaan kepada setiap pribadi.

Dan Yesus sampai ke tempat itu. Ia "melihat ke atas" (Yun. 'anablepo') kepada Zakheus dan mengundangnya makan bersama di rumahnya. Yesus bukan hanya 'melihat ke atas' karena Zakheus ada di pohon, tapi terutama karena Yesus melihat ada kebaikan dalam diri Zakheus. Kata 'anablepo' berarti 'melihat ke surga'. Yesus melihat surga, wajah Allah, dalam diri Zakheus, dan Zakheus pun mendapat wajah baru karena kini ia diperhitungkan dan diampuni. Yesus menunjukkan bahwa kasih Allah tidak memandang penampilan. Karena kasih itu, Zakheus 'turun' dan menjadi rendah hati, menjadi manusia kembali yang memiliki kebaikan dalam dirinya. Yesus tak perlu mengajar panjang lebar kepadanya; cukup dengan makan bersamanya, dan Zakheus bertobat. Kini ia sudah berjumpa dengan 'kebaikan' dalam dirinya sendiri. Kekayaannya tidak berarti lagi karena Yesus telah menerima dirinya.

Jika kembali ke lingkungan sekitar, kita mungkin baru menyadari betapa banyak orang masih mencari-cari kebaikan dalam diri mereka dan belum menemukannya. Sering tindakan orang dilakukan untuk menutupi kelemahan diri atau menampilkan diri supaya diperhitungkan oleh yang lain. Padahal, tindakan itu malah akan membuat mereka dijauhi dan tidak disukai. Ketika merasa tidak diperhitungkan, kita biasa tergoda untuk 'meninggikan' diri, melakukan apa saja untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa kita hebat. Namun sayang, ternyata dengan menonjolkan diri kita malah semakin merasa kesepian di tengah hidup bersama. Kita tenggelam dalam lingkaran setan itu.

Mungkin kebijaksanaan yang kita dengar dalam Kitab Salomo (Bacaan I) bisa membantu memahami cara pandang Allah yang sangat berbeda dengan kebiasaan kita. Penulis Kitab berdoa, "Justru karena Engkau berkuasa akan segala sesuatu, maka semua orang Kaukasihani.. Engkau tidak benci kepada apapun yang telah Kaubuat; sebab andaikata sesuatu Kaubenci, niscaya tidak Kauciptakan." Mengharukan sekali. Allah tidak mungkin membenci seorang manusia yang sangat berdosa sekalipun, sebab itu adalah ciptaan-Nya, milik-Nya sendiri! Ia selalu melihat kebaikan dan martabat dalam diri manusia yang dianggap paling tidak berarti sekalipun oleh sesamanya.

Sekarang kita bisa merenungkan berbagai perbuatan kita yang mirip dengan kelakuan Lazarus sebelum bertemu Yesus. Apakah kita pun suka mendahului orang banyak, memisahkan diri, dan "memanjat pohon" (meninggikan diri), karena ingin diperhitungkan? Apakah ada kelemahan yang hendak kita tutupi dengan mencari kompensasi lewat hal-hal yang merugikan orang lain? Kita sering tidak sadar bahwa kelakuan kita sudah terlalu menjengkelkan banyak orang, sudah merusak suasana kebersamaan yang seharusnya menyenangkan di keluarga dan di gereja. Ternyata kitalah penyebab kesepian kita sendiri.

Dipanggil sebagai orang Kristiani berarti mengalami bahwa Yesus sudah memandang diri kita sebagai yang berharga dan pantas dikasihi. Yesus selalu melihat kebaikan dalam diri kita sejak kita dilahirkan di dunia. Meskipun kita berkali-kali salah jalan dan mungkin merasa sudah telanjur memutuskan sesuatu yang keliru, tak usah khawatir. Tuhan tidak mungkin membenci dan meninggalkan kita. Apapun pekerjaan kita, Tuhan akan memanggil nama kita agar 'turun' dari setiap kekeliruan, sebab hari ini Ia harus menumpang di rumah kita.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar