Minggu Biasa XXXI (C)
Keb 11:22-12:2, 2Tes 1:11-2:2, Luk 19:1-10
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Foto bersama selalu ramai dan menyenangkan. Siapa
yang tak suka difoto? Apalagi
bersama banyak teman, difoto adalah suatu kebanggaan, sehingga orang berusaha supaya 'kelihatan' dalam foto
itu. Namun meski jarang diperhatikan, sementara
orang terlalu bersemangat hingga mencoba berbagai cara supaya tertangkap kamera. Dengan kata lain,
selalu ada yang bersemangat menampilkan diri,
dan ini bisa jadi untuk menutupi sebuah kekurangan. Anak muda punya istilah 'pose gila' untuk tampil beda
dan menarik perhatian. Akan tetapi, ekspresi
yang berlebih biasanya menutupi sesuatu.
Kecenderungan seperti itu bisa disebut 'mencari
kompensasi'. Orang yang kurang
tinggi mencari sepatu dengan hak tinggi. Orang yang kurang pandai justru lebih banyak bicara tentang
segala hal. Orang yang sulit bergaul mengoleksi
nomor telepon teman-temannya. Tentu saja tidak semua kebiasaan adalah kompensasi atas kekurangan diri,
tetapi kita tahu masih ada kebenaran pada
anggapan itu. Kita dalam banyak hal mencari kompensasi atas kelemahan kita, supaya kita diperhitungkan oleh
orang lain. Sejauh tidak merugikan, hal
ini tak terlalu jadi masalah. Namun ketika pengaruhnya buruk, kita mesti mengoreksinya.
Zakheus merasa dirinya 'kecil', dan itu bukan hanya
karena badannya pendek. Sebelum
orang bicara dan mengadilinya sebagai pengkhianat bangsa karena bekerja untuk penjajah, Zakheus sudah
merasa tidak berarti dan tidak diperhitungkan
oleh orang lain. Maka, ia mencari kompensasi dengan mengumpulkan uang, bahkan dengan cara yang
menyakiti hati bangsanya. Ia ingin
diperhitungkan. Tetapi, semakin kaya dan punya posisi di mata penjajah, Zakheus malah semakin dibenci
dan dijauhi banyak orang. Ia hidup dalam
lingkaran setan perasaan tak berharga, komunitas yang serba mengadili, dan hilangnya penghargaan kepada setiap
pribadi.
Dan Yesus sampai ke tempat itu. Ia "melihat ke
atas" (Yun. 'anablepo') kepada
Zakheus dan mengundangnya makan bersama di rumahnya. Yesus bukan hanya 'melihat ke atas' karena Zakheus
ada di pohon, tapi terutama karena Yesus
melihat ada kebaikan dalam diri Zakheus. Kata 'anablepo' berarti 'melihat ke surga'. Yesus melihat
surga, wajah Allah, dalam diri Zakheus, dan
Zakheus pun mendapat wajah baru karena kini ia diperhitungkan dan diampuni. Yesus menunjukkan bahwa kasih
Allah tidak memandang penampilan. Karena
kasih itu, Zakheus 'turun' dan menjadi rendah hati, menjadi manusia kembali yang memiliki kebaikan dalam
dirinya. Yesus tak perlu mengajar panjang
lebar kepadanya; cukup dengan makan bersamanya, dan Zakheus bertobat. Kini ia sudah berjumpa dengan
'kebaikan' dalam dirinya sendiri. Kekayaannya
tidak berarti lagi karena Yesus telah menerima dirinya.
Jika kembali ke lingkungan sekitar, kita mungkin
baru menyadari betapa banyak orang
masih mencari-cari kebaikan dalam diri mereka dan belum menemukannya. Sering tindakan orang dilakukan untuk menutupi
kelemahan diri atau menampilkan
diri supaya diperhitungkan oleh yang lain. Padahal, tindakan itu malah akan membuat mereka dijauhi dan tidak
disukai. Ketika merasa tidak
diperhitungkan, kita biasa tergoda untuk 'meninggikan' diri, melakukan apa saja untuk menunjukkan
kepada orang lain bahwa kita hebat. Namun
sayang, ternyata dengan menonjolkan diri kita malah semakin merasa kesepian di tengah hidup bersama. Kita
tenggelam dalam lingkaran setan itu.
Mungkin kebijaksanaan yang kita dengar dalam Kitab
Salomo (Bacaan I) bisa membantu
memahami cara pandang Allah yang sangat berbeda dengan kebiasaan kita. Penulis Kitab berdoa,
"Justru karena Engkau berkuasa akan segala sesuatu, maka semua orang Kaukasihani.. Engkau tidak benci
kepada apapun yang telah Kaubuat;
sebab andaikata sesuatu Kaubenci, niscaya tidak Kauciptakan." Mengharukan sekali. Allah tidak mungkin
membenci seorang manusia yang
sangat berdosa sekalipun, sebab itu adalah ciptaan-Nya, milik-Nya sendiri! Ia selalu melihat kebaikan dan martabat dalam
diri manusia yang dianggap paling
tidak berarti sekalipun oleh sesamanya.
Sekarang kita bisa merenungkan berbagai perbuatan
kita yang mirip dengan kelakuan
Lazarus sebelum bertemu Yesus. Apakah kita pun suka mendahului orang banyak, memisahkan diri, dan
"memanjat pohon" (meninggikan diri), karena ingin diperhitungkan? Apakah ada kelemahan yang hendak
kita tutupi dengan mencari
kompensasi lewat hal-hal yang merugikan orang lain? Kita sering tidak sadar bahwa kelakuan kita sudah terlalu
menjengkelkan banyak orang, sudah
merusak suasana kebersamaan yang seharusnya menyenangkan di keluarga dan di gereja. Ternyata
kitalah penyebab kesepian kita sendiri.
Dipanggil sebagai orang Kristiani berarti mengalami
bahwa Yesus sudah memandang diri
kita sebagai yang berharga dan pantas dikasihi. Yesus selalu melihat kebaikan dalam diri kita sejak
kita dilahirkan di dunia. Meskipun kita
berkali-kali salah jalan dan mungkin merasa sudah telanjur memutuskan sesuatu yang keliru, tak usah khawatir.
Tuhan tidak mungkin membenci dan meninggalkan
kita. Apapun pekerjaan kita, Tuhan akan memanggil nama kita agar 'turun' dari setiap kekeliruan,
sebab hari ini Ia harus menumpang di rumah
kita.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar