2Mak 7:1-2.9-14, 2Tes 2:16-3:5, Luk 20:27-38
Oleh
: Pst. Tedjoworo, OSC
Ada beberapa film layar lebar yang 'mengecewakan',
kalau bukan 'menjengkelkan'. Ini
bukan soal ceritanya, bukan juga sutradara yang mengarahkannya. Ini soal alur kisahnya yang bisa mempengaruhi
imajinasi kita begitu dalam. Sebut
saja film Martin Scorsese berjudul "Shutter Island". Hampir seluruh film berdurasi 138 menit
ini adalah sebuah 'eksperimen peran' di
sebuah pulau terpencil tempat perawatan orang sakit jiwa. Di menit-menit terakhir penonton baru menyadari bahwa
seluruh aksi yang rumit dan menegangkan
di sepanjang film itu tidak riil. Itu semua adalah permainan dan eksperimen psikis sebagai terapi bagi
pembunuh yang, ternyata, 'berperan' sebagai
detektif! Fantasi seolah-olah lebih riil ketimbang kenyataan.
Memang tiap film itu tidak riil. Akan tetapi,
imajinasi kita sudah terlalu menyenangkan
untuk dimatikan begitu saja. Meski sarat dengan pengandaian, sebuah film bisa membuat kita tertawa,
puas, merasa hebat, sedih, menangis. Anehnya,
kita membiarkan diri terbawa rasa. Demikian juga dalam hidup sehari-hari, setiap pengandaian yang
muncul di pikiran kita, meski tidak riil,
mampu membuat kita kalang kabut, bahagia tapi juga cemas, terharu tapi juga geram. Padahal, itu hanya
pengandaian - 'kalau', 'seandainya', dalam
bahasa Indonesia! Mungkinkah iman itu sekedar pengandaian yang
menyenangkan?
Orang-orang Saduki melakukan kesalahan ketika
bertanya, tepatnya, mau menjebak
Yesus soal kebangkitan. Mereka pikir Yesus senang membuat perumpamaan, jadi, sekarang mereka pun
membuat pengandaian. Mereka tak sadar bahwa
perumpamaan yang dipakai Yesus mengajar sebenarnya adalah relitas. Kisah yang mereka buat-buat itu,
sebaliknya, adalah isapan jempol yang tidak
mungkin terjadi. Dengan berandai-andai tentang perkawinan dan hari kebangkitan, justru ketahuan bahwa
gambaran mereka tentang Allah itu keliru,
sebab seakan-akan Allah hanya mengurusi orang-orang mati.
Jawaban Yesus menunjukkan kekeliruan mereka. Mereka
bicara tentang perkawinan duniawi
yang mementingkan keturunan, tentang menjadi orangtua bagi anak. Tetapi, Yesus mengajar bahwa dalam kebangkitan tak
seorangpun kawin dan dikawinkan.
Di sana, yang ada ialah keadaan sebagai "anak-anak Allah". Itu berarti bukan saja orang yang dibangkitkan itu
tetap hidup, tetapi juga
dilepaskan dari segala ikatan dan relasi duniawi yang 'mematikan' itu. Orang-orang Saduki berkali-kali bicara tentang
perkawinan yang membawa kematian.
Yesus, sebaliknya, mengingatkan bahwa Allah lebih ingin kita hidup daripada mati. Itu sebabnya Ia menyebutkan
Abraham, Ishak, dan Yakub yang
bagi orang Israel adalah teladan hidup di hadapan Allah.
Bukan satu dua kali saja kita membuat
pengandaian-pengandaian negatif yang pesimistis
bahkan menyangkut kematian. Ketika hal ini ditujukan pada orang-orang tertentu yang pernah
bertindak tidak adil atau melukai diri kita,
seperti ada kepuasan dalam hati. Kalau tak berhasil 'menghukum' orang dalam kehidupan nyata, kita sering
berusaha memenjarakan mereka dalam pikiran-pikiran
buruk yang tak ada habisnya. Kita bersikukuh dalam pikiran negatifnya tentang orang lain dan
terlalu gengsi untuk mengubah pandangan kita
sendiri. Di saat lain kita bisa begitu keras kepala menuduh seseorang sekaligus berandai-andai terlalu baik
tentang diri sendiri. Kita pusing dengan
'kematian' orang lain, padahal Allah sibuk berusaha agar ia hidup.
Ketujuh saudara dan ibu mereka yang disiksa dalam
Kitab kedua Makabe tidak takut
pada penderitaan dan kematian. Bahkan yang seorang berkata, "Sungguh baiklah mati oleh tangan manusia dengan
harapan yang diberikan Allah sendiri,
bahwa kami akan dibangkitkan kembali oleh-Nya." Mereka memang akan mati karena kejahatan sesama manusia,
tetapi kebangkitan yang diberikan Allah
tidak akan dibatalkan oleh makhluk manapun. Para algojo mereka takkan bisa berbuat apa-apa di hadapan
kehidupan yang hanya Allah mampu memberikan. Kalau kita pernah merasa menjadi 'korban' karena perbuatan orang
lain, apakah 'hidup' yang masih kita terima
dari Allah ini membawa semangat untuk berjuang
sampai akhir?
Mungkin sekaranglah saatnya bagi kita melepaskan
orang lain dari prasangka dan
pengandaian kita yang 'mematikan'. Kita diingatkan melalui Kitab Suci bahwa siapapun yang kita harapkan bakal
celaka dan jatuh, di saat yang sama, dihidupkan
dan dibangkitkan oleh Tuhan sendiri. Kehidupan iman kita bukanlah suatu eksperimen mental yang dilakukan
Tuhan atas orang-orang yang sakit jiwa.
Harapan dan kasih yang kita hayati selama ini juga bukan sekedar pengandaian yang menyenangkan. Iman,
harapan, dan kasih kita itu sangat riil.
Jadi, kita tidak bisa seenaknya mempermainkan hidup siapapun dengan gosip dan harapan negatif yang keluar
dari mulut kita.
Kebangkitan, bagi Yesus, sama nyatanya dengan kehidupan.
Iman kita akan kebangkitan
bukanlah sebuah pengandaian. Kita selalu dipanggil untuk menjadi "anak-anak Allah", baik di
dunia ini maupun di dunia nanti. Semoga saat ini kita masih bisa mengucapkan doa dan berkat, memberikan harapan
dan hidup, khususnya bagi mereka
yang terpenjara dalam pikiran-pikiran negatif yang mematikan.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar