Sabtu, 09 November 2013

Iman Kita Bukan Pengandaian

Minggu Biasa XXXII (C)
2Mak 7:1-2.9-14, 2Tes 2:16-3:5, Luk 20:27-38
Oleh : Pst. Tedjoworo, OSC

Ada beberapa film layar lebar yang 'mengecewakan', kalau bukan 'menjengkelkan'. Ini bukan soal ceritanya, bukan juga sutradara yang mengarahkannya. Ini soal alur kisahnya yang bisa mempengaruhi imajinasi kita begitu dalam. Sebut saja film Martin Scorsese berjudul "Shutter Island". Hampir seluruh film berdurasi 138 menit ini adalah sebuah 'eksperimen peran' di sebuah pulau terpencil tempat perawatan orang sakit jiwa. Di menit-menit terakhir penonton baru menyadari bahwa seluruh aksi yang rumit dan menegangkan di sepanjang film itu tidak riil. Itu semua adalah permainan dan eksperimen psikis sebagai terapi bagi pembunuh yang, ternyata, 'berperan' sebagai detektif! Fantasi seolah-olah lebih riil ketimbang kenyataan.

Memang tiap film itu tidak riil. Akan tetapi, imajinasi kita sudah terlalu menyenangkan untuk dimatikan begitu saja. Meski sarat dengan pengandaian, sebuah film bisa membuat kita tertawa, puas, merasa hebat, sedih, menangis. Anehnya, kita membiarkan diri terbawa rasa. Demikian juga dalam hidup sehari-hari, setiap pengandaian yang muncul di pikiran kita, meski tidak riil, mampu membuat kita kalang kabut, bahagia tapi juga cemas, terharu tapi juga geram. Padahal, itu hanya pengandaian - 'kalau', 'seandainya', dalam bahasa Indonesia! Mungkinkah iman itu sekedar pengandaian yang menyenangkan?

Orang-orang Saduki melakukan kesalahan ketika bertanya, tepatnya, mau menjebak Yesus soal kebangkitan. Mereka pikir Yesus senang membuat perumpamaan, jadi, sekarang mereka pun membuat pengandaian. Mereka tak sadar bahwa perumpamaan yang dipakai Yesus mengajar sebenarnya adalah relitas. Kisah yang mereka buat-buat itu, sebaliknya, adalah isapan jempol yang tidak mungkin terjadi. Dengan berandai-andai tentang perkawinan dan hari kebangkitan, justru ketahuan bahwa gambaran mereka tentang Allah itu keliru, sebab seakan-akan Allah hanya mengurusi orang-orang mati.

Jawaban Yesus menunjukkan kekeliruan mereka. Mereka bicara tentang perkawinan duniawi yang mementingkan keturunan, tentang menjadi orangtua bagi anak. Tetapi, Yesus mengajar bahwa dalam kebangkitan tak seorangpun kawin dan dikawinkan. Di sana, yang ada ialah keadaan sebagai "anak-anak Allah". Itu berarti bukan saja orang yang dibangkitkan itu tetap hidup, tetapi juga dilepaskan dari segala ikatan dan relasi duniawi yang 'mematikan' itu. Orang-orang Saduki berkali-kali bicara tentang perkawinan yang membawa kematian. Yesus, sebaliknya, mengingatkan bahwa Allah lebih ingin kita hidup daripada mati. Itu sebabnya Ia menyebutkan Abraham, Ishak, dan Yakub yang bagi orang Israel adalah teladan hidup di hadapan Allah.

Bukan satu dua kali saja kita membuat pengandaian-pengandaian negatif yang pesimistis bahkan menyangkut kematian. Ketika hal ini ditujukan pada orang-orang tertentu yang pernah bertindak tidak adil atau melukai diri kita, seperti ada kepuasan dalam hati. Kalau tak berhasil 'menghukum' orang dalam kehidupan nyata, kita sering berusaha memenjarakan mereka dalam pikiran-pikiran buruk yang tak ada habisnya. Kita bersikukuh dalam pikiran negatifnya tentang orang lain dan terlalu gengsi untuk mengubah pandangan kita sendiri. Di saat lain kita bisa begitu keras kepala menuduh seseorang sekaligus berandai-andai terlalu baik tentang diri sendiri. Kita pusing dengan 'kematian' orang lain, padahal Allah sibuk berusaha agar ia hidup.

Ketujuh saudara dan ibu mereka yang disiksa dalam Kitab kedua Makabe tidak takut pada penderitaan dan kematian. Bahkan yang seorang berkata, "Sungguh baiklah mati oleh tangan manusia dengan harapan yang diberikan Allah sendiri, bahwa kami akan dibangkitkan kembali oleh-Nya." Mereka memang akan mati karena kejahatan sesama manusia, tetapi kebangkitan yang diberikan Allah tidak akan dibatalkan oleh makhluk manapun. Para algojo mereka takkan bisa berbuat apa-apa di hadapan kehidupan yang hanya Allah mampu memberikan. Kalau kita pernah merasa menjadi 'korban' karena perbuatan orang lain,  apakah 'hidup' yang masih kita terima dari Allah ini membawa semangat untuk berjuang sampai akhir?

Mungkin sekaranglah saatnya bagi kita melepaskan orang lain dari prasangka dan pengandaian kita yang 'mematikan'. Kita diingatkan melalui Kitab Suci bahwa siapapun yang kita harapkan bakal celaka dan jatuh, di saat yang sama, dihidupkan dan dibangkitkan oleh Tuhan sendiri. Kehidupan iman kita bukanlah suatu eksperimen mental yang dilakukan Tuhan atas orang-orang yang sakit jiwa. Harapan dan kasih yang kita hayati selama ini juga bukan sekedar pengandaian yang menyenangkan. Iman, harapan, dan kasih kita itu sangat riil. Jadi, kita tidak bisa seenaknya mempermainkan hidup siapapun dengan gosip dan harapan negatif yang keluar dari mulut kita.

Kebangkitan, bagi Yesus, sama nyatanya dengan kehidupan. Iman kita akan kebangkitan bukanlah sebuah pengandaian. Kita selalu dipanggil untuk menjadi "anak-anak Allah", baik di dunia ini maupun di dunia nanti. Semoga saat ini kita masih bisa mengucapkan doa dan berkat, memberikan harapan dan hidup, khususnya bagi mereka yang terpenjara dalam pikiran-pikiran negatif yang mematikan.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar