Sabtu, 23 November 2013

Jika Engkau Adalah Raja



Hari Raya Kristus Raja (C) 24 November 2013
2Sam 5:1-3, Kol 1:12-20, Luk 23:35-43
Oleh : Pst. Tedjoworo, OSC

Beberapa negara dan kota di dunia yang dulu berbentuk kerajaan kini mulai mengalami tantangan serius dari rakyatnya sendiri. Negara Belanda, misalnya, mendapat serangan dari pihak yang tidak suka atau tidak setuju dengan keberadaan kalangan 'kerajaan'. Pada 2009 yang lalu perayaan 'Koninginnedag' (hari libur nasional memperingati ulang tahun ratu) dinodai dengan kejadian sebuah mobil yang sengaja menabrak parade yang mengelu-elukan keluarga kerajaan. Delapan orang tewas dan sepuluh luka-luka. Kepemimpinan raja atau ratu, meskipun memuaskan romantisme sebagian orang, ternyata membawa sikap antipati. Keluarga kerajaan tidak perlu bekerja keras untuk hidup serta mendapatkan segala fasilitas dan jaminan, sementara lebih banyak orang benar-benar hidup susah dan menderita setiap hari.

"Kalau kau adalah raja" ialah frase yang mengungkapkan lamunan di hadapan sekelompok kecil orang yang menikmati keselamatan tanpa perjuangan itu. Kita tahu persoalan terbesar di situ adalah ketidakadilan dan tiadanya solidaritas. Oleh karenanya, pemimpin yang didambakan zaman ini bukan lagi seorang raja, melainkan seseorang yang mau memperjuangkan keadilan bersama mereka yang dipimpinnya. Pemimpin yang menuntut keistimewaan akan ditolak, tetapi yang mau 'blusukan' di antara rakyat jelata akan dihormati dan diikuti. Model yang sama dibutuhkan komunitas iman kita, tapi tak selalu terwujud.

Istilah yang dipakai Lukas dalam Injil hari ini untuk para 'penjahat' yang disalibkan bersama Yesus ialah 'kakourgos' (Yun.) yang berarti pelaku kejahatan, preman, dan pendosa. Lukas sering menampilkan Yesus 'setara' dengan para kriminal. Dalam Lukas 6, misalnya, Sabda Bahagia diucapkan Yesus di "suatu tempat yang datar", tidak seperti Matius ("di atas bukit"). Yesus selalu berada di tempat kebanyakan orang kecil hidup dan bekerja. Ia bukan hanya disalibkan 'bersama' para penjahat, tapi juga diperlakukan sebagai penjahat. Itu sebabnya di tengah kesetaraan-Nya dengan orang kecil itu, Yesus berkali-kali diolok-olok dengan sebutan 'Mesias', 'raja', dan 'Kristus'. Namun, justru di situlah kita akan menemukan mengapa Ia sungguh adalah Raja.

Kata kunci dalam drama penyaliban ini kita temukan dalam permohonan penjahat yang bertobat. Berbeda dengan semua orang lain, Ia tidak mengolok-olok dengan berbagai sebutan satir. Ia memanggil dengan nama, "Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja." Hanya 'Yesus'. Kata 'Yesus' sebetulnya adalah 'Yeshua' atau 'Joshua', yang berarti 'Yahweh akan menyelamatkan'. Penjahat yang bertobat itu seakan mengatakan bahwa Yesus menyelamatkan bukan melalui sebutan-sebutan itu, tetapi hanya dari pribadi-Nya, dari siapa Dia apa adanya. Dalam kisah ini Yesus memang menyelamatkan seseorang, yakni si penjahat yang bertobat itu, "Hari ini juga engkau akan ada bersama-Ku di dalam Firdaus."

Mungkin dalam banyak kesempatan kita pun ingin menjadi penyelamat bagi orang lain. Kita ingin menjadi berguna, membawa kebaikan pada keluarga, para sahabat, dan kelompok kita. Namun betapa sering kita menampilkan diri tidak apa adanya lagi, melebih-lebihkan kemampuan kita, menempatkan diri terlalu tinggi dan seakan-akan paling berjasa atau paling bijaksana dalam banyak hal. Mungkin kita terlena oleh kekaguman seseorang atau fasilitas yang kita dapatkan karena suatu jabatan. Kita ingin lebih jauh menjadi 'raja' seperti dalam lamunan kita, namun tanpa disadari justru makin kurang solider dengan orang-orang kecil dan sederhana. Kadang-kadang kita perlu bertanya, apakah kita masih mau diperlakukan sebagai orang kebanyakan?

Dalam bacaan I (2 Samuel), segala suku Israel mendatangi Daud dan memintanya menjadi raja bagi mereka. Semula hanya satu suku yang mengakui Daud sebagai raja. Suku-suku lain lebih memilih Isyboset, anak Saul yang berperan sebagai raja. Baru setelah Isyboset terbunuh, suku-suku ini berpaling pada Daud. Sebenarnya menyedihkan bahwa mereka baru memilih Daud setelah pilihan mereka tidak ada lagi. Meskipun begitu, pelajaran mahal dari keinginan dipimpin seorang raja kini sudah mereka cerna. Yang lebih diperlukan adalah sosok pemimpin yang mau menjadi 'gembala' yang merakyat dan ikut berjuang dalam kesusahan umat, seperti yang difirmankan oleh Tuhan sendiri.

Kita semua dipanggil untuk menjadi pemimpin Kristiani, dan bukan untuk menjadi raja seperti dalam pandangan dunia. Kita sudah memiliki seorang raja yang mau solider dengan hidup dan perjuangan kita. Yesus menunjukkan bagaimana seharusnya menjadi pemimpin dan gembala bagi yang lain. Tidak perlu menampilkan diri secara berlebihan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kepemimpinan kita. Seperti Yesus, kita tak usah tersinggung bila diperlakukan sama seperti kebanyakan orang. Ketika dicemooh dan bahkan diperlakukan tidak adil oleh orang lain, kita masih bisa mendoakan dan mengampuni mereka!

Dari kisah Salib yang kita dengar hari ini, kita akan merenungkan sendiri apa yang masih bisa kita lakukan untuk menyelamatkan orang lain, pada saat kita sendiri berada dalam kesulitan dan diperlakukan tidak adil. Yesus menyelamatkan penjahat yang bertobat itu dari siapa diri-Nya yang apa  adanya. Kita tidak perlu melamun "kalau aku adalah raja", untuk dapat menyelamatkan orang lain hari ini.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar