Hari Raya Kristus Raja (C) 24 November 2013
2Sam 5:1-3, Kol 1:12-20, Luk 23:35-43
Oleh : Pst. Tedjoworo, OSC
Beberapa negara dan kota di dunia yang dulu
berbentuk kerajaan kini mulai mengalami
tantangan serius dari rakyatnya sendiri. Negara Belanda, misalnya, mendapat serangan dari pihak yang tidak
suka atau tidak setuju dengan keberadaan
kalangan 'kerajaan'. Pada 2009 yang lalu perayaan 'Koninginnedag' (hari libur nasional memperingati ulang
tahun ratu) dinodai dengan kejadian sebuah
mobil yang sengaja menabrak parade yang mengelu-elukan keluarga kerajaan. Delapan orang tewas dan
sepuluh luka-luka. Kepemimpinan raja atau
ratu, meskipun memuaskan romantisme sebagian orang, ternyata membawa
sikap antipati. Keluarga kerajaan
tidak perlu bekerja keras untuk hidup serta
mendapatkan segala fasilitas dan jaminan, sementara lebih banyak orang benar-benar hidup susah dan menderita
setiap hari.
"Kalau kau adalah raja" ialah frase yang
mengungkapkan lamunan di hadapan sekelompok
kecil orang yang menikmati keselamatan tanpa perjuangan itu. Kita tahu persoalan terbesar di situ adalah
ketidakadilan dan tiadanya solidaritas.
Oleh karenanya, pemimpin yang didambakan zaman ini bukan lagi seorang raja, melainkan seseorang yang
mau memperjuangkan keadilan bersama mereka
yang dipimpinnya. Pemimpin yang menuntut keistimewaan akan ditolak, tetapi yang mau 'blusukan' di antara
rakyat jelata akan dihormati dan diikuti.
Model yang sama dibutuhkan komunitas iman kita, tapi tak selalu terwujud.
Istilah yang dipakai Lukas dalam Injil hari ini
untuk para 'penjahat' yang disalibkan
bersama Yesus ialah 'kakourgos' (Yun.) yang berarti pelaku kejahatan, preman, dan pendosa. Lukas
sering menampilkan Yesus 'setara' dengan
para kriminal. Dalam Lukas 6, misalnya, Sabda Bahagia diucapkan Yesus di "suatu tempat yang datar",
tidak seperti Matius ("di atas bukit"). Yesus selalu berada di tempat kebanyakan orang kecil hidup dan
bekerja. Ia bukan hanya disalibkan
'bersama' para penjahat, tapi juga diperlakukan sebagai penjahat. Itu sebabnya di tengah kesetaraan-Nya dengan orang
kecil itu, Yesus berkali-kali
diolok-olok dengan sebutan 'Mesias', 'raja', dan 'Kristus'. Namun, justru di situlah kita akan menemukan mengapa
Ia sungguh adalah Raja.
Kata kunci dalam drama penyaliban ini kita temukan
dalam permohonan penjahat yang
bertobat. Berbeda dengan semua orang lain, Ia tidak mengolok-olok dengan berbagai sebutan satir. Ia
memanggil dengan nama, "Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja." Hanya
'Yesus'. Kata 'Yesus' sebetulnya
adalah 'Yeshua' atau 'Joshua', yang berarti 'Yahweh akan menyelamatkan'. Penjahat yang bertobat itu seakan mengatakan
bahwa Yesus menyelamatkan bukan
melalui sebutan-sebutan itu, tetapi hanya dari pribadi-Nya, dari siapa Dia apa adanya. Dalam kisah ini Yesus
memang menyelamatkan seseorang,
yakni si penjahat yang bertobat itu, "Hari ini juga engkau akan ada bersama-Ku di dalam Firdaus."
Mungkin dalam banyak kesempatan kita pun ingin
menjadi penyelamat bagi orang lain.
Kita ingin menjadi berguna, membawa kebaikan pada keluarga, para sahabat, dan kelompok kita. Namun
betapa sering kita menampilkan diri tidak
apa adanya lagi, melebih-lebihkan kemampuan kita, menempatkan diri
terlalu tinggi dan seakan-akan
paling berjasa atau paling bijaksana dalam banyak hal. Mungkin kita terlena oleh kekaguman seseorang atau
fasilitas yang kita dapatkan
karena suatu jabatan. Kita ingin lebih jauh menjadi 'raja' seperti dalam lamunan kita, namun tanpa
disadari justru makin kurang solider dengan
orang-orang kecil dan sederhana. Kadang-kadang kita perlu bertanya,
apakah kita masih mau diperlakukan
sebagai orang kebanyakan?
Dalam bacaan I (2 Samuel), segala suku Israel
mendatangi Daud dan memintanya menjadi
raja bagi mereka. Semula hanya satu suku yang mengakui Daud sebagai raja. Suku-suku lain lebih memilih
Isyboset, anak Saul yang berperan sebagai
raja. Baru setelah Isyboset terbunuh, suku-suku ini berpaling pada Daud. Sebenarnya menyedihkan bahwa mereka
baru memilih Daud setelah pilihan mereka tidak
ada lagi. Meskipun begitu, pelajaran mahal dari keinginan dipimpin seorang raja kini sudah mereka cerna.
Yang lebih diperlukan adalah sosok pemimpin
yang mau menjadi 'gembala' yang merakyat dan ikut berjuang dalam kesusahan umat, seperti yang
difirmankan oleh Tuhan sendiri.
Kita semua dipanggil untuk menjadi pemimpin
Kristiani, dan bukan untuk menjadi
raja seperti dalam pandangan dunia. Kita sudah memiliki seorang raja yang mau solider dengan hidup dan
perjuangan kita. Yesus menunjukkan bagaimana
seharusnya menjadi pemimpin dan gembala bagi yang lain. Tidak perlu menampilkan diri secara
berlebihan dalam kehidupan sehari-hari dan
dalam kepemimpinan kita. Seperti Yesus, kita tak usah tersinggung bila diperlakukan sama seperti kebanyakan
orang. Ketika dicemooh dan bahkan diperlakukan
tidak adil oleh orang lain, kita masih bisa mendoakan dan mengampuni
mereka!
Dari kisah Salib yang kita dengar hari ini, kita
akan merenungkan sendiri apa yang
masih bisa kita lakukan untuk menyelamatkan orang lain, pada saat kita sendiri berada dalam kesulitan dan
diperlakukan tidak adil. Yesus menyelamatkan
penjahat yang bertobat itu dari siapa diri-Nya yang apa adanya. Kita tidak perlu
melamun "kalau aku adalah raja", untuk dapat menyelamatkan orang lain hari ini.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar