Sir 3:2-6.12-14, Kol 3:12-21, Mat 2:13-15.19-23
Oleh:
Pst. H. Tedjoworo, OSC
Kini penampilan adalah segala-galanya. Warna warni,
tampak luar, foto produk, cara
penyajian makanan, jenis kain dari pakaian hingga kehalusan kulit dan kecerahan wajah seseorang
adalah penampilan yang terus menerus kita
nilai dalam hidup sehari-hari. Kita ingin dikelilingi segala sesuatu yang menyegarkan mata, memuaskan nafsu
dan batin, dan secara tak sadar semua yang
tidak menyenangkan untuk dilihat cenderung diabaikan. Budaya 'penonton' yang haus keindahan macam ini pernah
dikritik oleh seorang filsuf karena merendahkan
dan mempermainkan manusia hingga sebatas yang nampak bagus atau enak. Ada perusahaan yang menghabiskan
biaya sangat besar hanya untuk membuat
foto makanan supaya terlihat lebih lezat dari aslinya.
Ketika penampilan menjadi ukuran relasi, persoalan
yang lebih gawat bermunculan.
Pertemanan ditentukan bentuk badan, warna kulit, merk pakaian atau tas yang dikenakan, keindahan
rambut, dan tentu saja, wajah seseorang. Relasi
yang berdasarkan hal-hal ini lekas jadi relasi yang membosankan atau sebaliknya sangat 'posesif' (memiliki
untuk diri sendiri). Dan karena kita cenderung
memandang orang (lain) yang penampilannya lebih menarik, relasi
yang sedang dijalani pun makin sulit dipertahankan. Kita sulit
setia, gara-gara kecanduan pada
keindahan (yang lain). Syukurlah, iman kita bukan hanya soal keindahan.
Hari-hari dan masa setelah kelahiran Yesus tidak
seindah lukisan peristiwa Natal
yang dibayangkan orang. Matius menggambarkan masa itu sebagai masa yang sulit bagi orangtua Yesus. Ancaman
pembunuhan, perjalanan yang melelahkan
ke Mesir, ratapan para ibu yang bayinya dibunuh Herodes, ketakutan di kampung halaman sendiri; semua ini bukan pengalaman
yang indah untuk dikenangkan
apalagi dijalani. Bahkan Nazaret, tempat tinggal terakhir untuk membesarkan Yesus, pun bukan
tempat yang ideal. Entah Matius menemukan
nama daerah itu dari mana, sebab kenyataannya tidak ada nabi Perjanjian
Lama yang pernah menyebut nama
itu. Yohanes malah mempertanyakan melalui Natanel, "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?"
(Yoh 1:46). Tak terbayang masa
sulit yang dialami keluarga Yesus.
Akan tetapi, keluarga kudus ini tetap bertahan dan
ditunjukkan jalan oleh malaikat
Tuhan melalui mimpi. Malaikat itu bukan hanya nampak, tetapi "membawa kepada terang" (Yun.
'phanetai', akar dari kata 'epifani'). Keluarga
ini, melalui pengalaman Yusuf, diarahkan pada keputusan-keputusan dan jalan yang terang. Mereka tidak
tenggelam dalam perasaan sentimental, meski
menyenangkan, tentang kampung halaman yang indah untuk membesarkan Yesus. Mereka justru dibawa ke Nazaret,
daerah yang kedengaran tidak penting,
tetapi membawa keselamatan. 'Nazaret' berarti 'yang dilindungi'. Kekudusan keluarga ini terletak pada
relasi yang dijaga dan dilindungi oleh Sang
Terang itu!
Dari sekian puluh tahun hidup kita, berapa banyak
relasi yang masih dijaga dan
dilindungi dalam terang? Sebagian, kalau bukan sebagian besar, relasi kita tak dapat bertahan lama. Sebabnya
banyak. Kemarahan, nafsu, ketakutan, pengkhianatan,
rasa bosan, kecewa, ketidaksetiaan. Semua alasan ini gelap dan menodai setiap relasi, menjadikan
relasi kita pada suatu masa menjadi tidak
suci lagi. Padahal seharusnya relasi itu menyenangkan dan menghidupkan. Di masa ini banyak
'relasi' bahkan hanya bisa bertahan beberapa
jam. Kekaguman pada seseorang lekas hilang ketika ada yang lebih menarik pada yang lain. Orang
berganti-ganti relasi seperti mengganti saluran
televisi. Kesucian relasi tidak lagi dijaga dan dilindungi.
Kitab Sirakh (Bacaan I) menyampaikan
nasihat-nasihat bijaksana bagi setiap keluarga,
namun juga bagi setiap relasi, agar lebih tahan lama. Kitab ini menghubungkan rasa hormat, doa,
ketaatan, ketenangan, sikap memaafkan, dan
pemulihan dari dosa. Memang, relasi yang paling sehat dan suci dimulai
dalam setiap keluarga. Kalau
nilai-nilai itu kita pelajari di dalamnya, niscaya relasi kita dengan siapapun akan menjadi 'suci', artinya, berkenan
pada dan dijaga oleh Tuhan
sendiri. Meskipun begitu, kalau belum mengalaminya, kita selalu bisa mempelajarinya dalam kehidupan iman bersama anggota
'keluarga' yang lain.
Pesta Keluarga Kudus, Yesus, Maria, dan Yusuf, ini
merupakan saat untuk mengoreksi
relasi-relasi yang kita jalani. Kita tidak diajak untuk mencari-cari kesalahan dalam diri pasangan hidup atau para
sahabat kita. Kita diajak untuk
menyadari bahwa karena iman kita, setiap relasi mesti dijaga, bukan demi penampilan atau keindahannya, melainkan agar
lebih 'menghidupkan'. Mungkin kita
perlu membersihkan relasi yang sekarang mulai diwarnai atau dimotivasi oleh keinginan pribadi kita sendiri.
Kita tak perlu berusaha supaya
relasi kita kembali menyenangkan "seperti dulu lagi", tetapi lebih baik berusaha supaya lebih
menghidupkan, membawa orang lain pada relasi
yang 'sehat dan suci'.
Berelasi secara sehat dan suci dalam iman Kristiani
berarti tidak lagi diwarnai oleh
ketakutan akan kehilangan siapapun yang kita kasihi: sebuah relasi yang 'melepaskan-dan-membebaskan',
karena semua orang adalah 'milik Allah',
bukan milik kita. Kalau percaya akan hal itu, kita bisa membayangkan bagaimana Allah akan melindungi dan
menjaga mereka secara luar biasa. Seperti
Yesus, kita dan mereka yang kita kasihi akan disebut 'orang Nazaret', yang dilindungi Allah.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar