Sabtu, 28 Desember 2013

Merayakan Relasi Suci

Pesta Keluarga Kudus (A)
Sir 3:2-6.12-14, Kol 3:12-21, Mat 2:13-15.19-23
Oleh: Pst. H. Tedjoworo, OSC

Kini penampilan adalah segala-galanya. Warna warni, tampak luar, foto produk, cara penyajian makanan, jenis kain dari pakaian hingga kehalusan kulit dan kecerahan wajah seseorang adalah penampilan yang terus menerus kita nilai dalam hidup sehari-hari. Kita ingin dikelilingi segala sesuatu yang menyegarkan mata, memuaskan nafsu dan batin, dan secara tak sadar semua yang tidak menyenangkan untuk dilihat cenderung diabaikan. Budaya 'penonton' yang haus keindahan macam ini pernah dikritik oleh seorang filsuf karena merendahkan dan mempermainkan manusia hingga sebatas yang nampak bagus atau enak. Ada perusahaan yang menghabiskan biaya sangat besar hanya untuk membuat foto makanan supaya terlihat lebih lezat dari aslinya.

Ketika penampilan menjadi ukuran relasi, persoalan yang lebih gawat bermunculan. Pertemanan ditentukan bentuk badan, warna kulit, merk pakaian atau tas yang dikenakan, keindahan rambut, dan tentu saja, wajah seseorang. Relasi yang berdasarkan hal-hal ini lekas jadi relasi yang membosankan atau sebaliknya sangat 'posesif' (memiliki untuk diri sendiri). Dan karena kita cenderung memandang orang (lain) yang penampilannya lebih menarik, relasi  yang sedang dijalani pun makin sulit dipertahankan. Kita sulit setia, gara-gara kecanduan pada keindahan (yang lain). Syukurlah, iman kita bukan hanya soal keindahan.

Hari-hari dan masa setelah kelahiran Yesus tidak seindah lukisan peristiwa Natal yang dibayangkan orang. Matius menggambarkan masa itu sebagai masa yang sulit bagi orangtua Yesus. Ancaman pembunuhan, perjalanan yang melelahkan ke Mesir, ratapan para ibu yang bayinya dibunuh Herodes, ketakutan di kampung halaman sendiri; semua ini bukan pengalaman yang indah untuk dikenangkan apalagi dijalani. Bahkan Nazaret, tempat tinggal terakhir untuk membesarkan Yesus, pun bukan tempat yang ideal. Entah Matius menemukan nama daerah itu dari mana, sebab kenyataannya tidak ada nabi Perjanjian Lama yang pernah menyebut nama itu. Yohanes malah mempertanyakan melalui Natanel, "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?" (Yoh 1:46). Tak terbayang masa sulit yang dialami keluarga Yesus.

Akan tetapi, keluarga kudus ini tetap bertahan dan ditunjukkan jalan oleh malaikat Tuhan melalui mimpi. Malaikat itu bukan hanya nampak, tetapi "membawa kepada terang" (Yun. 'phanetai', akar dari kata 'epifani'). Keluarga ini, melalui pengalaman Yusuf, diarahkan pada keputusan-keputusan dan jalan yang terang. Mereka tidak tenggelam dalam perasaan sentimental, meski menyenangkan, tentang kampung halaman yang indah untuk membesarkan Yesus. Mereka justru dibawa ke Nazaret, daerah yang kedengaran tidak penting, tetapi membawa keselamatan. 'Nazaret' berarti 'yang dilindungi'. Kekudusan keluarga ini terletak pada relasi yang dijaga dan dilindungi oleh Sang Terang itu!

Dari sekian puluh tahun hidup kita, berapa banyak relasi yang masih dijaga dan dilindungi dalam terang? Sebagian, kalau bukan sebagian besar, relasi kita tak dapat bertahan lama. Sebabnya banyak. Kemarahan, nafsu, ketakutan, pengkhianatan, rasa bosan, kecewa, ketidaksetiaan. Semua alasan ini gelap dan menodai setiap relasi, menjadikan relasi kita pada suatu masa menjadi tidak suci lagi. Padahal seharusnya relasi itu menyenangkan dan menghidupkan. Di masa ini banyak 'relasi' bahkan hanya bisa bertahan beberapa jam. Kekaguman pada seseorang lekas hilang ketika ada yang lebih menarik pada yang lain. Orang berganti-ganti relasi seperti mengganti saluran televisi. Kesucian relasi tidak lagi dijaga dan dilindungi.

Kitab Sirakh (Bacaan I) menyampaikan nasihat-nasihat bijaksana bagi setiap keluarga, namun juga bagi setiap relasi, agar lebih tahan lama. Kitab ini menghubungkan rasa hormat, doa, ketaatan, ketenangan, sikap memaafkan, dan pemulihan dari dosa. Memang, relasi yang paling sehat dan suci dimulai dalam setiap keluarga. Kalau nilai-nilai itu kita pelajari di dalamnya, niscaya relasi kita dengan siapapun akan menjadi 'suci', artinya, berkenan pada dan dijaga oleh Tuhan sendiri. Meskipun begitu, kalau belum mengalaminya, kita selalu bisa mempelajarinya dalam kehidupan iman bersama anggota 'keluarga' yang lain.

Pesta Keluarga Kudus, Yesus, Maria, dan Yusuf, ini merupakan saat untuk mengoreksi relasi-relasi yang kita jalani. Kita tidak diajak untuk mencari-cari kesalahan dalam diri pasangan hidup atau para sahabat kita. Kita diajak untuk menyadari bahwa karena iman kita, setiap relasi mesti dijaga, bukan demi penampilan atau keindahannya, melainkan agar lebih 'menghidupkan'. Mungkin kita perlu membersihkan relasi yang sekarang mulai diwarnai atau dimotivasi oleh keinginan pribadi kita sendiri. Kita tak perlu berusaha supaya relasi kita kembali menyenangkan "seperti dulu lagi", tetapi lebih baik berusaha supaya lebih menghidupkan, membawa orang lain pada relasi yang 'sehat dan suci'.

Berelasi secara sehat dan suci dalam iman Kristiani berarti tidak lagi diwarnai oleh ketakutan akan kehilangan siapapun yang kita kasihi: sebuah relasi yang 'melepaskan-dan-membebaskan', karena semua orang adalah 'milik Allah', bukan milik kita. Kalau percaya akan hal itu, kita bisa membayangkan bagaimana Allah akan melindungi dan menjaga mereka secara luar biasa. Seperti Yesus, kita dan mereka yang kita kasihi akan disebut 'orang Nazaret', yang dilindungi Allah.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar