Sabtu, 14 Desember 2013

Percaya, Bukan Hanya Berharap

Minggu Adven III (A)
Yes 35:1-6a.10, Yak 5:7-10, Mat 11:2-11
Oleh Pst. H. Tedjoworo, OSC

Proses pembimbingan skripsi antara dosen pembimbing dan mahasiswa memuat sebuah pelajaran berharga. Di awal proses, mahasiswa memilih dan mengusulkan pembimbing yang kompeten, sesuai tema yang diulas. Ia punya banyak harapan. Mungkin ia pernah mengikuti kuliah dosen itu dan merasa terkesan dengan materi serta cara penyampaiannya. Namun, dalam perkembangan, tugas dan ketegasan dosen mulai menekan dan terasa berat. Muncul kekecewaan karena harapan dan bayangan semula tidak terpenuhi. Disangka penulisan akan mudah di bawah bimbingannya. Ternyata tuntutannya tinggi. Lama tak ada kabar kelanjutannya, dan akhirnya harus mengajukan proposal lagi dan mencari pembimbing yang baru. Cerita lama.

Hal-hal yang dianggap tak sesuai harapan sering muncul dalam tuntutan situasi atau dari orang lain, yang sebetulnya demi perkembangan kita sendiri. Kita sering merasa kecewa 'karena' tuntutan dari orang lain. Padahal, kita sebenarnya kecewa karena harapan kita sendiri yang kurang rendah hati, kurang terbuka, kurang mau percaya pada orang lain. Ini adalah soal iman. Masalahnya, harapan kita kadang-kadang bergeser menjadi kecenderungan menguasai dan mengatur orang lain, supaya 'sesuai' dengan keinginan kita sendiri. Harapan kita berubah jadi berbahaya manakala berwujud keinginan untuk menguasai orang lain atau sekedar mencari pengakuan untuk diri sendiri.

Matius dalam Injilnya menampilkan Yesus sebagai pembawa hukum yang baru. Lebih dari Musa, Yesus tidak hanya memenuhi Hukum Taurat, tetapi bahkan menyempurnakannya. Yesus adalah Mesias yang berbeda dari harapan banyak orang pada waktu itu. Bahkan seorang nabi besar seperti Yohanes Pembaptis pun, bisa menjadi ragu-ragu dan bertanya-tanya melalui murid-muridnya tentang apakah Yesus sungguh sungguh Mesias yang dinantikan ataukah mereka "harus menantikan orang lain". Yohanes merasa ragu-ragu karena pekerjaan Yesus berbeda dengan yang diramalkannya (Mat 3: "menebang pohon dengan kapak", memegang "alat penampi", dan membakar "debu jerami" di dalam api yang tidak terpadamkan).

Ternyata, Yesus justru membuat "orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta jadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan orang miskin menerima kabar baik". Padahal, semua orang berharap Yesus akan membebaskan Israel dari cengkeraman Kekaisaran Romawi. Namun, dengan mujizat-mujizat yang dilakukan-Nya itu, Yesus membuat banyak orang berpikir kembali, bahwa keselamatan itu bukan hanya perkara politik, tetapi seluruh jiwa dan badan mereka yang selama ini hidupnya malang! Dan mereka yang "tidak menjadi kecewa dan menolak Yesus" akan disebut "berbahagia". Yesus tidak bisa tunduk pada sekedar keinginan banyak orang. Kalau orang berharap, sebaiknya mereka siap dengan konsekuensinya.

Kita pun sedang menantikan Penyelamat kita. Sayangnya, kita sering mau menentukan sendiri 'penyelamat' macam apa yang kita nantikan itu. Kita tempelkan semua harapan (baca: keinginan) kita pada semua orang yang mau membantu kita bertumbuh dalam hidup. Kita mau dibimbing, 'asal' bimbingannya menyenangkan hati kita. Kita mau dibantu, 'asal' bentuk dan jumlah bantuannya sesuai dengan bayangan dan kebutuhan kita. Kita mau disembuhkan dari penyakit, 'asal' obatnya tidak pahit dan dokternya baik hati. Kita mau diselamatkan, tapi kita sendiri yang serba menentukan bagaimana caranya. Rasa-rasanya kita semakin tidak tahu diri kalau berharap seperti itu, atau mungkin kita punya kemauan sendiri dan sulit untuk percaya.

Gambaran-gambaran Yesaya, dalam Bacaan I, mengingatkan kegembiraan dalam pengharapan, karena orang-orang Israel pada waktu itu diselamatkan dari pembuangan. Mereka akan kembali ke Sion dalam bimbingan Tuhan. Meskipun perjalanan masih akan berat dan panjang, namun itu sudah dibayangkan dengan sukacita. Tidak perlu takut atau khawatir bila tangan lemah lesu dan lutut goyah di sepanjang jalan, sebab Tuhan akan melakukan mujizat-mujizat yang mengagumkan di sana. Israel melihat bahwa perjalanan pulang itu tidak akan mudah, tetapi mereka percaya bahwa semua itu pun demi keselamatan mereka, sesuatu yang pantas untuk dijalani dengan setia.

Apakah kita menantikan Penyelamat kita dengan percaya dan sukacita? Ataukah kita selalu cemas dan khawatir bahwa orang-orang yang sebetulnya dikirim Tuhan untuk menyelamatkan kita ternyata tidak sesuai dengan harapan kita? Masih banyak pertanyaan yang perlu kita jawab dengan jujur di masa Adven ini, lebih-lebih karena kita terbiasa ingin membuat orang lain menjadi 'sesuai' dengan harapan kita. Kalau sikap kita masih demikian, cepat atau lambat kita akan merasa lelah dengan bimbingan Tuhan, dan kita lari dari satu figur ke figur yang lain sekedar hendak memuaskan kemauan kita sendiri.

Mulai kini, mari belajar percaya, bukan hanya berharap. Kepercayaan itu mengandaikan sebuah kerelaan sederhana untuk dibimbing bukan dengan cara kita sendiri. Itu juga berarti bahwa kita masih perlu berjuang dengan sukacita untuk melakukan dan memenuhi harapan Yesus atas diri kita. Ia pasti datang. Semoga kita siap, juga dengan segala konsekuensinya.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar