Yes 35:1-6a.10, Yak 5:7-10, Mat 11:2-11
Oleh
Pst. H. Tedjoworo, OSC
Proses pembimbingan skripsi antara dosen pembimbing
dan mahasiswa memuat sebuah
pelajaran berharga. Di awal proses, mahasiswa memilih dan mengusulkan pembimbing yang kompeten, sesuai tema
yang diulas. Ia punya banyak harapan. Mungkin
ia pernah mengikuti kuliah dosen itu dan merasa terkesan dengan materi serta cara penyampaiannya.
Namun, dalam perkembangan, tugas dan ketegasan
dosen mulai menekan dan terasa berat. Muncul kekecewaan karena harapan dan bayangan semula tidak
terpenuhi. Disangka penulisan akan mudah di
bawah bimbingannya. Ternyata tuntutannya tinggi. Lama tak ada kabar kelanjutannya, dan akhirnya harus
mengajukan proposal lagi dan mencari pembimbing
yang baru. Cerita lama.
Hal-hal yang dianggap tak sesuai harapan sering
muncul dalam tuntutan situasi atau
dari orang lain, yang sebetulnya demi perkembangan kita sendiri. Kita sering merasa kecewa 'karena' tuntutan dari orang
lain. Padahal, kita sebenarnya
kecewa karena harapan kita sendiri yang kurang rendah hati, kurang terbuka, kurang mau percaya pada orang lain.
Ini adalah soal iman. Masalahnya,
harapan kita kadang-kadang bergeser menjadi
kecenderungan menguasai dan mengatur orang lain, supaya 'sesuai' dengan keinginan kita sendiri. Harapan kita
berubah jadi berbahaya manakala berwujud
keinginan untuk menguasai orang lain atau sekedar mencari pengakuan untuk diri sendiri.
Matius dalam Injilnya menampilkan Yesus sebagai pembawa
hukum yang baru. Lebih dari Musa,
Yesus tidak hanya memenuhi Hukum Taurat, tetapi bahkan menyempurnakannya. Yesus adalah Mesias yang berbeda dari harapan
banyak orang pada waktu itu.
Bahkan seorang nabi besar seperti Yohanes Pembaptis pun, bisa menjadi ragu-ragu dan bertanya-tanya melalui
murid-muridnya tentang apakah
Yesus sungguh sungguh Mesias yang dinantikan ataukah mereka "harus menantikan orang
lain". Yohanes merasa ragu-ragu karena pekerjaan Yesus berbeda dengan yang diramalkannya (Mat 3: "menebang
pohon dengan kapak", memegang
"alat penampi", dan membakar "debu jerami" di dalam api yang tidak terpadamkan).
Ternyata, Yesus justru membuat "orang buta
melihat, orang lumpuh berjalan, orang
kusta jadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan orang miskin menerima kabar baik".
Padahal, semua orang berharap Yesus akan membebaskan
Israel dari cengkeraman Kekaisaran Romawi. Namun, dengan mujizat-mujizat yang dilakukan-Nya itu, Yesus membuat banyak
orang berpikir kembali, bahwa
keselamatan itu bukan hanya perkara politik, tetapi seluruh jiwa dan badan mereka yang selama ini
hidupnya malang! Dan mereka yang "tidak
menjadi kecewa dan menolak Yesus" akan disebut "berbahagia".
Yesus tidak bisa tunduk pada
sekedar keinginan banyak orang. Kalau orang berharap, sebaiknya mereka siap dengan konsekuensinya.
Kita pun sedang menantikan Penyelamat kita.
Sayangnya, kita sering mau menentukan
sendiri 'penyelamat' macam apa yang kita nantikan itu. Kita tempelkan semua harapan (baca:
keinginan) kita pada semua orang yang mau
membantu kita bertumbuh dalam hidup. Kita mau dibimbing, 'asal'
bimbingannya menyenangkan hati
kita. Kita mau dibantu, 'asal' bentuk dan jumlah bantuannya sesuai dengan bayangan dan kebutuhan kita. Kita mau
disembuhkan dari penyakit, 'asal'
obatnya tidak pahit dan dokternya baik hati. Kita mau diselamatkan, tapi kita sendiri yang serba menentukan bagaimana
caranya. Rasa-rasanya kita semakin
tidak tahu diri kalau berharap seperti itu, atau mungkin kita punya kemauan sendiri dan sulit untuk percaya.
Gambaran-gambaran Yesaya, dalam Bacaan I,
mengingatkan kegembiraan dalam pengharapan,
karena orang-orang Israel pada waktu itu diselamatkan dari pembuangan. Mereka akan kembali ke Sion
dalam bimbingan Tuhan. Meskipun perjalanan
masih akan berat dan panjang, namun itu sudah dibayangkan dengan sukacita. Tidak perlu takut atau
khawatir bila tangan lemah lesu dan lutut
goyah di sepanjang jalan, sebab Tuhan akan melakukan mujizat-mujizat
yang mengagumkan di sana. Israel
melihat bahwa perjalanan pulang itu tidak akan mudah, tetapi mereka percaya bahwa semua itu pun demi
keselamatan mereka, sesuatu yang
pantas untuk dijalani dengan setia.
Apakah kita menantikan Penyelamat kita dengan
percaya dan sukacita? Ataukah kita
selalu cemas dan khawatir bahwa orang-orang yang sebetulnya dikirim Tuhan untuk menyelamatkan kita ternyata
tidak sesuai dengan harapan kita? Masih
banyak pertanyaan yang perlu kita jawab dengan jujur di masa Adven ini, lebih-lebih karena kita terbiasa
ingin membuat orang lain menjadi 'sesuai'
dengan harapan kita. Kalau sikap kita masih demikian, cepat atau lambat kita akan merasa lelah dengan
bimbingan Tuhan, dan kita lari dari satu
figur ke figur yang lain sekedar hendak memuaskan kemauan kita sendiri.
Mulai kini, mari belajar percaya, bukan hanya
berharap. Kepercayaan itu mengandaikan
sebuah kerelaan sederhana untuk dibimbing bukan dengan cara kita sendiri. Itu juga berarti bahwa
kita masih perlu berjuang dengan sukacita
untuk melakukan dan memenuhi harapan Yesus atas diri kita. Ia pasti datang. Semoga kita siap, juga dengan
segala konsekuensinya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar