Sabtu, 21 Desember 2013

Selamatkan Dengan Belas Kasih

Minggu Adven IV (A)
Yes 7:10-14, Rm 1:1-7, Mat 1:18-24
Oleh : Pst.H. Tedjoworo, OSC

'Seperti kepiting rebus' itu ungkapan untuk menggambarkan wajah seseorang yang memerah karena rasa malu. Di kesempatan lain orang yang ketahuan berbuat salah serasa mau 'menyembunyikan wajahnya' atau menghilang saja dari tempatnya berada. Ada lagi yang mengatakan dalam hati, "tidak tahu wajah harus ditaruh di mana," karena tidak siap menghadapi tatapan mata banyak orang. Bahasa kita itu mungkin terdengar lucu di telinga, tapi situasi sesungguhnya benar-benar tidak nyaman dialami oleh yang bersangkutan. Beberapa kejadian yang memalukan tetap membekas lama di hati kita, karena pada dasarnya kita tidak pernah siap menghadapi dan menerimanya.

Bagaimana kalau posisinya terbalik? Bagaimana kalau kita yang menyaksikan seseorang merasa malu, atau dipermalukan, di depan banyak orang? Bukan sekali dua kali hal ini kita jumpai. Biasanya hati nurani kita akan mulai terusik. Meskipun orang itu salah dan seakan-akan 'pantas' dihukum dengan rasa malu, tetapi toh ada sesuatu dalam diri kita yang tidak rela dia hancur. Kita berharap semoga kejadian itu segera berlalu supaya dia tidak terlalu lama menanggung malu. Akan tetapi, pengaruh jahat dunia begitu kuat. Sungguh diperlukan iman, untuk beranjak dan menyelamatkan orang dari pengaruh itu.

Injil Matius menampilkan sosok Yusuf, tunangan Maria, sebagai pribadi yang 'adil' (Yun. 'dikaios', yang dalam Kitab Suci kita diterjemahkan 'tulus hati'). Matius bukan tanpa maksud menuliskan demikian, sebab sifat adil itu persis adalah gambaran Allah dalam diri Yesus yang dikandung Maria. Hanya saja, seperti akan kita lihat, keadilan Allah berbeda dengan pandangan dunia. Maria mengandung, sebelum hidup bersama dengan Yusuf. Siapapun segera tahu hal itu adalah masalah. Siapa ayah anak ini? Yusuf tidak mau mengekspos Maria di depan cemoohan publik, dan bermaksud menceraikannya dengan diam-diam. Yusuf tidak rela Maria menjadi bulan-bulanan publik. Di mata hukum Yahudi, Maria bisa dihukum mati, demikian juga ayah dari bayinya.

Di sini kita baru mengerti bahwa Yusuf memang sosok yang adil, sebab ia melakukan keadilan versi Allah: belas kasih. Ia diingatkan malaikat dalam mimpi, agar tidak takut untuk bersikap adil terhadap Maria, yakni dengan mengambil Maria sebagai istrinya dan bertanggung jawab atas anak yang dikandungnya. Keadilan, bagi Allah, adalah belas kasih dan tanggung jawab, bukan hukuman. Hal yang sama ini kelak akan diajarkan oleh Yesus sendiri ketika bersabda, "Yang Kukehendak ialah belas kasihan dan bukan persembahan" (Mat 9:13, 12:7). Keputusan Yusuf menyelamatkan Maria dari hukuman agama Yahudi menunjukkan kemenangan belas kasih Allah atas pengadilan dunia atas nama agama. Dalam kehidupan iman, banyak implikasinya.

Agama di zaman kita bisa memperparah situasi manusia dalam hal menunjukkan dosa dan kesalahannya. Pengaruhnya banyak kita temui dalam hidup bersama sehari-hari. Pembicaraan tentang seseorang yang tidak disukai cepat berkembang menjadi gosip yang menjatuhkan dan mencari-cari kesalahan orang. Bahkan kini kita makin berani dalam hal mempermalukan seseorang di depan publik. Kita menyindir dengan cara kasar, dengan menunjuk muka orang padahal hanya berbekal sepotong cerita yang kita dengar. Entah berapa banyak wajah memerah dan telinga memanas yang sudah kita timbulkan; seakan-akan rasa malu orang lain adalah kepuasan hati kita. Itukah adil?

Kalau menuruti pemikiran dunia, tindakan Ahas, raja Yudea, yang jahat di mata Tuhan hanya akan mendatangkan hukuman (Bacaan I). Akan tetapi, Tuhan masih mau mengingatkannya melalui nabi Yesaya. Bahkan ketika Ahas menolak untuk meminta tanda dari Tuhan, Yesaya meyakinkan bahwa Tuhan tetap akan memberikan 'tanda', yakni bahwa kelak seorang perempuan muda akan mengandung anak yang disebut 'Immanuel', Allah beserta kita. Bahkan di tengah kejahatan manusia, rencana Allah tetap sama, yakni menyelamatkannya! Seperti apapun reaksi kita terhadap tawaran Allah, selalu akan ada nabi-nabi yang tetap menawarkan keselamatan, dan bukan hukuman.

Hari ini juga kita diajak untuk mengubah kesan yang keliru tentang Kristianitas. Gereja hadir di dunia bukan untuk menunjukkan dosa setiap orang, tetapi menghadirkan sosok Allah yang mau menyelamatkan dengan belas kasih. Terhadap berbagai situasi yang tidak nyaman, yang mempermalukan dan memojokkan saudara-saudara kita, Allah menghendaki kita mau beranjak dan menyelamatkannya dari rasa malu. Allah punya keadilan yang berbeda, yang tidak berdasarkan sanksi dan konsekuensi, melainkan belas kasih dan tanggung jawab. Kita perlu lebih sering mengikuti hati nurani kita, digerakkan oleh rasa 'tidak rela' melihat seseorang yang terus menerus dipermalukan.

Bukankah itu artinya menyelamatkan orang lain? Kita bukan 'superhero' yang dalam film-film punya kekuatan luar biasa. Menjadi Kristiani pun tidak akan membuat kita tiba-tiba melakukan mujizat. Justru seperti Yusuf kita akan dibuat berani memutuskan secara 'adil', menurut versi Allah. Kita bisa mulai berbuat sesuatu untuk membebaskan orang lain dari rasa malu dan bersalah, mengapresiasi dan mengangkatnya dari keterpurukan di mata banyak orang. Keberanian kita akan menunjukkan bahwa Allah sungguh-sungguh beserta kita.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar