Yes 7:10-14, Rm 1:1-7, Mat 1:18-24
Oleh
: Pst.H. Tedjoworo, OSC
'Seperti kepiting rebus' itu ungkapan untuk
menggambarkan wajah seseorang yang
memerah karena rasa malu. Di kesempatan lain orang yang ketahuan berbuat salah serasa mau
'menyembunyikan wajahnya' atau menghilang saja dari tempatnya berada. Ada lagi yang mengatakan dalam hati,
"tidak tahu wajah harus
ditaruh di mana," karena tidak siap menghadapi tatapan mata banyak orang. Bahasa kita itu mungkin terdengar
lucu di telinga, tapi situasi sesungguhnya
benar-benar tidak nyaman dialami oleh yang bersangkutan. Beberapa kejadian yang memalukan tetap membekas lama di hati
kita, karena pada dasarnya kita
tidak pernah siap menghadapi dan menerimanya.
Bagaimana kalau posisinya terbalik? Bagaimana kalau
kita yang menyaksikan seseorang
merasa malu, atau dipermalukan, di depan banyak orang? Bukan sekali dua kali hal ini kita jumpai.
Biasanya hati nurani kita akan mulai terusik.
Meskipun orang itu salah dan seakan-akan 'pantas' dihukum dengan rasa malu, tetapi toh ada sesuatu dalam
diri kita yang tidak rela dia hancur.
Kita berharap semoga kejadian itu segera berlalu supaya dia tidak terlalu lama menanggung malu. Akan
tetapi, pengaruh jahat dunia begitu kuat.
Sungguh diperlukan iman, untuk beranjak dan menyelamatkan orang dari pengaruh itu.
Injil Matius menampilkan sosok Yusuf, tunangan
Maria, sebagai pribadi yang 'adil'
(Yun. 'dikaios', yang dalam Kitab Suci kita diterjemahkan 'tulus hati'). Matius bukan tanpa maksud
menuliskan demikian, sebab sifat adil itu
persis adalah gambaran Allah dalam diri Yesus yang dikandung Maria.
Hanya saja, seperti akan kita
lihat, keadilan Allah berbeda dengan pandangan dunia. Maria mengandung, sebelum hidup bersama dengan Yusuf.
Siapapun segera tahu hal itu
adalah masalah. Siapa ayah anak ini? Yusuf tidak mau mengekspos Maria di depan cemoohan publik, dan
bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.
Yusuf tidak rela Maria menjadi bulan-bulanan publik. Di mata hukum Yahudi, Maria bisa dihukum mati, demikian
juga ayah dari bayinya.
Di sini kita baru mengerti bahwa Yusuf memang sosok
yang adil, sebab ia melakukan
keadilan versi Allah: belas kasih. Ia diingatkan malaikat dalam mimpi, agar tidak takut untuk bersikap
adil terhadap Maria, yakni dengan mengambil
Maria sebagai istrinya dan bertanggung jawab atas anak yang dikandungnya. Keadilan, bagi Allah,
adalah belas kasih dan tanggung jawab, bukan
hukuman. Hal yang sama ini kelak akan diajarkan oleh Yesus sendiri ketika bersabda, "Yang Kukehendak
ialah belas kasihan dan bukan persembahan" (Mat 9:13, 12:7). Keputusan Yusuf menyelamatkan Maria dari
hukuman agama Yahudi menunjukkan
kemenangan belas kasih Allah atas pengadilan dunia atas nama agama. Dalam kehidupan iman, banyak implikasinya.
Agama di zaman kita bisa memperparah situasi
manusia dalam hal menunjukkan dosa
dan kesalahannya. Pengaruhnya banyak kita temui dalam hidup bersama sehari-hari. Pembicaraan tentang
seseorang yang tidak disukai cepat berkembang
menjadi gosip yang menjatuhkan dan mencari-cari kesalahan orang. Bahkan kini kita makin berani dalam hal
mempermalukan seseorang di depan publik.
Kita menyindir dengan cara kasar, dengan menunjuk muka orang padahal hanya berbekal sepotong cerita yang
kita dengar. Entah berapa banyak wajah memerah
dan telinga memanas yang sudah kita timbulkan; seakan-akan rasa malu orang lain adalah kepuasan hati kita.
Itukah adil?
Kalau menuruti pemikiran dunia, tindakan Ahas, raja
Yudea, yang jahat di mata Tuhan
hanya akan mendatangkan hukuman (Bacaan I). Akan tetapi, Tuhan masih mau mengingatkannya melalui nabi
Yesaya. Bahkan ketika Ahas menolak untuk
meminta tanda dari Tuhan, Yesaya meyakinkan bahwa Tuhan tetap akan memberikan 'tanda', yakni bahwa kelak
seorang perempuan muda akan mengandung anak
yang disebut 'Immanuel', Allah beserta kita. Bahkan di tengah kejahatan manusia, rencana Allah tetap sama,
yakni menyelamatkannya! Seperti apapun reaksi
kita terhadap tawaran Allah, selalu akan ada nabi-nabi yang tetap menawarkan keselamatan, dan bukan
hukuman.
Hari ini juga kita diajak untuk mengubah kesan yang
keliru tentang Kristianitas.
Gereja hadir di dunia bukan untuk menunjukkan dosa setiap orang, tetapi menghadirkan sosok Allah
yang mau menyelamatkan dengan belas kasih.
Terhadap berbagai situasi yang tidak nyaman, yang mempermalukan dan memojokkan saudara-saudara kita, Allah
menghendaki kita mau beranjak dan menyelamatkannya dari rasa malu. Allah punya
keadilan yang berbeda, yang tidak
berdasarkan sanksi dan konsekuensi, melainkan belas kasih dan tanggung jawab. Kita perlu lebih sering
mengikuti hati nurani kita, digerakkan oleh
rasa 'tidak rela' melihat seseorang yang terus menerus dipermalukan.
Bukankah itu artinya menyelamatkan orang lain? Kita
bukan 'superhero' yang dalam
film-film punya kekuatan luar biasa. Menjadi Kristiani pun tidak akan membuat kita tiba-tiba melakukan
mujizat. Justru seperti Yusuf kita akan dibuat
berani memutuskan secara 'adil', menurut versi Allah. Kita bisa mulai berbuat sesuatu untuk membebaskan orang
lain dari rasa malu dan bersalah, mengapresiasi
dan mengangkatnya dari keterpurukan di mata banyak orang. Keberanian kita akan menunjukkan bahwa
Allah sungguh-sungguh beserta kita.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar