Minggu Biasa VII (A)
Im 19:1-2.17-18, 1Kor 3:16-23, Mat 5:38-48
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Seorang pejabat pemerintah ditangkap dan diadili
karena memukulkan gulungan koran ke leher seorang pramugari maskapai penerbangan.
Pemukulan itu dipicu kekesalan pejabat itu karena ditegur oleh pramugari
tersebut supaya mematikan telepon selular saat pesawat akan lepas landas di
bandara sebelumnya. Pramugari itu
tidak langsung beraksi saat kejadian, namun bukan berarti masalah ini berlalu
begitu saja. Ia mengadukan kejadian itu kepada polisi dan muncullah begitu
banyak dukungan masyarakat untuk menyelesaikan masalah ini secara hukum.
Tindakan pemukulan oleh pejabat ini adalah cermin kekerasan dan sikap main kuasa yang segera mengusik permenungan
iman kita.
Kejahatan, balas dendam, dan kekerasan selalu ada
di sekitar kita. Beriman Kristiani di tengah dunia yang dijejali hal-hal itu
adalah tantangan yang sungguh tidak gampang. Tidak gampang, sebab kita sudah
dibesarkan dalam ajaran "jangan membiarkan kejahatan". Artinya,
pikiran kita sudah terbiasa untuk bereaksi dan melawan kejahatan ataupun
ketidakadilan. Orang yang berbuat tidak adil terhadap kita tidak akan kita
biarkan "melenggang pergi begitu saja". Pelaku kejahatan 'harus'
mendapatkan konsekuensi perbuatannya entah dalam bentuk hukuman atau sekedar
'nasib sial'. Kalau begitu, benarkah iman mengajar kita untuk bersikap pasif
atau diam saja? Nanti dulu.
Kitab Keluaran yang dirujuk Yesus dalam
pengajaran-Nya hari ini mulanya dimaksud untuk meredakan balas dendam dan
menghindarkan orang dari pertumpahan darah serta kekerasan yang tak terkendali.
Akan tetapi, bahkan kekerasan yang paling 'dibenarkan' sekalipun ditolak oleh
Yesus. Tidak ada kekerasan yang benar, maka Ia bersabda, "Janganlah kamu
melawan [dengan kekerasan] orang yang berbuat jahat kepadamu" (Yun.
'antistenai': melawan dengan kekerasan). Jadi, Yesus tidak meminta orang untuk
diam saja, melainkan untuk tetap bereaksi terhadap ketidakadilan; hanya saja,
tidak dengan kekerasan. Ia kemudian menjelaskan 'bagaimana' bereaksi tanpa
kekerasan.
"Yang menampar pipi kananmu, berilah juga pipi
kirimu; yang menuntut bajumu, serahi juga jubahmu; yang memaksa berjalan satu
mil, berjalanlah sejauh dua mil". Kata-kata yang sangat familier inilah
cara kita 'melawan' tanpa kekerasan. Tanpa tindakan yang diajarkan Yesus itu,
kita hanya akan menjadi korban yang tak berdaya. Membalas dengan membabi-buta,
hanya akan membuat kita sama atau lebih jahat lagi dari orang yang melakukannya.
Dengan ajaran Yesus itu, kita justru mempermalukan para pelaku kejahatan atau
ketidakadilan. Kita menunjukkan bahwa tindakan mereka itu sungguh-sungguh tidak
adil, dan bahwa Allah pun tidak berada di pihak mereka! Iman kita mempermalukan
setiap pelaku kejahatan di hadapan Allah.
Kadang-kadang ajaran Yesus ditafsirkan dengan cara
yang terlalu menyederhanakan, seakan-akan semua persoalan kekerasan bisa
diselesaikan dengan 'kasih'. Kenyataannya tidak. Sudah banyak kisah menyedihkan mereka yang dalam rumah tangga
mengalami kekerasan tanpa ada yang mengetahui dan menolong. Begitu juga segala bentuk kejahatan hati yang bahkan
dilakukan "atas nama cinta", baik dalam bentuk ancaman,
ketergantungan, dan tidak memberi pilihan. Entah berapa banyak orang dipaksa untuk
terus menerus berkorban demi status, pekerjaan, dan nama baik orang lain.
'Kekerasan sunyi' terjadi di mana-mana. Tak ada yang memprotes. Semua
membiarkan.
Kitab Imamat (Bacaan I) menunjukkan alasan yang
sangat penting di balik semua ajaran iman kita. Alasan itu ialah Kekudusan
Allah. Kita pun menjadi kudus, sebab Tuhan Allah kita itu kudus. Karena beriman
kepada-Nya, Ia hadir dalam diri kita, dan karena Ia ada dalam diri kita, kita
pun tidak mungkin membenci siapapun atau mendatangkan dosa kepada diri kita
sendiri karena orang lain yang kita benci. Allah yang kudus itu tidak mungkin
menuntut balas kepada manusia, sebab jika demikian pasti manusia sudah lama
musnah dari hadapan-Nya. Akan tetapi, semua itu tidak boleh membuat kita
menyangka bahwa karena kasih-Nya Allah menjadi tidak adil. Ia mengasihi, tapi
dengan adil. Seperti apakah Ia mengasihi dengan adil? Ia melakukan dalam diri
Yesus yang memberikan pipi-Nya ditampar, melepaskan jubah-Nya, dan memanggul
salib di jalan penderitaan yang begitu panjang itu.
Perintah kasih terhadap musuh adalah ajaran paling
otentik Yesus yang takkan ditemukan dalam tulisan para nabi manapun. Yesus
tidak menolak kenyataan bahwa kita, para pengikut-Nya, mempunyai musuh-musuh
yang riil. Ia juga tidak menolak realitas kejahatan di sekitar kita. Ia meminta
kita untuk tetap bereaksi terhadap kejahatan, namun tanpa kehilangan martabat
kita sendiri sebagai orang Kristiani!
Inilah maksud dari perintah "kasihilah
musuhmu", yang bukan sekedar soal perasaan, tetapi soal 'terlaksananya'
Kerajaan Allah. Maksud kata-kata Yesus bahwa kita harus 'sempurna' seperti Bapa
ialah terlaksananya (Yun. 'telos': selesai, tujuan) rencana Allah. (Di kayu
salib Yesus berkata, "Sudah selesai"; Yoh 19:30). Kalau kita memang
beriman Kristiani, jangan hanya mau bersikap setengah-setengah. Selesaikanlah
rencana Allah dalam kedewasaan sikap hidup dan tindakan iman kita.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar