Sabtu, 22 Februari 2014

Bereaksi dengan Penuh Kasih dan Adil


Minggu Biasa VII (A)
Im 19:1-2.17-18, 1Kor 3:16-23, Mat 5:38-48
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Seorang pejabat pemerintah ditangkap dan diadili karena memukulkan gulungan koran ke leher seorang pramugari maskapai penerbangan. Pemukulan itu dipicu kekesalan pejabat itu karena ditegur oleh pramugari tersebut supaya mematikan telepon selular saat pesawat akan lepas landas di bandara sebelumnya. Pramugari itu tidak langsung beraksi saat kejadian, namun bukan berarti masalah ini berlalu begitu saja. Ia mengadukan kejadian itu kepada polisi dan muncullah begitu banyak dukungan masyarakat untuk menyelesaikan masalah ini secara hukum. Tindakan pemukulan oleh pejabat ini adalah cermin kekerasan dan sikap main kuasa yang segera mengusik permenungan iman kita.

Kejahatan, balas dendam, dan kekerasan selalu ada di sekitar kita. Beriman Kristiani di tengah dunia yang dijejali hal-hal itu adalah tantangan yang sungguh tidak gampang. Tidak gampang, sebab kita sudah dibesarkan dalam ajaran "jangan membiarkan kejahatan". Artinya, pikiran kita sudah terbiasa untuk bereaksi dan melawan kejahatan ataupun ketidakadilan. Orang yang berbuat tidak adil terhadap kita tidak akan kita biarkan "melenggang pergi begitu saja". Pelaku kejahatan 'harus' mendapatkan konsekuensi perbuatannya entah dalam bentuk hukuman atau sekedar 'nasib sial'. Kalau begitu, benarkah iman mengajar kita untuk bersikap pasif atau diam saja? Nanti dulu.

Kitab Keluaran yang dirujuk Yesus dalam pengajaran-Nya hari ini mulanya dimaksud untuk meredakan balas dendam dan menghindarkan orang dari pertumpahan darah serta kekerasan yang tak terkendali. Akan tetapi, bahkan kekerasan yang paling 'dibenarkan' sekalipun ditolak oleh Yesus. Tidak ada kekerasan yang benar, maka Ia bersabda, "Janganlah kamu melawan [dengan kekerasan] orang yang berbuat jahat kepadamu" (Yun. 'antistenai': melawan dengan kekerasan). Jadi, Yesus tidak meminta orang untuk diam saja, melainkan untuk tetap bereaksi terhadap ketidakadilan; hanya saja, tidak dengan kekerasan. Ia kemudian menjelaskan 'bagaimana' bereaksi tanpa kekerasan.

"Yang menampar pipi kananmu, berilah juga pipi kirimu; yang menuntut bajumu, serahi juga jubahmu; yang memaksa berjalan satu mil, berjalanlah sejauh dua mil". Kata-kata yang sangat familier inilah cara kita 'melawan' tanpa kekerasan. Tanpa tindakan yang diajarkan Yesus itu, kita hanya akan menjadi korban yang tak berdaya. Membalas dengan membabi-buta, hanya akan membuat kita sama atau lebih jahat lagi dari orang yang melakukannya. Dengan ajaran Yesus itu, kita justru mempermalukan para pelaku kejahatan atau ketidakadilan. Kita menunjukkan bahwa tindakan mereka itu sungguh-sungguh tidak adil, dan bahwa Allah pun tidak berada di pihak mereka! Iman kita mempermalukan setiap pelaku kejahatan di hadapan Allah.

Kadang-kadang ajaran Yesus ditafsirkan dengan cara yang terlalu menyederhanakan, seakan-akan semua persoalan kekerasan bisa diselesaikan dengan 'kasih'. Kenyataannya tidak. Sudah banyak kisah menyedihkan mereka yang dalam rumah tangga mengalami kekerasan tanpa ada yang mengetahui dan menolong. Begitu juga segala bentuk kejahatan hati yang bahkan dilakukan "atas nama cinta", baik dalam bentuk ancaman, ketergantungan, dan tidak memberi pilihan. Entah berapa banyak orang dipaksa untuk terus menerus berkorban demi status, pekerjaan, dan nama baik orang lain. 'Kekerasan sunyi' terjadi di mana-mana. Tak ada yang memprotes. Semua membiarkan.

Kitab Imamat (Bacaan I) menunjukkan alasan yang sangat penting di balik semua ajaran iman kita. Alasan itu ialah Kekudusan Allah. Kita pun menjadi kudus, sebab Tuhan Allah kita itu kudus. Karena beriman kepada-Nya, Ia hadir dalam diri kita, dan karena Ia ada dalam diri kita, kita pun tidak mungkin membenci siapapun atau mendatangkan dosa kepada diri kita sendiri karena orang lain yang kita benci. Allah yang kudus itu tidak mungkin menuntut balas kepada manusia, sebab jika demikian pasti manusia sudah lama musnah dari hadapan-Nya. Akan tetapi, semua itu tidak boleh membuat kita menyangka bahwa karena kasih-Nya Allah menjadi tidak adil. Ia mengasihi, tapi dengan adil. Seperti apakah Ia mengasihi dengan adil? Ia melakukan dalam diri Yesus yang memberikan pipi-Nya ditampar, melepaskan jubah-Nya, dan memanggul salib di jalan penderitaan yang begitu panjang itu.

Perintah kasih terhadap musuh adalah ajaran paling otentik Yesus yang takkan ditemukan dalam tulisan para nabi manapun. Yesus tidak menolak kenyataan bahwa kita, para pengikut-Nya, mempunyai musuh-musuh yang riil. Ia juga tidak menolak realitas kejahatan di sekitar kita. Ia meminta kita untuk tetap bereaksi terhadap kejahatan, namun tanpa kehilangan martabat kita sendiri sebagai orang Kristiani!

Inilah maksud dari perintah "kasihilah musuhmu", yang bukan sekedar soal perasaan, tetapi soal 'terlaksananya' Kerajaan Allah. Maksud kata-kata Yesus bahwa kita harus 'sempurna' seperti Bapa ialah terlaksananya (Yun. 'telos': selesai, tujuan) rencana Allah. (Di kayu salib Yesus berkata, "Sudah selesai"; Yoh 19:30). Kalau kita memang beriman Kristiani, jangan hanya mau bersikap setengah-setengah. Selesaikanlah rencana Allah dalam kedewasaan sikap hidup dan tindakan iman kita.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar