Date: Sat, 1 Mar 2014 13:38:03
Minggu Biasa VIII (A)
Yes 49:14-15, 1Kor 4:1-5, Mat 6:24-34
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Seorang filsuf besar Denmark, Soren Kierkegaard,
mendefinisikan 'kekhawatiran'
sebagai 'hari esok'. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari, dan itulah yang mendatangkan berbagai
kecemasan pada hari ini. Para
penjual polis asuransi, tanpa mereka sadari, menawarkan sebuah harga untuk mengantisipasi dan menjamin
hari esok itu dengan dalih supaya kita
merasa 'tenang' hari ini. Tapi, siapakah di planet kita ini yang bisa memberikan ketenangan apapun? Ketika
membeli polis asuransi, kita menyangka sudah
mengatasi hari esok, padahal kita baru saja menambahkan kekhawatiran pada hari ini dengan sebuah tagihan
baru yang harus dibayar secara berkala.
Kita sering memandang para gelandangan, apalagi
yang punya banyak anak, dengan
tatapan kasihan. Kita menonton dengan pilu berita tentang rakyat kecil di daerah konflik yang menjadi
korban perang dan kekerasan. Apakah kekhawatiran
adalah milik orang kecil dan yang miskin? Justru sebaliknya. Hanya mereka yang tiap hari berpikir
untuk menimbun kekayaan dan rasa aman akan
makin khawatir dengan hidupnya; tepatnya, bukan khawatir dengan hidupnya, tetapi dengan kekayaannya
itu. Kadangkala rasa kasihan kita hanya membuktikan
bahwa kita tak pernah merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Hati kita dikuasai hal-hal lain yang
kita anggap lebih penting dari hidup.
Imaji-imaji yang dipakai Yesus dalam bacaan hari
ini sungguh luar biasa. Pengajaran
yang disampaikan-Nya itu masih dalam kaitan dengan 'Sabda Bahagia' di bagian sebelumnya. Ketika
mengatakan soal ketidakmungkinan mengabdi
kepada dua tuan, Yesus tidak bicara dalam konteks moral. Kata-kata-Nya itu adalah sebuah kenyataan yang sederhana. Kita
jelas tidak mungkin mengabdi
kepada Allah dan kepada Mamon. Apakah Ia menolak harta milik? Bukan itu maksud-Nya. 'Mamon', dalam konteks Mat 6:21,
adalah apapun yang 'menguasai
hati' kita dan segera bertentangan dengan pelayanan kita kepada Allah. Dalam hal ini, Mamon bersifat menindas dan
menguasai, memaksa kita untuk
setuju bahwa kita harus memilikinya lebih dari sekedar cukup.
Dalam sepuluh ayat Injil yang kita dengar hari ini
terdapat enam perintah 'jangan
khawatir'. Kalau perhatian kita hanya terarah pada keenam gambaran negatif kekhawatiran itu, mungkin kita
melewati permenungan Yesus yang luar biasa
tentang penyelenggaraan ilahi Allah. Yesus tidak 'mendiskon' atau memberi potongan atas kebutuhan setiap
orang. Makanan dan pakaian itu perlu, tetapi
bukan segala-galanya. Dan di situlah kita mendengar gambaran tentang burung-burung di langit dan bunga
bakung di ladang. Yesus menyampaikan kebenaran
yang sungguh indah tentang 'hidup' kita, yakni bahwa "Bapamu yang di surga tahu, bahwa kamu memerlukan
semua itu".
Terhadap sabda Tuhan itu, apa yang sering kita
pikirkan ialah berusaha keras untuk
tetap bisa "mengabdi kepada dua tuan". Kita menganggap bahwa sabda Tuhan memang bagus, tapi tidak
realistis, dan kita mulai mencari pembenaran bahwa apa yang kita inginkan kita anggap sebuah 'kebutuhan'. Di
saat lain, kita juga berbisik
dalam hati, "Ah, tidak apa-apa sekali-sekali membeli baju mahal, atau, sekali-sekali makan
enak." Kita jelas tidak sadar bahwa semua pemberian Tuhan selama ini sudah membuat kita 'hidup'. Kita lupa
bahwa setiap saat kita dijaga dan
dilindungi, diberi "rezeki pada hari ini", dan ditunjukkan jalan keluar dari berbagai masalah yang kita hadapi.
Dengan kata lain, mereka yang tadi
kita pandang dengan rasa kasihan pun dijaga, dilindungi, dan diberi rezeki oleh Tuhan! Betapa sombongnya kita
di hadapan penyelenggaraan ilahi
yang luar biasa itu!
Kutipan pendek dari Kitab Yesaya (Bacaan I)
melukiskan bahwa Tuhan punya rasa
sayang yang tak terperikan terhadap manusia. Sekalipun seorang perempuan dapat melupakan anak dari
kandungannya-dan kita tahu itu tidak mungkin-Tuhan
tidak akan pernah melupakan kita. Ia tidak menciptakan manusia lantas membiarkannya berjuang untuk
hidup sendiri di dunia ini. Ia lebih sayang
kepada setiap orang daripada siapapun yang pernah melahirkannya. Mengatakan atau bahkan memikirkan bahwa
'Tuhan meninggalkan aku' hanya membuktikan
bahwa kita memang adalah "orang yang kurang percaya".
Nampaknya terlalu gampang kalau kita sekedar
menyimpulkan bahwa mengikuti ajaran
Yesus berarti menolak kebutuhan-kebutuhan yang riil di dunia ini. Yesus, sekali lagi, tidak menolak semua
jerih payah kita untuk menghadapi masa
depan. Ia hanya mengingatkan supaya kita jangan dikuasai dan ditindas oleh 'hari esok', sehingga mereka yang
hadir di sekitar kita 'hari ini' kita abaikan.
Kita juga perlu hati-hati kalau masih tetap memaksa diri mengabdi kepada 'dua tuan', sebab mungkin
pelayanan kita kepada Tuhan akan sering dikalahkan
oleh kepentingan pribadi yang kita anggap lebih 'mendesak'.
Pesan Injil hari ini akan sangat berguna untuk
menghadapi kejadian apapun. Berbagai
kegagalan, kesepian, kehilangan, kebingungan, dan kekhawatiran yang kita alami adalah kenyataan yang
'selalu' bisa dihadapi dalam iman. Yesus,
jauh sebelum Kierkegaard, mengatakan, "Kesusahan sehari cukuplah
untuk sehari." Artinya, di
depan persoalan seberat apapun, ingatlah, bahwa Allah ada di pihak kita. Ia sudah merencanakan, dan akan menyelesaikan
segalanya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar