Sabtu, 15 Februari 2014

Menggenapi, Bukan Meniadakan



Minggu Biasa VI (A)
Sir 15:15-20, 1Kor 2:6-10, Mat 5:17-37
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

Seorang politikus yang gerah karena namanya dikaitkan dengan kasus korupsi menyatakan dirinya tidak terlibat. Ia bahkan berkomentar, "Saya yakin. Yakin. Satu rupiah saja saya korupsi, gantung saya di Monas." Sebuah 'hiperbola' yang menyerempet bahaya. Mereka yang mendengarnya tertawa. Namun, bukan hanya itu. Ketika suatu saat dijemput paksa untuk dimasukkan penjara, orang yang sama ini memakai 'sarkasme' ketika mengucapkan terima kasih kepada mereka yang dianggap berperan menjatuhkannya. Dua jenis pemakaian bahasa yang agresif itu hanya menunjukkan bahwa ada krisis kepercayaan yang sudah kronis dan sulit disembuhkan di masyarakat kita.

Hukum berhubungan langsung dengan kepercayaan, tapi banyak tambahan muncul kemudian karena kesulitan untuk percaya atau dipercaya. 'Sumpah' muncul di pengadilan untuk mencegah orang berbohong dan untuk menyelidiki kenyataan sesungguhnya. Akan tetapi, siapa yang dapat mengukur kejujuran? Bahkan 'sumpah' pun dilanggar dan hanya dianggap ritual. Kita tetap sulit percaya, atau sebaliknya, sulit untuk dipercaya. Ketika pelanggaran-pelanggaran terjadi dalam kehidupan iman kita, bahayanya akan semakin besar dan samar, sebab tidak ada yang tahu kecuali hati kita masing-masing dan Tuhan.

Sejak awal ajaran-Nya dalam Injil yang kita dengar hari ini, Yesus sudah menegaskan bahwa Ia datang "bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi, melainkan untuk menggenapinya." Ia berbicara tentang 'penggenapan' hukum dan hidup keagamaan yang 'lebih benar' daripada ahli Taurat dan orang Farisi. Kedua makna ini dikaitkan-Nya dengan pembunuhan, perzinahan, dan sumpah. Dalam setiap kasus, Yesus menawarkan penafsiran yang lebih dalam dan lebih personal. Bukan hanya membunuh, marah pun harus dihukum. Jangankan secara seksual, memandang dengan nafsu pun sudah berzinah. Bukan saja jangan bersumpah palsu, Ia lebih lagi bersabda agar para pengikut-Nya jangan sekali-sekali bersumpah.

Yesus 'memperdalam' penafsiran akan hukum supaya orang tidak menaatinya sebatas apa yang dirumuskan saja. Hukum adalah buatan manusia, tetapi diinspirasi oleh Allah. Kehendak Allah selalu lebih dalam daripada apa yang dituliskan manusia, maka hukum harus ditafsirkan kembali dengan kacamata Allah. Yang kedua, Yesus menegaskan sifat 'personal' setiap ketaatan pada hukum Tuhan. Sifat ini nampak dalam fokus pada hati setiap orang. Kemarahan, nafsu, dan sumpah adalah hal-hal yang mencemari kemurnian hati. Bukankah sumpah itu hanya dilakukan di antara mereka yang saling tidak percaya? Seakan-akan apa yang kita lakukan dari hati harus didukung dengan kata-kata sumpah yang, sayang sekali, justru memberi kesan sebaliknya.

Nampaknya kehidupan iman kita juga mengalami krisis yang cukup serius. Bagi sementara orang Kristiani, berbohong itu sudah biasa. Lebih parah lagi, orang bahkan bisa menutupi kebohongannya dengan menampilkan hal-hal yang sangat saleh dan rohani. Ungkapan "serigala berbulu domba" benar-benar dipraktikkan ketika kita memelihara kemarahan dan nafsu di balik bungkus keramahan dan perhatian yang berlebihan. Kita bisa menampilkan sikap santun dan nampaknya jujur, meskipun di dalam hati menggelora kebencian dan maksud jahat. Ajaran iman kita jarang masuk sampai ke dalam hati; lebih sering hanya mau kita tampilkan sebagai wajah yang manis di hadapan orang lain.

Sebuah inspirasi yang dapat membantu kita agar lebih dapat dipercaya dalam beriman ada dalam Kitab Putra Sirakh (Bacaan I). "Asal sungguh mau, engkau dapat menepati hukum, dan berlaku setia pun dapat kaupilih." Kita membutuhkan 'kemauan' dan 'kesetiaan' pada pilihan kita sendiri. Tuhan sungguh bijaksana dalam hal memberikan kebebasan untuk memilih kepada manusia, namun itu berarti bahwa kita seharusnya belajar setia pada apa yang sudah kita pilih untuk kita jalani. Hukum Tuhan sudah dituliskan di hati kita yang dibaptis menjadi anak-anak-Nya. Ketaatan cukup dimulai dengan kemauan. Kita tidak perlu menambahinya dengan hal-hal lain yang justru akan membuat kita semakin sulit dipercaya.

Komunitas baru yang didirikan Yesus adalah Gereja tempat kita sekarang ini hidup dan saling melayani. Lingkungan, kelompok, dan keluarga kita adalah kenyataan sehari-hari yang aturan serta nilai-nilainya kita hormati. Namun, lebih dari menaati aturan yang kita sepakati bersama di dalamnya, kita mau belajar menghormati setiap pribadi yang berelasi dengan kita. Di balik ajaran iman Kristiani yang kita jalankan, terdapat kehendak Allah yang sangat dalam maknanya dan sangat dekat dengan hati kita sendiri.

Bila ingin menyembuhkan krisis kepercayaan di masyarakat, kita selalu bisa mulai dengan kemauan yang sungguh-sungguh dan kesetiaan pada ajaran iman yang telah kita pilih untuk kita yakini ini. Jangan lagi memakai kata-kata sumpah untuk berusaha meyakinkan orang lain. Apabila keputusan dan tindakan kita berasal dari hati, kita tidak memerlukan 'hiperbola' dan 'sarkasme' untuk membuktikannya. Semoga sikap hidup kita tidak berlebihan, sebab ajaran iman kita pun sangat sederhana untuk dijalankan dengan setia.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar