Minggu Biasa VI (A)
Sir 15:15-20, 1Kor 2:6-10, Mat 5:17-37
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Seorang politikus yang gerah karena namanya
dikaitkan dengan kasus korupsi menyatakan
dirinya tidak terlibat. Ia bahkan berkomentar, "Saya yakin. Yakin. Satu rupiah saja saya korupsi,
gantung saya di Monas." Sebuah 'hiperbola'
yang menyerempet bahaya. Mereka yang mendengarnya tertawa. Namun, bukan hanya itu. Ketika suatu
saat dijemput paksa untuk dimasukkan penjara,
orang yang sama ini memakai 'sarkasme' ketika mengucapkan terima kasih kepada mereka yang dianggap
berperan menjatuhkannya. Dua jenis pemakaian
bahasa yang agresif itu hanya menunjukkan bahwa ada krisis kepercayaan yang sudah kronis dan sulit
disembuhkan di masyarakat kita.
Hukum berhubungan langsung dengan kepercayaan, tapi
banyak tambahan muncul kemudian
karena kesulitan untuk percaya atau dipercaya. 'Sumpah' muncul di pengadilan untuk mencegah orang
berbohong dan untuk menyelidiki kenyataan
sesungguhnya. Akan tetapi, siapa yang dapat mengukur kejujuran? Bahkan 'sumpah' pun dilanggar dan hanya
dianggap ritual. Kita tetap sulit percaya,
atau sebaliknya, sulit untuk dipercaya. Ketika pelanggaran-pelanggaran terjadi dalam kehidupan iman kita,
bahayanya akan semakin besar dan samar, sebab
tidak ada yang tahu kecuali hati kita masing-masing dan Tuhan.
Sejak awal ajaran-Nya dalam Injil yang kita dengar
hari ini, Yesus sudah menegaskan
bahwa Ia datang "bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi, melainkan untuk menggenapinya."
Ia berbicara tentang 'penggenapan'
hukum dan hidup keagamaan yang 'lebih benar' daripada ahli Taurat dan orang Farisi. Kedua makna
ini dikaitkan-Nya dengan pembunuhan, perzinahan,
dan sumpah. Dalam setiap kasus, Yesus menawarkan penafsiran yang lebih dalam dan lebih personal. Bukan
hanya membunuh, marah pun harus dihukum.
Jangankan secara seksual, memandang dengan nafsu pun sudah berzinah. Bukan saja jangan bersumpah
palsu, Ia lebih lagi bersabda agar para
pengikut-Nya jangan sekali-sekali bersumpah.
Yesus 'memperdalam' penafsiran akan hukum supaya
orang tidak menaatinya sebatas apa
yang dirumuskan saja. Hukum adalah buatan manusia, tetapi diinspirasi oleh Allah. Kehendak Allah
selalu lebih dalam daripada apa yang dituliskan
manusia, maka hukum harus ditafsirkan kembali dengan kacamata Allah. Yang kedua, Yesus menegaskan
sifat 'personal' setiap ketaatan pada hukum
Tuhan. Sifat ini nampak dalam fokus pada hati setiap orang. Kemarahan, nafsu, dan sumpah adalah hal-hal yang
mencemari kemurnian hati. Bukankah sumpah
itu hanya dilakukan di antara mereka yang saling tidak percaya? Seakan-akan apa yang kita lakukan dari
hati harus didukung dengan kata-kata sumpah
yang, sayang sekali, justru memberi kesan sebaliknya.
Nampaknya kehidupan iman kita juga mengalami krisis
yang cukup serius. Bagi sementara
orang Kristiani, berbohong itu sudah biasa. Lebih parah lagi, orang bahkan bisa menutupi
kebohongannya dengan menampilkan hal-hal yang sangat saleh dan rohani. Ungkapan "serigala berbulu
domba" benar-benar dipraktikkan
ketika kita memelihara kemarahan dan nafsu di balik bungkus keramahan dan perhatian yang
berlebihan. Kita bisa menampilkan sikap santun dan nampaknya jujur, meskipun di dalam hati menggelora kebencian
dan maksud jahat. Ajaran iman kita
jarang masuk sampai ke dalam hati; lebih sering hanya mau kita tampilkan sebagai wajah yang manis di hadapan
orang lain.
Sebuah inspirasi yang dapat membantu kita agar
lebih dapat dipercaya dalam beriman
ada dalam Kitab Putra Sirakh (Bacaan I). "Asal sungguh mau, engkau dapat menepati hukum, dan berlaku setia
pun dapat kaupilih." Kita membutuhkan
'kemauan' dan 'kesetiaan' pada pilihan kita sendiri. Tuhan sungguh bijaksana dalam hal memberikan
kebebasan untuk memilih kepada manusia,
namun itu berarti bahwa kita seharusnya belajar setia pada apa yang sudah kita pilih untuk kita jalani.
Hukum Tuhan sudah dituliskan di hati kita
yang dibaptis menjadi anak-anak-Nya. Ketaatan cukup dimulai dengan kemauan. Kita tidak perlu menambahinya
dengan hal-hal lain yang justru akan membuat
kita semakin sulit dipercaya.
Komunitas baru yang didirikan Yesus adalah Gereja
tempat kita sekarang ini hidup dan
saling melayani. Lingkungan, kelompok, dan keluarga kita adalah kenyataan sehari-hari yang aturan serta
nilai-nilainya kita hormati. Namun, lebih
dari menaati aturan yang kita sepakati bersama di dalamnya, kita mau belajar menghormati setiap pribadi yang
berelasi dengan kita. Di balik ajaran
iman Kristiani yang kita jalankan, terdapat kehendak Allah yang sangat dalam maknanya dan sangat dekat
dengan hati kita sendiri.
Bila ingin menyembuhkan krisis kepercayaan di
masyarakat, kita selalu bisa mulai
dengan kemauan yang sungguh-sungguh dan kesetiaan pada ajaran iman yang telah kita pilih untuk kita yakini
ini. Jangan lagi memakai kata-kata sumpah
untuk berusaha meyakinkan orang lain. Apabila keputusan dan tindakan kita berasal dari hati, kita tidak
memerlukan 'hiperbola' dan 'sarkasme' untuk
membuktikannya. Semoga sikap hidup kita tidak berlebihan, sebab ajaran iman kita pun sangat sederhana untuk
dijalankan dengan setia.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar