Date: Sat, 15 Mar 2014 12:21:17
Minggu Prapaskah II (A)
Kej 12:1-4a, 2Tim 1:8b-10, Mat 17:1-9
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Kadang-kadang ‘mendengarkan’ lebih capek daripada
berbicara. Berbicara sudah sering
dikaitkan dengan ekspresi dan dominasi. Orang yang (banyak) bicara biasanya mau menunjukkan kuasanya,
otoritasnya. Oleh karenanya, berbicara bisa
dikatakan adalah sesuatu yang sebetulnya dinikmati oleh sementara orang. Berbicara itu menyenangkan.
Mereka yang berpacaran bisa berbicara di telepon
sampai berjam-jam tanpa merasa letih. Ada orang yang mampu memberi ceramah sepanjang hari hingga
memecahkan rekor. Apakah orang masih mendengarkan
dia, itu soal lain. Di café-café orang bicara riuh rendah padahal musik pun hingar bingar. Energi
itu tak habis-habisnya.
Mendengarkan, sebaliknya, akan cepat melelahkan
bila yang didengar hanyalah keluhan,
kemarahan, dan kata-kata buruk atau negatif. Beberapa orang yang tidak tahan mendengarkan bisa tiba-tiba
menutup panggilan telepon, bahkan membanting gagang
telepon. Seseorang yang sering diteriaki atau dimarahi cenderung menutup telinganya dan pergi. Beberapa orang merasa
terganggu dengan keramaian di
tempat umum dan memilih memasang ‘earphone’ di telinganya. Terlalu banyak hal yang membanjiri telinga, hingga
semakin sulit kita mendengarkan,
atau tepatnya, membedakan ‘suara Tuhan’ di tengah semuanya itu. Lagi pula, kecenderungan kita berbicara daripada
mendengarkan berakibat Sabda Tuhan
kurang dianggap penting dalam keseharian.
Dalam Injil Matius hari ini, kekaguman dipertemukan
dengan ketakutan, terang dengan
awan, kemuliaan dengan salib, kata-kata dengan pendengaran. Para murid melihat peristiwa ‘transfigurasi’
(berubah rupanya) Yesus di gunung yang
tinggi. Bagi Matius, peristiwa-peristiwa penting selalu terjadi “di gunung”, menggambarkan pewahyuan Allah
yang luar biasa mengatasi kemanusiaan.
Musa dan Elia yang nampak di sana pun mengalami peristiwa penting di gunung ketika menerima Hukum
dan penampakan Allah. Akan tetapi, di
depan penampakan yang mengagumkan itu, para murid belajar sesuatu justru dari awan, dari salib dan ketakutan,
dari ‘suara’ Allah yang mereka dengar.
Melihat perubahan rupa Yesus itu, Petrus tidak bisa
menahan diri untuk berkata-kata.
Ia ingin mengungkapkan betapa bahagianya mereka diizinkan melihat dan mengalami kemuliaan Yesus
yang luar biasa itu. Ia ingin mendirikan
‘kemah’ supaya peristiwa mulia itu bisa lebih lama mereka alami di sana. Tetapi, belum juga ia selesai
bicara, awan yang terang menaungi mereka
dan terdengarlah suara: “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia.” Kata-kata ini menegaskan bahwa
manusia tidak berhak bicara di depan pewahyuan
Allah, dan seharusnya belajar mendengarkan Allah dalam diri Yesus yang dikasihi-Nya. Dan persis
setelahnya, Yesus menggambarkan salib yang
akan dijalani-Nya “sebelum dibangkitkan dari antara orang mati.”
Setiap hari, sepanjang hari, kita banyak bicara.
Kita biasa mengatur, menasihati,
dan menguasai orang lain karena itu menyenangkan. Kebiasaan itu nampaknya semakin ‘tidak tahu diri’,
sebab ketika tidak diminta pendapat sekalipun
kita masih ingin bicara dan memaksakan pandangan kita terhadap orang lain. Banyak situasi yang
memancing kita menjadi terlalu banyak bicara,
membicarakan orang lain, mengatakan sesuatu yang sebetulnya tidak sungguh kita pahami, menceritakan gosip
dan apapun yang ‘kita dengar’ entah dari
siapa. Luar biasa godaan itu! Dalam semuanya itu, akibat paling nyata kebiasaan buruk tersebut ialah kita
tidak melakukan sesuatupun yang berarti. Banyak
bicara menyita waktu yang mestinya dipakai untuk bertindak.
Kisah pengutusan Abram dalam Kitab Kejadian (Bacaan
I) sungguh amat sederhana. Tuhan
bersabda, “maka berangkatlah Abram sesuai dengan sabda Tuhan”. Abram tidak bertanya, tidak berdebat, tidak perlu terkagum-kagum terlalu lama pada janji Tuhan. Ia
bertindak setelah mendengarkan sabda Tuhan.
Ia tahu bahwa janji Tuhan adalah segala-galanya, sama seperti keyakinan orang beriman di Israel waktu
itu, bahwa Tuhan yang mereka kenal hanya
akan ‘melakukan’ apa yang telah dijanjikan-Nya. Ketaatan dan kesetiaan mereka sudah dimulai pada saat mereka
‘mendengar’ janji Tuhan yang selalu ingin
menyelamatkan mereka. Mungkinkah kita sekarang sulit untuk setia dalam iman karena terlalu banyak bicara
daripada mendengarkan?
Setelah berubah rupa di depan para murid, Yesus
berpesan agar mereka “jangan menceritakan
penglihatan itu sebelum Anak Manusia dibangkitkan”. Artinya, kemuliaan yang mereka lihat itu
hanyalah sebagian dari pewahyuan siapa Yesus itu. Pewahyuan yang lengkap adalah ketika Ia disalibkan, sebab
pada waktu itu kasih-Nya akan
sempurna kepada manusia. Yesus mengizinkan mereka mengalami sejenak kemuliaan-Nya agar bila jalan salib dilalui,
mereka takkan kehilangan iman dan
kesetiaan mereka. Mereka hanya perlu percaya bahwa Yesus yang mereka dengarkan sungguh adalah “yang dikasihi Allah”.
Tidak satupun sabda Yesus dalam Kitab Suci
mempersalahkan kita. Semuanya hanya
mau menunjukkan jalan kepada kita, menawarkan jawaban yang akan melegakan kita. Mendengarkan Dia tidak
akan melelahkan hati kita, tapi sebelum
itu kita mesti belajar tahu diri dalam banyak situasi, mengurangi keinginan kita untuk bicara dan
menguasai orang lain. Dengarkan saja, dan
lakukanlah.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar