Sabtu, 22 Maret 2014

Di Pinggir Sumur



Date: Sat, 22 Mar 2014 14:56:46
Minggu Prapaskah III (A)
Kel 17:3-7, Rom 5:1-2.5-8, Yoh 4:5-42
Oleh : Pst. Tedjoworo, OSC

Mungkin tidak banyak orang yang pernah membayangkan seberapa banyak air tawar yang dialirkan Sungai Amazon ke Samudera Atlantik. Sungai kedua terbesar di dunia setelah Sungai Nil ini mengalirkan sekitar 6600 kubik kilometer air tawar tiap tahun ke Samudera Atlantik, sampai menurunkan keasinannya sejauh 320 kilometer dari muara. Sebuah kapal pernah kehabisan air bersih dan lewat radio minta tolong ke kapal lain tak jauh darinya. Jawaban dari kapten kapal lain itu ialah: "Lemparkan ember ke permukaan air di depanmu!" Seruan itu diulang dua kali dan mendapat jawaban yang sama. Maka, orang melemparkan ember, dan ketika diangkat, di dalamnya adalah air tawar jernih berkilauan dari Sungai Amazon. Jawaban persoalan itu begitu dekat!

Beberapa orang dalam hidupnya seperti lari dari satu tempat ke tempat lain, dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain, mencari jawaban atas masalahnya. Masalah seakan-akan makin sulit dipecahkan setiap hari. Relasi kita pun nampaknya makin rumit dan membingungkan. Kita mencari kebahagiaan di mana-mana, dan hampir tak pernah merasa cukup dengan apa yang kita miliki saat ini. Kita seperti orang yang kehausan dan berada dekat dengan sumber air yang akan melegakan kita, namun kita tidak menyadarinya, dan tetap saja kehausan. Dalam hati kita bertanya, "Di manakah Tuhan pada saat kita membutuhkan-Nya?" Benarkah Tuhan menjauh saat itu?

Kisah yang sangat menyentuh dari Injil Yohanes ini tidak akan menyentuh hati kalau hanya dibaca satu kali. Kita perlu 'berada di sana' beberapa saat lamanya. Perempuan Samaria itu bertemu dengan Yesus di pinggir sumur. Tempat yang ganjil untuk bertemu, namun ternyata sangat cocok dengan pembicaraan mereka. Ketika Yesus memulai percakapan dengannya, perempuan itu heran sebab Yesus, orang Yahudi, minta minum kepadanya. Bahkan, kemudian Yesuslah yang menawarkan "air hidup" sebagai ganti air sumur. Perempuan itu lebih heran lagi dan berkata, "Tuhan, engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam." Ia mengucapkan itu persis kepada Yesus, sosok satu-satunya yang akan melegakan 'kehausan' dalam hidupnya itu.

Yesus bicara kepada perempuan Samaria itu tentang sumber 'spiritual', 'air hidup' yang tidak memerlukan sebuah timba untuk mendapatkannya. Dan sumber air hidup itu bisa ditemukan kapan saja serta di mana saja, khususnya manakala kita berada "di pinggir sumur yang dalam" tanpa timba atau ember. Perempuan itu tersesat dalam hidup yang rumit menyangkut relasinya pribadi dan dengan komunitasnya. Sebetulnya dia sendirilah yang sedang berada di pinggir masalah yang begitu dalam, sedang ia tak mempunyai petunjuk apapun untuk keluar dari masalahnya itu. Yesus sungguh mengerti masalahnya dan menawarkan sumber air yang akan mengembalikan martabatnya.

Sudah sering terjadi kita jatuh ke dalam persoalan yang sama berulang kali. Sejujurnya, bukan hanya 'sama', tapi persoalan kita makin berat pada saat terjadi kembali. Ada masanya kita benar-benar tidak tahu apa yang harus kita lakukan untuk lepas dari masalah itu. Kita cepat frustrasi ketika 'sumur' itu seakan-akan menjadi semakin dalam. Berbicara dengan seseorang hanya membuat kita kesal sebab dalam pandangan kita tanggapannya tidak membantu sama sekali. Berdoa sudah dilakukan, tetapi kita merasa tidak mendapat jawaban apa-apa dari Tuhan. Kita merasa sendirian dan tidak tertolong. Hanya dalam hitungan menit kita akan mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan dalam hidup kita, khususnya saat kita sedang dijerat masalah.

Sikap mempertanyakan keberadaan Tuhan di saat-saat sulit itu ditunjukkan dalam Kitab Keluaran (Bacaan I). Orang Israel yang telah dituntun Musa keluar dari perbudakan di Mesir bersungut-sungut karena kesulitan mendapatkan air. Mereka bukan hanya menyerang Musa dengan sindiran "membunuh kami semua dengan kehausan", tetapi juga mencobai Tuhan dengan berkata, "Adakah Tuhan di tengah-tengah kita atau tidak?" Sebuah ujian dari Tuhan demi kedewasaan iman ternyata sering ditafsirkan manusia sebagai sikap kurang memperhatikan, dan lebih parah lagi, ketidakhadiran Tuhan. Yesus dalam seluruh Injil berusaha menunjukkan sebaliknya, yakni bahwa Allah selalu ada, tak jauh dari kita, apalagi di dalam peristiwa salib.

Perjumpaan perempuan Samaria itu dengan Yesus menjadikannya saksi kehadiran Allah yang begitu dekat, khususnya pada situasi paling sulit dalam hidup manusia. Ia membuat banyak orang Samaria percaya kepada Yesus dan perkataan-Nya. Mereka pun akhirnya menemukan sendiri 'sumber air hidup' yang memancar abadi itu. Bagi kita, seringkali yang dibutuhkan adalah: berhenti dan berubah. Doa, Kitab Suci, dan perjumpaan dengan saudara seiman sudah menawarkan dukungan agar kita berani memutuskan. Kita sebetulnya sudah 'tahu' bagaimana menyelesaikannya.

Setiap masalah hanya dapat diatasi kalau kita berhenti melakukan tindakan yang keliru dan berubah. Bersama perempuan Samaria itu, kita mesti rela "mengatakan kebenaran" tentang diri kita. Itulah awal yang baik demi memperoleh keberanian untuk berubah. Pada saat itu kita akan sadar, pertolongan Tuhan ternyata jauh lebih dekat dari yang kita sangka.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar