Date: Sat, 22 Mar 2014 14:56:46
Minggu Prapaskah III (A)
Kel 17:3-7, Rom 5:1-2.5-8, Yoh 4:5-42
Oleh : Pst. Tedjoworo, OSC
Mungkin tidak banyak orang yang pernah membayangkan
seberapa banyak air tawar yang
dialirkan Sungai Amazon ke Samudera Atlantik. Sungai kedua terbesar di dunia setelah Sungai Nil
ini mengalirkan sekitar 6600 kubik kilometer
air tawar tiap tahun ke Samudera Atlantik, sampai menurunkan keasinannya sejauh 320 kilometer dari
muara. Sebuah kapal pernah kehabisan air
bersih dan lewat radio minta tolong ke kapal lain tak jauh darinya. Jawaban dari kapten kapal lain itu
ialah: "Lemparkan ember ke permukaan air di depanmu!" Seruan itu diulang dua kali dan mendapat
jawaban yang sama. Maka, orang
melemparkan ember, dan ketika diangkat, di dalamnya adalah air tawar jernih berkilauan dari Sungai
Amazon. Jawaban persoalan itu begitu dekat!
Beberapa orang dalam hidupnya seperti lari dari
satu tempat ke tempat lain, dari
kelompok yang satu ke kelompok yang lain, mencari jawaban atas masalahnya. Masalah seakan-akan makin
sulit dipecahkan setiap hari. Relasi kita
pun nampaknya makin rumit dan membingungkan. Kita mencari kebahagiaan di mana-mana, dan hampir tak pernah
merasa cukup dengan apa yang kita miliki saat
ini. Kita seperti orang yang kehausan dan berada dekat dengan sumber air yang akan melegakan kita, namun
kita tidak menyadarinya, dan tetap saja kehausan.
Dalam hati kita bertanya, "Di manakah Tuhan pada saat kita membutuhkan-Nya?" Benarkah Tuhan
menjauh saat itu?
Kisah yang sangat menyentuh dari Injil Yohanes ini
tidak akan menyentuh hati kalau
hanya dibaca satu kali. Kita perlu 'berada di sana' beberapa saat lamanya. Perempuan Samaria itu bertemu
dengan Yesus di pinggir sumur. Tempat yang
ganjil untuk bertemu, namun ternyata sangat cocok dengan pembicaraan mereka. Ketika Yesus memulai percakapan
dengannya, perempuan itu heran sebab Yesus,
orang Yahudi, minta minum kepadanya. Bahkan, kemudian Yesuslah yang menawarkan "air hidup"
sebagai ganti air sumur. Perempuan itu lebih heran lagi dan berkata, "Tuhan, engkau tidak punya timba dan
sumur ini amat dalam." Ia
mengucapkan itu persis kepada Yesus, sosok satu-satunya yang akan melegakan 'kehausan' dalam hidupnya
itu.
Yesus bicara kepada perempuan Samaria itu tentang
sumber 'spiritual', 'air hidup'
yang tidak memerlukan sebuah timba untuk mendapatkannya. Dan sumber air hidup itu bisa ditemukan kapan saja
serta di mana saja, khususnya manakala
kita berada "di pinggir sumur yang dalam" tanpa timba atau ember. Perempuan itu tersesat dalam hidup yang
rumit menyangkut relasinya pribadi dan
dengan komunitasnya. Sebetulnya dia sendirilah yang sedang berada di pinggir masalah yang begitu dalam,
sedang ia tak mempunyai petunjuk apapun untuk
keluar dari masalahnya itu. Yesus sungguh mengerti masalahnya dan menawarkan sumber air yang akan
mengembalikan martabatnya.
Sudah sering terjadi kita jatuh ke dalam persoalan
yang sama berulang kali. Sejujurnya,
bukan hanya 'sama', tapi persoalan kita makin berat pada saat terjadi kembali. Ada masanya kita
benar-benar tidak tahu apa yang harus kita
lakukan untuk lepas dari masalah itu. Kita cepat frustrasi ketika
'sumur' itu seakan-akan menjadi
semakin dalam. Berbicara dengan seseorang hanya membuat kita kesal sebab dalam pandangan kita tanggapannya tidak
membantu sama sekali. Berdoa sudah
dilakukan, tetapi kita merasa tidak mendapat jawaban apa-apa dari Tuhan. Kita merasa sendirian dan tidak
tertolong. Hanya dalam hitungan
menit kita akan mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan dalam hidup kita, khususnya saat kita sedang
dijerat masalah.
Sikap mempertanyakan keberadaan Tuhan di saat-saat
sulit itu ditunjukkan dalam Kitab
Keluaran (Bacaan I). Orang Israel yang telah dituntun Musa keluar dari perbudakan di Mesir
bersungut-sungut karena kesulitan mendapatkan
air. Mereka bukan hanya menyerang Musa dengan sindiran "membunuh kami semua dengan kehausan",
tetapi juga mencobai Tuhan dengan berkata,
"Adakah Tuhan di tengah-tengah kita atau tidak?" Sebuah ujian
dari Tuhan demi kedewasaan iman
ternyata sering ditafsirkan manusia sebagai sikap kurang memperhatikan, dan lebih parah lagi, ketidakhadiran
Tuhan. Yesus dalam seluruh Injil
berusaha menunjukkan sebaliknya, yakni bahwa Allah selalu ada, tak jauh dari kita, apalagi di dalam peristiwa
salib.
Perjumpaan perempuan Samaria itu dengan Yesus
menjadikannya saksi kehadiran Allah
yang begitu dekat, khususnya pada situasi paling sulit dalam hidup manusia. Ia membuat banyak orang
Samaria percaya kepada Yesus dan perkataan-Nya.
Mereka pun akhirnya menemukan sendiri 'sumber air hidup' yang memancar abadi itu. Bagi kita,
seringkali yang dibutuhkan adalah: berhenti
dan berubah. Doa, Kitab Suci, dan perjumpaan dengan saudara seiman sudah menawarkan dukungan agar kita berani
memutuskan. Kita sebetulnya sudah 'tahu'
bagaimana menyelesaikannya.
Setiap masalah hanya dapat diatasi kalau kita
berhenti melakukan tindakan yang
keliru dan berubah. Bersama perempuan Samaria itu, kita mesti rela "mengatakan kebenaran"
tentang diri kita. Itulah awal yang baik demi memperoleh keberanian untuk berubah. Pada saat itu kita akan
sadar, pertolongan Tuhan ternyata
jauh lebih dekat dari yang kita sangka.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar