Sabtu, 29 Maret 2014

Membuang Kartu As



Date: Fri, 29 Mar 2014 23:10:38
Minggu Prapaskah IV (A)
1Sam 16:1b.6-7.10-13a, Ef 5:8-14, Yoh 9:1-41
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC

'Kartu As' nampaknya bisa ditafsirkan macam-macam. Semula kartu ini, dalam permainan kartu, identik dengan kekuasaan dan nilai yang dapat mengalahkan semua kartu yang lain. Mempunyai Kartu As berarti seseorang punya kans untuk menang dan cenderung akan menyimpannya untuk digunakan pada saat yang tepat. Dalam hidup bersama, artinya kurang lebih sama, namun dengan motivasi yang lebih negatif. 'Mempunyai Kartu As' orang lain adalah seperti mengetahui  rahasianya yang bila dibuka akan mempermalukan atau menjatuhkan orang lain itu. Negatif, sebab rahasia itu pasti bukan sesuatu yang baik, melainkan kelemahan, aib, kesalahan, hingga kejahatan orang.

Mengapa seseorang ingin menyimpan 'Kartu As' orang lain? Biasanya karena maksud jahat atau sekedar mau mencari selamat bagi diri sendiri. Alasan pertama itu tumbuh dari rasa sakit hati, benci, dan iri karena orang lain dianggap telah melukai, mengecewakan, atau sekedar lebih terkenal dan sukses, sedangkan alasan kedua tumbuh dari egoisme semata. Di dunia kita yang penuh bisik-bisik ini, orang sering tergoda untuk menyimpan kelemahan pihak lain yang pernah dilihat atau diketahuinya. 'Penglihatan' ini disimpan. Nanti, pada waktunya, 'Kartu As' ini akan dibuka sehingga publik pun menjatuhkan pamornya. Kita sadar, sikap seperti ini sangat bisa terjadi dalam kehidupan iman, dan mungkin lebih sulit lagi untuk diatasi.

Apabila versi panjang Injil Yohanes hari ini kita baca (9:1-41), akan ditemukan kekerasan hati luar biasa dan kebutaan yang tetap dialami orang-orang Farisi. Semula 'masalah' dipancing oleh murid-murid Yesus yang bertanya, "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini atau orangtuanya, sehingga ia lahir buta?" Kalau ada orang buta, berarti harus ada yang 'bersalah'. Yesus berkali-kali tidak memedulikan soal moral ini, tetapi masalah itu makin serius karena Yesus menyembuhkan pada hari Sabat. Sejak itu semua orang (tetangga, orang Farisi, orang Yahudi) berkali-kali menginterogasi orang buta yang disembuhkan itu dan orangtuanya. Merekalah yang dimaksud Yesus 'melihat' padahal buta secara spiritual. Mereka buta karena bertahan mengadili yang lain sebagai 'orang berdosa', 'tidak datang dari Allah', dan 'lahir sama sekali dalam dosa'. Kekerasan hati adalah kebutaan.

Kepada beberapa orang Farisi yang bertanya, "Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?" Yesus menjawab, "Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata 'Kami melihat', maka tetaplah dosamu." Yesus mengembalikan penilaian moral mereka terhadap orang lain kepada diri mereka sendiri. Kata-kata-Nya dalam. Kebutaan itu bukanlah dosa. Mengatakan "kami melihat" adalah dosa, sebab ini mengandaikan kita merasa pasti secara rohani, merasa seakan-akan paling tahu dalam hal iman. Kesombongan rohani itu dosa yang serius.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, mudah ditemukan pengalaman dan penghayatan iman yang konkret berkaitan dengan permenungan ini. Kita berdoa bersama, berbagi pengalaman iman, dan berdiskusi bersama, tetapi kebersamaan ini tidak perlu dinodai oleh 'pengetahuan' kita akan kelemahan orang lain. Kita tidak boleh memanfaatkan kesalahan orang lain untuk membuat diri sendiri seakan-akan lebih beriman dan lebih pantas untuk menilai siapapun. Kecenderungan untuk 'menyimpulkan' sepihak berdasar apa yang kita lihat dan menyebarkannya sebagai isu, juga hanya membuat doa-doa kita menjadi palsu. Bukankah iman dan doa kita seharusnya menyelamatkan diri kita dan orang-orang yang hidup bersama kita?

Dalam Kitab Samuel (Bacaan I), dikisahkan bagaimana Samuel berusaha menemukan sosok yang pantas diurapi Tuhan untuk menjadi raja. Ketika menghadapi anak-anak Isai, Samuel mengira bahwa Tuhan akan memandang paras dan berkenan pada perawakan yang tinggi. Tuhan berfirman, "Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati." Manusia memang terlalu cepat yakin dan terkesima dengan penampilan yang ideal, namun tidak kritis dan hati-hati dengan apa yang menguasai hati seseorang. Bagi Tuhan, yang jauh lebih menentukan kesetiaan iman ialah sikap hati seseorang di hadapan-Nya. Daud kelak tidak luput dari kelemahan manusiawinya, namun ia tetap dipakai Tuhan karena hatinya masih mau bertobat dan memperbaiki kesalahan yang dilakukannya.

Mungkin pertobatan yang kita hayati di masa Prapaskah bukan hanya soal merasa 'menyesal' atas dosa-dosa kita. Lebih dasariah lagi bertobat yaitu mengalahkan kesombongan rohani dan maksud buruk yang muncul dari pengetahuan apapun atas kelemahan orang lain. Kita yang biasa membanding-bandingkan posisi moral kita terhadap orang lain perlu bersikap hati-hati, karena setiap kesimpulan kita untuk menilai akan kembali kepada diri kita sendiri. Tak seorangpun mampu melihat hati saudaranya, dan itu sebabnya kita masing-masing masih mengharapkan kesembuhan dari Yesus.

Semoga kita mau melepaskan dan membuang 'Kartu As' siapapun yang masih kita simpan, sebab Tuhan pun tidak suka menyimpan kesalahan dan dosa kita, bahkan yang tidak kita sadari. Kita ingin belajar melihat hati orang lain dengan adil dan rasa hormat.

Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar