Date: Sat, 24 May 2014 11:25:22
Minggu Paskah VI (A)
Kis 8:5-8.14-17, 1Ptr 3:15-18, Yoh 14:15-21
Oleh : Pst. H. Tedjoworo, OSC
Choi, Sung-bong adalah seorang pemuda berumur 22
tahun. Dia sudah bertahan hidup
cukup lama dalam situasi yang sungguh sulit di Korea. Di usianya itu, ia memberanikan diri mengikuti sebuah
kompetisi nasional pencarian bakat. Ia datang
sendiri. Di formulir pendaftaran, kolom keluarganya: kosong. Di usia 3 tahun ia ditinggalkan di rumah yatim
piatu. Di usia 5 tahun ia lari dari sana
karena dipukuli. Selama puluhan tahun berikutnya ia hidup di jalan, tidur di wc umum, berjualan permen
karet dan minuman kaleng. Sendirian. Tanpa
siapapun! Ketika menyanyi, ia merasa menjadi orang yang 'normal', mengatasi hidupnya yang begitu berat
dan sepi selama ini. Di kompetisi itu ia
menyanyi dengan sangat memukau di depan juri dan penonton. Videonya di Youtube ditonton lebih dari 119 juta
orang.
Kita mungkin hanya melihat sebuah 'keberhasilan',
tetapi kita tidak tahu apa yang
sesungguhnya dialami oleh seseorang selama hidupnya. Apa yang dirasakan, setiap hari, setiap malam,
oleh Sung-bong ketika pergi tidur dan bangun
kembali? Ia tidak pernah tahu apa itu keluarga. Ia tidak tahu apa artinya dicintai seseorang. Ia hanya bertahan hidup
dalam kesendirian yang tak
terbayangkan selama puluhan tahun. Benarkah ia sendirian? Tidak. Ia ditolong, ditemani, dikuatkan secara
misterius. Lebih banyak lagi di dunia ini
orang-orang yang punya keluarga, banyak relasi, dan segala kemudahan dunia, tapi sekaligus tak bisa tahan
untuk berjuang setiap hari. Apakah kita termasuk
orang yang cepat pesimistis dalam hidup karena ada sedikit masalah saja?
Di komunitas Yohanes penginjil, dalam Gereja
Perdana, rupanya ada problem tentang
kasih. 'Perintah' Yesus dalam Injil keempat ini hanya satu: hendaknya kalian saling mengasihi.
Kritik yang diarahkan kepada Petrus, misalnya,
adalah soal mengasihi Yesus lebih dari siapapun. Seakan-akan kasih itu belum cukup diungkapkan dan dialami
secara riil dalam jemaat. Yesus, dalam
bacaan hari ini, menjelaskan kasih yang berbeda dengan yang diungkapkan dan dipahami
murid-murid-Nya. Kasih-Nya itu ada dalam kata-kata ini: "Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu.
Aku datang kembali kepadamu."
"Aku datang" (Yun. 'erchomai') dipakai
dalam bentuk sekarang. Kata-kata ini bukan
janji, sebab Yohanes menempatkan kata-kata Yesus itu dalam kerangka Roh Kudus, Penolong, yang akan
'tinggal' (Yun. 'menei') bersama mereka. Jadi,
bagi Yesus, datang itu bukan untuk sementara, tetapi seterusnya. Kasih yang dimaksud Yesus adalah penyertaan
dan kehadiran yang terus menerus dalam diri Sang Penolong, yang dengan sengaja disebut
'Parakletos' (Yun.). Penolong itu
"diam di dalam" diri mereka, berjalan di samping mereka sampai kapanpun. Mereka tidak akan pernah
ditinggalkan sendirian!
Kehadiran, di zaman kita ini, mahal sekali.
Kehadiran, kalau toh ada, lebih sering
bersifat sementara. Kita bisa menemani dan mendoakan orang-orang tertentu yang hidupnya susah, tetapi
seringkali hanya sementara. Kita punya pembenaran
atas kesibukan kita yang lain, bahkan kadang-kadang memakai alasan 'keluarga' dan 'tanggung jawab'
untuk menghentikan pendampingan kita. Tentu
saja kita punya keluarga sendiri yang harus kita perhatikan dan kasihi. Akan tetapi, hal itu tetap
menjadi soal iman yang mempertanyakan kasih
yang "tinggal tetap" itu. Mengapa kasih kita hanya sementara? Mengapa kehadiran, perhatian, bantuan, dan
dukungan kita begitu cepat berhenti karena
alasan 'keluarga' atau prioritas apapun yang lain itu? Mungkin masalah di komunitas Yohanes adalah
masalah kita juga.
Peran Filipus yang memberitakan tentang Yesus
Mesias di kalangan orang-orang Samaria
(dalam Bacaan I) adalah suatu terobosan yang mengejutkan pada masa itu. Tak seorangpun di kalangan para
rasul yang 'terpikir' untuk memperhatikan,
menyediakan waktu, untuk melayani di antara orang Samaria. Pekerja
melimpah di antara orang Yahudi, namun tidak demikian di Samaria. Roh Kudus menggerakkan Filipus dan
akhirnya juga Petrus dan Yohanes untuk 'tinggal
di sana'. Roh Kudus tidak mungkin hanya setengah-setengah mempengaruhi orang. Ia tidak mengasihi
hanya sebagian jemaat atau untuk sementara
waktu saja. Tidak boleh ada umat yang dibiarkan dan ditinggalkan sebagai yatim piatu. Itu sebabnya Roh Kudus 'datang' dan 'diam'
di sana.
Optimisme mestinya lebih tahan lama dalam hidup dan
pelayanan kita sehari-hari.
Keyakinan dan semangat berjuang dalam situasi sulit ini berasal dari Roh Kudus dan adalah wujud yang
sangat konkret kasih kita. Kalau mesti dikritik
dalam hal pelayanan, kita harus ditanyai kembali: kapan kita akan 'datang' lagi kepada orang-orang yang
pernah kita layani? Kalau mau jujur, beberapa
orang yang pernah kita perhatikan pada suatu ketika tiba-tiba kita tinggalkan karena berbagai alasan.
Kasih Yesus tidak seperti itu. Kasih-Nya permanen.
Kisah hidup Sung-bong tidak bisa ditonton sebagai
sekedar salah satu kisah sukses di
dunia. Tidak ada istilah 'sukses' dalam hal kasih. Kita mesti memulai lagi apa yang dulu pernah kita
lakukan dengan setia dalam hal memperhatikan
dan mendampingi orang lain. Kita perlu mengubah pemikiran bahwa kehadiran kita ini hanya
sementara. Seperti ditunjukkan Yesus, kita
mesti berani setiap kali meyakinkan, "Aku datang, karena aku
mengasihimu."
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar